kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kampung nelayan Cilincing tempat bersandar 150 nelayan (bagian 3)


Sabtu, 31 Agustus 2019 / 10:20 WIB
Kampung nelayan Cilincing tempat bersandar 150 nelayan (bagian 3)


Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Markus Sumartomjon

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Siang itu, sembari kapal bersandar di Kampung Nelayan Cilincing, Jakarta Utara, nampak beberapa nelayan merapikan isi kapal. Ada yang merapikan dan membersihkan jala, ada yang lalu lalang membawa solar untuk isi ulang bahan bakar kapal. Ada pula yang tengah beristirahat di atas kapal.

Itulah pemandangan keseharian dari kampung tersebut yang menjadi  sandaran hidup ratusan nelayan. Setiap hari para nelayan disibukkan mencari nafkah dan kejar setoran. Hingga tanpa mereka sadari, air laut di kawasan tersebut sudah tercemar.

Ini terlihat dari warna air laut yang mencuri perhatian. Warnanya hitam pekat ditambah dengan banyaknya sampah aneka rupa yang mengambang. "Semakin lama mencari ikan makin susah di pinggiran. Tahu sendiri di pinggiran laut, airnya saja sudah keruh. Jadi mencari ikan semakin ke tengah," jelas Pepeng, penduduk setempat yang kini berprofesi berdagang ikan dan hasil laut lainnya ke KONTAN.

Baca Juga: Nelayan Kepulauan Seribu terkena dampak tumpahan minyak mentah Pertamina

Sebetulnya ia dan para nelayan serta penduduk di kampung tersebut  mengeluhkan pencemaran tersebut. Tapi mereka tidak bisa  berbuat apa-apa. Pasalnya, pencemaran tersebut merupakan 'sumbangan' limbah industri yang ada di sekitar Cilincing.

Inilah yang membuat para nelayan semakin jauh mencari hasil tangkapan ikan. Dan sudah pasti jumlah tangkapan mereka semakin berkurang. Ini jelas  berpengaruh terhadap pendapatan mereka.

Padahal sebelum tahun 2000-an, air luat di pinggiran masih relatif bersih. Malah ia masih bisa mendapatkan ikan tongkol di pinggiran laut. "Sekarang boro-boro. Untuk menangkap ikan saja harus ke tengah laut," ujar pria asal Indramayu yang sempat menjadi nelayan.

Sebelum air laut tercemar parah, dirinya dan para nelayan lain bisa membawa pulang sampai satu ton aneka hasil laut, mulai dari ikan, udang, cumi, gurita, sotong, dan lainnya. Akibat laju pencemaran yang kian parah, kini, setiap malam para nelayan hanya bisa membawa pulang maksimal dua kuintal saja aneka hasil laut.

Baca Juga: Sebanyak 2.183 kapal perikanan belum perpanjang izin, negara rugi Rp 137,8 miliar

Melihat pencemaran laut yang kian parah, risiko pekerjaan sebagai nelayan, dan hasil yang tidak seberapa membuat sebagian penduduk Kampung Nelayan Cilincing tidak menyarankan anaknya untuk terus menjadi nelayan. "Orangtua saya nelayan dan saya sempat jadi nelayan selama lima tahun, tapi orangtua melarang menjadi nelayan dan sekarang menjadi karyawan sampai sekarang," kata Jaya, penduduk Kampung Nelayan.

Selain dirinya, banyak juga generasi muda di kampung nelayan tersebut yang tidak lagi menjadi nelayan. Sebagian besar menjadi buruh pabrik dan ada pula yang berdagang. Malah ada yang masuk pendidikan pelayaran. Kalaupun ada yang masih meneruskan menjadi nelayan, karena kondisi ekonomi.  "Terakhir generasi orangtua saya yang menjadi nelayan," katanya. 

(Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×