Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Johana K.
KONTAN.CO.ID - Kondang sebagai pusat produksi tempe, perajin tempe kawasan Sunter, Jakarta Utara menuai berkah. Sebelum masa reformasi, menjadi tahun-tahun kejayaan mereka.
Pasalnya, harga kedelai sangat terjangkau dan dijamin oleh Bulog. Maklum, saat itu perusahaan plat merah ini memegang kuasa tata kelola keledai.
Menjelang tahun 2000-an, bisnis tempe mulai meredup seiring kenaikan harga kedelai. Seluruh perajin memutuskan mogok produksi selama tiga hari sebagai simbol protes kepada pemerintah.
"Saat itu bukan cuma kami, tapi seluruh perajin tempe di Jakarta demo ke DPR karena harga kedelai naik tiga kali dalam seminggu," cerita Mustiah.
Usaha mereka berbuah manis. Pemerintah memberi subsidi harga kedelai. Namun, langkah tersebut tetap dirasa kurang membantu. Harga kedelai terus melambung.
Perempuan yang lebih akrab disapa dengan Bu Mus ini mengaku, sampai hari ini harga pembelian kedelai masih tinggi dan terus merangkak naik.
Seperti pekan lalu, harga kedelai naik Rp 2.000 per kilogram (kg) dari minggu sebelumnya yang sebesar
Rp 78.000 per kg. Kondisi ini membuat perajin harus rela memangkas untungnya.
Para perajin memang tak tak ingin mengerek harga. Namun, saat harga bahan baku tak lagi dapat dibendung, Bu Mus memilih mengurangi ukuran tempe. Dia berharap, pemerintah dapat mencarikan solusi untuk membuat harga jual kedelai lebih stabil dan terjangkau.
Banyaknya perajin tempe disana tidak membuatnya kalang kabut. Sebab, setiap perajin bisanya sudah mempunyai pelanggan masing-masing.
Tidak jauh berbeda dengan Bu Mus, Tresno yang juga perajin tempe mengaku persaingan antar pengusaha tempe tidak menjadi masalah. Alasannya, mereka sudah mempunyai pasar masing-masing.
Kendala bisnis yang dirasakannya pun juga sama dengan lainnya yaitu harga beli kedelai terus merangkak naik. Tidak bisa menaikkan harga jual membuatnya harus rela menurunkan target keuntungan saban harinya.
Selain itu, ketatnya aturan dagang di Ibukota yang melarang berjualan di trotoar membuatnya sering kehilangan konsumen. "Dulu beberapa pelanggan jualan di trotoar setelah kena penertiban Satpol PP mereka pindah. Ada yang ke Bekasi ada yang ke pasar lain," ceritanya.
Kondisi tersebut tidak lantas membuatnya patah arah. Tresno kian rajin untuk mencari pelanggan baru.
Karena pusat produksi tempe membutuhkan tempat pembuangan limbah yang baik, dia berharap pemerintah dapat memberikan bantuan untuk penanganan limbah produksi tempe. Pasalnya, lokasi Kampung Tempe di Sunter, Kemayoran ini tidak seluas sentra industri tempe yang berlokasi di tempat lainnya.
Di sini juga relatif jauh dari tempat pembuangan.
(Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News