kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Jatuh bangun Annisa Pratiwi merintis usaha makanan bebas gluten


Sabtu, 01 Desember 2018 / 12:20 WIB
Jatuh bangun Annisa Pratiwi merintis usaha makanan bebas gluten


Reporter: Merlinda Riska | Editor: S.S. Kurniawan

KONTAN.CO.ID - Peluang bisnis anyar kadang datang saat sedang menjalani sebuah usaha. Begitu yang Annisa Pratiwi bersama sang suami, Raka Bagus, alami kala melakoni usaha penyedia jasa pengelolaan merek alias branding agency.

Melihat potensi yang besar, perempuan kelahiran Surabaya, 25 Januari 1987, ini bahkan berani menutup usaha branding agency yang sudah berjalan empat tahun demi merintis bisnis baru yang memproduksi bahan baku makanan sehat. Ia mengibarkan usahanya bernama Ladang Lima di 2012.

Meski harus berdarah-darah di awal berbisnis, keputusan Annisa akhirnya berbuah sangat manis. Kini saban bulan, omzet Ladang Lima yang sekaligus pionir makanan bebas gluten di Indonesia mencapai Rp 700 juta, dengan jumlah pekerja sekitar 70 orang.

Menurut Annisa, peluang jadi produsen tepung singkong tercipta setelah usaha branding agency-nya menangani banyak perusahaan yang bergerak di bidang makanan. “Tapi, perusahaan-perusahaan itu tidak menyarankan makanan yang mereka produksi dikonsumsi oleh kerabat apalagi keluarga terdekatnya,” ungkap dia.

Itu berarti, ia bilang, makanan tersebut tidak sehat. “Dari situ kami kepikiran, kenapa tidak jadi produsen sekalian bikin makanan berkualitas yang sehat,” imbuh Annisa yang mengeluarkan modal awal sekitar Rp 100 juta untuk memulai bisnis barunya tersebut.

Kebetulan, salah satu kliennya punya formula untuk membuat tepung singkong. Dia pun kemudian melakukan riset pasar mulai akhir 2012 hingga tercipta tepung singkong serbaguna di 2013. Baru pada 2014, ia meluncurkan produk. Rumah produksinya ada di daerah Pasuruan, Jawa Timur.

Tapi, Annisa mengungkapkan, saat itu produk yang ia rilis sejatinya bukan tepung singkong yang terbaik. Itu sebabnya, masyarakat belum tertarik membeli. Tambah lagi, pasar lebih menyukai tepung terigu yang harganya jauh lebih murah. “Banyak yang enggak peduli, bahan makanan yang mereka beli sehat atau tidak. Mereka lebih lihat harga lalu fungsi dan rasa,” beber lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, Surabaya, ini.

Padahal secara fungsi, tepung singkong yang memiliki kandungan protein sedang bisa menyerupai terigu. Alhasil, manfaatnya banyak sekali. Salah satunya, cocok untuk anak-anak berkebutuhan khusus yang harus mengonsumsi makanan yang tidak terbuat dari terigu atau bebas gluten.

Produksi mi kering

Sejatinya, untuk memperkenalkan produk, Annisa gencar mengedukasi pasar. Ia mendatangi satu per satu industri rumahan yang memproduksi makanan di seputar Pasuruan. Tapi yang dia dapat: penolakan demi penolakan. “Meski begitu, kami terus menerus lakukan pendekatan, kan, orang enggak serta merta langsung tahu dan sadar bahwa ini adalah produk sehat,” katanya.

Usahanya membuahkan hasil, walau belum seperti yang Annisa harapkan. Bahkan, di pertengahan 2014, sempat mendapat pesanan ekspor. Ini yang kemudian membuatnya jor-joran mengeluarkan modal tambahan untuk menambah bahan baku, alat produksi, dan pekerja. Ia pun harus pinjam sana-sini.

“Tapi ternyata, enggak ada order ekspor lagi. Kami stres, sempat benar-benar ingin berhenti ketika itu,” ujar dia yang akhirnya memutuskan untuk melanjutkan usaha ini.

Lantaran tidak menghasilkan tepung singkong yang baik, Annisa pun memutus kerjasama dengan pemilik formula itu pada akhir 2014. Ia menemukan, proses produksi yang masih manual membuat kualitas produk jadi tidak bagus.

“Sebelumnya, waktu dipegang partner, untuk pengeringan, kami jemur singkong mengandalkan matahari. Mengupasnya juga masih manual, lalu penggilingan masih menggunakan alat-alat yang sederhana,” jelasnya.

Setelah putus kongsi, dia mengembangkan formula milik sang mitra. Untuk menghasilkan tepung singkong kualitas baik, semua proses produksi pun menggunakan mesin.

Target pasar pun ia ubah, dari semula produsen makanan menjadi konsumen akhir (end user) atau masuk ke pasar ritel. Annisa menjual tepung terigu dalam kemasan satu kilogram. “Sampai di satu titik, kok, tetap membuat kami minus. Dan akhirnya, kami sempat enggak produksi lagi. Jumlah pegawai yang saat itu ada belasan orang kami kurangi menjadi tersisa satu orang,” imbuh dia.

