kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45916,43   -7,06   -0.76%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Joshua Kevin memetik pelajaran dari kegagalan dan kesalahan


Senin, 26 Maret 2018 / 07:00 WIB
Joshua Kevin memetik pelajaran dari kegagalan dan kesalahan


Reporter: Grace Olivia | Editor: S.S. Kurniawan

KONTAN.CO.ID - Saat mendengar kata start-up, Joshua Kevin langsung kepincut. Maklum, pria 24 tahun ini memang tertarik dengan dunia kewirausahaan (entrepreneurship) sejak dulu. 

Tambah lagi, latar belakang keluarga Joshua wirausaha. Sang ayah berdagang dan selalu menyarankan dirinya untuk membuka usaha ketimbang bekerja di perusahaan. Sebab, bekerja di perusahaan kemungkinan besar bakal mentok di level atau jabatan tertentu.

Tapi, "Kalau jadi pengusaha, semua kita yang atur, tinggal bagaimana upaya kita saja. Apalagi, saya masih muda, kalaupun nanti saya bangun suatu usaha dan gagal, saya masih punya kesempatan untuk cari pekerjaan," kata Joshua yang pernah bekerja di sejumlah perusahaan rintisan, seperti Kakaotalk, Tech in Asia.

Perkenalan Joshua dengan dunia start-up gara-gara Twitter. Dia menjadi pengikut akun media sosial milik beberapa orang-orang yang dia anggap menarik. Yang kemudian, mereka kebanyakan menjadi pendiri atawa founder start-up.

Ketika itu, tahun 2010–2011, saat orang bahkan masih enggak paham dengan istilah start-up. Di tahun kedua kuliah di Binus University, Jakarta, Joshua iseng-iseng masuk ke satu-satunya komunitas start-up lokal yang ada di Indonesia. Salah satu pendiri komunitas itu adalah Natali Ardianto yang sekarang Chief Technology Officer (CTO) Tiket.com.

Enggak jarang, Joshua bolos kuliah untuk ikut kegiatan komunitas tersebut. "Pikir saya, bahan kuliah masih bisa dipelajari nanti-nanti, tapi kesempatan ikut kegiatan dan berjejaring dengan komunitas, kan, jarang-jarang," ungkap Joshua.

Di komunitas itu pula, Joshua kenal dan mendapat tawaran magang dari Wilson Cuaca, Managing Partner di East Ventures Pte. Ltd. Di saat yang sama, ia juga bekerja untuk Tech in Asia yang kebetulan mendapatkan pendanaan dari East Ventures. "Saya jadi jurnalis. Nah, pengalaman di Tech in Asia itulah yang menjadi modal saya di Talenta sekarang," imbuhnya yang bekerja di Tech in Asia selama dua tahun.

Pertama gagal

Yang enggak banyak orang tahu, sebelum mendirikan Talenta pada September 2014 lalu, Joshua sempat membuat satu proyek lain. Setelah lulus kuliah, dia melihat Singapura sebagai negara yang punya banyak sekali start-up.

Sayang, pasar mereka sangat kecil di negeri merlion. Sehingga, enggak jarang mereka mengincar Indonesia. Masalahnya, saat mencoba masuk Indonesia, mereka bingung sendiri memetakan pasar di sini. Di situlah Joshua melihat peluang.

Ia membesut proyek jasa bernama Bridge.inc yang membantu start-up asal Singapura dalam berbagai hal. Misalnya dari sisi hubungan masyarakat, masuk pasar, hingga perekrutan pegawai magang. Jadi, mirip agensi atau konsultan, meski Joshua kerja secara individu.

Kendati secara pendapatan lumayan, setelah enam bulan, dia mulai bosan dengan pekerjaan itu. Cuma, Joshua belajar sesuatu. "Kalau mau bikin usaha, saya harus bikin yang menghasilkan produk," katanya.

Joshua pun mengontak seseorang yang akhirnya menjadi investor malaikat pertamanya, yaitu Grace Tahir dari Mayapada Group. Dia kenal Grace waktu masih di Tech in Asia.

Produk pertama yang ia buat saat itu sebenarnya bukan Talenta, melainkan sebuah platform yang menyediakan layanan untuk mahasiswa mencari tempat magang dan lulusan baru mencari pekerjaan pertama.

Problemnya waktu itu: momentumnya enggak tepat alias terlalu cepat membuat produk semacam itu. Mahasiswa maupun lulusan baru bahkan teman-temannya sendiri, belum terlalu banyak yang tertarik mencari lowongan pekerjaan lewat kanal online. "Kesimpulannya, gagal lah produk pertama saya waktu itu karena sedikit sekali yang daftar," ujar Joshua.

Setelah percobaan pertama gagal, empat bulan kemudian Joshua ikut konferensi Tech in Asia di Tokyo, Jepang. Ia ketemu dengan Wilson Cuaca dan menceritakan ketertarikannya membangun start-up di bidang sumberdaya manusia atau human resource (HR), terutama membuat sistemnya.

Kebetulan, ketika itu Wilson sedang mengincar start-up yang punya produk software cloud. Enggak butuh waktu lama untuk East Ventures memutuskan mau mendanai proyek Joshua yang berikutnya, yakni Talenta.

Pelajaran yang dia petik di awal membangun Talenta: Pertama, upayakan untuk memiliki CTO. Kedua, lebih bagus lagi kalau mempunyai produk sebelum ada pendanaan  yang masuk. "Pengalaman saya, kalau pendanaan masuk sebelum produk jadi, yang ada uangnya terpakai untuk bikin produk dan habis sebelum perusahaan punya klien," bebernya.

