kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Kampung tempe ini eksis selama puluhan tahun (2)


Minggu, 19 Agustus 2018 / 09:10 WIB
Kampung tempe ini eksis selama puluhan tahun (2)


Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Johana K.

KONTAN.CO.ID - Musim hujan membawa berkah bagi perajin tempe kawasan Sunter, Jakarta Utara. Pasalnya, penjualan selalu naik 20% dari biasanya.

Mustiah, perajin tempe mengatakan, hawa dingin membuat konsumsi meningkat. Tempe pun menjadi salah satu camilan pilihan.  

Saat permintaan tinggi, perempuan asal Pekalongan, Jawa Tengah ini akan memasak tempe lebih pagi. Biasanya, ia menambah kedelai sekitar 10-12 kilogram (kg).  

Memasuki musim kemarau, penjualan biasanya turun atau stabil. "Kalau hawa panas orang malas makan tempe, rasanya kurang enak dibadan," katanya.

Selain itu, perajin juga harus jeli saat proses masak dan peragian. Suhu yang lebih panas membuat takaran ragi berbeda dari musim hujan.

Untuk meningkatkan pendapatan, perempuan yang lebih akrab disapa Bu Mus ini juga membuat keripik tempe matang. Ia menjual keripik ke pedagang soto, bakso dan lainnya.

Harganya dibandrol Rp 60.000 per kg atau Rp 4.000 per bungkus. Namun, ia hanya membuat kripik seminggu sekali.

Tresno, pedagang tempe lainnya memilih fokus menjual tempe pada pemilik warung nasi. Untuk memenuhi kebutuhan produksi, dia membeli kedelai dari toko sembako yang berada tidak jauh dari tempat tinggalnya.

Seperti Bu Mus, Tresno juga mengakui proses memasak menjadi lebih rumit saat musim kemarau. Karena biji kedelai harus direbus dan dikukus, untuk membuat tempe tidak rusak.

Perihal limbah hasil pencucian kedelai menjadi biang keladi pencemaran Kali Item, Tresno menampiknya. Sebab, para perajin sudah mengolah limbah hasil proses pembuatan tempe.

Mereka memisahkan kulit kedelai dan menjualnya sebagai pakan ternak. Setiap tengah hari, limbah kulit dari tiap perajin dikumpulkan di depan gang untuk diangkut pemilik ternak.

Selain itu, Bu Mus bilang, perajin juga memiliki saluran limbah khusus dengan sistem tiga penyaringan. Sehingga air limbah terakhir yang keluar tidak terlalu kotor.

Untuk menjaga kebersihan lingkungan, saban bulan mereka rajin membersihkan parit dan tempat penyaringan. "Kami pun iuran untuk membayar orang yang mengawasi aliran limbah," tegasnya.

Meski sempat muncul usulan untuk menutup lokasi produksi selama ajang Asian Games, mereka tidak khawatir. Bu Mus dan perajin lainnya optimistis bila mereka akan tetap produksi.

Pasalnya, setiap bulan mereka mendapatkan kunjungan dari Dinas Perindustrian, Pemerintahan Daerah DKI Jakarta untuk mengecek tingkat kebersihan dan kesehatan lingkungan serta produksi.

Disisi lain, pusat produksi tempe ini mendapatkan bantuan mesin pemecah biji dari salah satu bank milik negara. Mereka diberikan 20 unit mesin untuk digunakan seluruh perajin dengan sistem bergantian.

Baru-baru ini, pemukiman tempat mereka tinggal juga diberikan gapura besi dengan nama Kampung Tempe. Mustiah mengaku pembangunan gapura tersebut menuai pro kontra. Sebab, sebagian warga yang tidak berprofesi sebagai perajin tempe merasa keberatan.

Namun setelah dirundingkan kembali, warga sepakat untuk tetap memasang gapura tersebut dengan nama Kampung Tempe. Sebab, gapura itu menjadi penanda bila di sana terdapat banyak pengrajin tempe.        

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×