Toh, itu tak membuat Annisa dan suaminya patah arang. “Kami terus memikirkan, apa, nih, kira-kira terobosan kami. Nah, orang, kan, enggak semua suka membuat kue, suka memasak, inginnya yang praktis tinggal makan,” ucapnya.

Bertolak dari fakta itu, Annisa akhirnya menciptakan mi kering yang terbuat dari tepung singkong pada pertengahan 2015. Setahun kemudian, di 2016, ia merilis kue berbahan baku tepung singkong. Ladang Lima pun menjadi salah satu pionir makanan bebas gluten di tanah air.

“Jadi, orang untuk sehat enggak perlu lagi repot-repot memasak, tinggal makan saja,” ujar dia yang menambahkan, sejak mengeluarkan mi kering, usahanya perlahan tapi pasti mulai berkembang.

Untuk bahan baku, awal merintis bisnis, Annisa menanam sendiri singkong di lahan miliknya. Sebab ketika itu, kapasitas produksinya masih kecil, sehingga hanya membutuhkan singkong tiga ton sebulan.

Namun, lantaran sebagian lahan digunakan untuk memperluas rumah produksi, ia mulai menjalin mitra dengan petani pada pertengahan 2013. Tidak hanya di Pasuruan, pasokan singkong juga berasal dari Petani di Malang, Lumajang, dan Mojokerto. “Sekarang kebutuhan singkong bisa mencapai 25 ton per bulan,” katanya.

Gandeng investor

Selain dari pintu ke pintu, sedari awal dia menggunakan kanal daring untuk memasarkan produknya. Annisa memanfaatkan media sosial Instagram dan Facebook. Dari akun jejaring sosial ini, ia juga berhasil menjaring beberapa reseller.

Konsep reseller yang kemudian jadi andalan Annisa. Semula hanya lima reseller sekarang menjadi 600 orang yang kebanyakan ibu rumahtangga. Mereka tersebar di banyak kota, mulai Padang hingga Manokwari. Yang aktif dan order lagi per bulan sekitar 250 reseller.

Untuk mengedukasi pasar, dia masuk ke komunitas-komunitas gaya hidup sehat. Salah satu strateginya, dengan mengadakan demo memasak menggunakan tepung singkong. “Orang sehat kayak ketularan. Ada satu orang di komunitas itu yang hidup sehat, nanti yang lain akan mengikuti. Selama komunitas itu hidup, pasti kami akan hidup,” tegasnya.

Nama Ladang Lima yang makin berkibar membuat Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mengajak Annisa bergabung di FoodStartup Indonesia. Bahkan, Ladang Lima terpilih sebagai satu dari tiga FoodStartup Indonesia Terbaik 2017.

Prestasi Ladang Lima lainnya adalah Juara Creative Innovation Award 2017 yang digelar Bekraf dan Asosiasi Modal Ventura Indonesia (Amvesindo) lalu, Juara III Jamkrindo Startup Challenge 2018 yang diadakan Perum Jamkrindo. “Bukan sekadar mendapatkan hadiah, juga bagus untuk branding kami,” tambah Annisa.

Dengan bergabung di FoodStartup Indonesia, platform bentukan Bekraf, Ladang Lima juga memperoleh banyak kesempatan untuk ikut berbagai pameran. “Satu tahun terakhir kami pameran ke mana-mana, di banyak kota,” ujarnya.

Bukan cuma itu, Bekraf juga mempertemukan Ladang Lima dengan investor. Menurut Annisa, saat ini ada beberapa pemodal yang melakukan uji tuntas (due diligence) atas Ladang Lima. Sebelumnya, akhir tahun lalu, Ladang Lima meneken kerjasama kerjasama finansial berupa penyertaan modal dengan PT LiMa Ventura.

Rencana ke depan, yang terdekat adalah mengantongi sertifikat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang saat ini sedang dalam proses. “Kalau Angka Pengenal Ekspor (APE) kami sudah punya,” imbuh Annisa. Ladang Lima kembali mengekspor produknya mulai 2016 lalu.

Kemudian bulan ini, Ladang Lima akan meluncurkan produk kue baru yang mengandung temulawak dan mentega tawar (unsalted butter). Kue ini bisa mendongkrak nafsu makan anak. “Saya terinspirasi anak saya. Saya dulu sering kasih anak saya temulawak biar makannya banyak,” jelasnya.

Bulan ini juga, Ladang Lima bakal merilis produk pasta yang terbuat dari singkong. Kue masih mendominasi penjualan, berikutnya mi kering dan tepung singkong. Untuk tepung, produk terbarunya adalah tepung roti dan bumbu. “Kalau kami enggak melakukan inovasi, mungkin sekarang kami sudah tutup,” kata Annisa

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×