Memang, banyak yang bertanya-tanya, mengapa Joshua yang notabene masih muda memilih membuat start-up dengan produk software dan berkonsep business to business (B2B). Latar belakangnya, Joshua bilang, sederhana saja. Dirinya memang suka dan tertarik dengan manusia.

Namun, yang akhirnya jadi pemicu utama kemunculan ide Talenta adalah, cerita dari seorang temannya yang bekerja di sebuah perusahaan. Teman Joshua itu bercerita, kantornya memakai sebuah software HR buatan Amerika Serikat (AS) bernama Bamboo HR.

Dia pun mencari tahu soal produk software itu dan berpikir, kenapa perusahaan Indonesia malah pakai software HR dari AS. "Masak, iya, kita enggak punya software lokal," katanya.

Tambah lagi, kebanyakan perusahaan di negara kita, struktur divisi HR hanya terdiri dari satu manajer lalu di bawahnya ada karyawan yang melakukan rutinitas pekerjaan “Excel” yang rumit berulang-ulang. Sementara di luar negeri, divisi HR sudah lebih fokus pada bagaimana mengembangkan dan menjaga kenyamanan pegawainya secara maksimal.

Hampir mati

Inilah yang semakin meyakinkan Joshua untuk melahirkan software HR berbasis cloud. Kenapa cloud? Pertama, harga berlangganan cloud sekarang semakin murah, bahkan gratis untuk pemakaian setahun pertama di beberapa merek.

Kedua, penetrasi internet di perkantoran sudah sangat tinggi. "Saya pikir, ini momen yang tepat untuk membuat Talenta ketimbang menunggu sampai pasar benar-benar membutuhkannya nanti," ucap dia.

Cuma, awal 2015, Talenta sempat hampir mati karena kesalahan pendanaan masuk sebelum produk jadi. Pembayaran gaji pegawai sampai tertunda lama. Untungnya, saat itu ada investor lagi yang mau masuk dan menyelamatkan Talenta yaitu Fenox Ventures.

Tapi, dengan syarat: mengecilkan tim. Joshua pun terpaksa memecat beberapa pegawai tanpa alasan demi efisiensi. Hingga kini, Joshua merasakannya sebagai satu pengalaman terpahit selama menjalankan Talenta.

Kesalahan lain adalah, dirinya terlalu banyak merekrut pegawai di awal pendirian Talenta. Saat itu, komposisi timnya sudah mencapai belasan orang.

Bahkan, sebelum produk Talenta jadi, Joshua telah merekrut pegawai pemasaran. Ternyata, belakangan ia tahu bahwa hal itu adalah keputusan yang salah karena yang seharusnya bertanggungjawab berjualan saat produk sudah jadi adalah dirinya selaku pendiri, bukan karyawan pemasaran.

Perjalanan selanjutnya, Joshua mengungkapkan, yang jelas menantang. Sebab, Talenta adalah perusahaan pertamanya. Terlebih, dia membangun suatu usaha yang industrinya memang belum kelihatan. Jadi, tahap edukasi memang paling berat, seperti dirinya ceramah tapi enggak ada yang percaya.

Di samping itu, usia Joshua yang masih muda saat merintis Talenta justru sering merugikan saat dirinya datang ke perusahaan-perusahaan untuk memperkenalkan produk. Calon kliennya tidak mudah percaya meski Joshua punya produk yang bagus. Alhasil, membangun kepercayaan salah satu tantangan besar dalam merintis Talenta.

Tetapi, Joshua mengaku, tidak punya strategi khusus untuk mengedukasi pasar tentang Talenta. Bisa dibilang, semua bergantung pada pondasi yang sudah dia bangun.

Misalnya, jejaring yang ia miliki waktu bekerja di Tech in Asia dan bergabung di komunitas start-up semasa kuliah. Walhasil, sepuluh klien pertama Talenta ialah start-up yang Joshua kenal sebelumnya, seperti Go-Jek dan Kudo.

Tantangan berikutnya, Joshua enggak punya pengalaman mengelola banyak orang. Tapi, dia membangun dan mempelajari tim lewat berbagai kesalahan.

"Saya harus mampu menjadi dua figur, yaitu seorang CEO yang tegar dan terlihat serbamampu, sekaligus seorang pembelajar di usia saya yang sebenarnya masih sebaya dengan atau bahkan lebih muda dari kebanyakan anggota tim Talenta," tambah Joshua.

Sedang risiko terbesar dan paling alami dari bisnis Talenta adalah kehabisan uang. Talenta, Joshua menyebutkan, adalah start-up yang sampai sekarang masih “membakar uang”. Sehingga, belum sampai di titik profitabilitas. Jadi, risiko terbesarnya adalah kehabisan uang dan tidak ada lagi yang mau berinvestasi ke Talenta.

Lalu, risiko internal yaitu persoalan seperti pembobolan (hack) data. Semua perusahaan yang berbasis sistem tentu punya risiko keamanan data.

Terakhir, risiko dari kompetitor, meski sampai saat ini Talenta belum ada pesaing yang mengkhawatirkan. "Pasar software HR masih sempit, jadi sebetulnya enggak ada guna bersaing, lebih baik fokus edukasi dan memperluas pasar bareng kompetitor," imbuh Joshua.

Ke depan, Joshua menambahkan, ada rencana untuk sedikit rebranding. Ia ingin Talenta dikenal sebagai workplace management platform.

Tidak cuma untuk persoalan HR, juga software untuk komunikasi internal perusahaan, task management, dan sebagainya. "Kami juga ingin merambah ranah business to customer (B2C). Menawarkan produk finansial ke para pegawai sesuai latar belakang pekerjaan dan pendapatan," ujar dia.

Terus berusaha mencetak talenta-talenta yang baru. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×