Reporter: Dharmesta, Mona Tobing | Editor: Tri Adi
Industri kerajinan topeng di Bali mengalami masa surut. Seorang perajin yang dulu bisa mendapat order 5.000 topeng tiap bulan, kini hanya mendapat pesanan 300 topeng. Bahkan, ada satu desa yang penduduknya sekarang beralih ke usaha pembuatan patung. Mereka pesimistis pada prospek usaha ini.
Masa kejayaan industri kerajinan topeng di Bali di bawah tahun 2000 masih saja sebatas kenangan. Sejak terpuruk akibat tragedi bom bali tahun 2002 dan 2004, hingga kini industri kerajinan topeng tersebut belum juga pulih. Pasarnya semakin buruk akibat krisis ekonomi global yang terjadi 2008.
Angga yang bersama kakaknya mengelola Wayan Artshop sejak tahun 1990, merasakan dampak penurunan pesanan. Dulu, toko yang khusus menjual topeng bali secara grosir ini mampu mendapatkan lima pesanan dengan jumlah 1.000 topeng per pesanan saban bulannya. “Sekarang dapat tiga pesanan masing-masing 100 topeng sudah bagus," ujar Angga.
Krisis ekonomi global membuat konsumen utama Angga, yakni orang asing yang menjual kembali topeng-topeng tersebut ragu memborong topeng dalam jumlah banyak. Mereka takut topeng tersebut tidak habis terjual. "Sementara pembeli lokal kurang berminat dengan topeng," ujarnya.
Produksi utama Angga adalah topeng afrika dan topeng bali. Harga topeng afrika Rp 20.000-Rp 200.000, tergantung ukuran. Adapun harga topeng bali seperti barong, raksasa, dan hanoman mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah per unit. Contoh, harga topeng raksasa Rp 100.00 sampai
Rp 200.000 per topeng.
Sebagai bahan baku topeng, Angga menggunakan kayu blalu. Selain murah, kayu ini tersedia dalam jumlah banyak di Bali. Kadar airnya juga rendah, yakni di bawah 0,02 mililiter. "Jika lebih, topeng akan mudah berjamur," ujar Angga.
Saat ini, dengan nilai tiap pesanan mencapai Rp 20 juta hingga Rp 30 juta, tiap bulan Angga bisa meraih omzet Rp 50 juta hingga Rp 100 juta. "Cuma, saya pesimistis dengan prospek kerajinan topeng bali," ujarnya.
Penurunan pesanan topeng juga dirasakan Happy Dwi Saputra. Meski turunnya tak dratis, ia bisa merasakan dampak penurunan pesanan.
Ia bercerita, lima tahun lalu, penduduk desa di Desa Mas, Ubud banyak yang menjadi perajin topeng. ini mereka beralih menjadi pemahat patung.
Memproduksi topeng dalam dua varian yakni untuk pajangan dan topeng koleksi, Happy tak bisa sembarangan mengerjakan pesanan, apalagi jika sang pemesan adalah kolektor.
Ia bahkan harus menjalani puasa agar dapat mendalami karakter dari topeng pesanan tersebut. Semakin seram dan rumit ukirannya, semakin mahal harganya. “Bisa sampai Rp 2 juta untuk satu buah topeng” ujarnya. Harganya memang tinggi, karena proses pembuatannya yang memakan waktu hingga tiga bulan. Adapun topeng untuk pajangan, harganya lebih terjangkau yaitu Rp 100.000 sampai Rp 500.000. "Cuma, pesanan sekarang turun," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News