Reporter: Rani Nossar | Editor: Rizki Caturini
Sepintas lalu, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul ini tidak berbeda dengan desa-desa sekitar pada umumnya. Nuansa pedesaan di sana begitu kental dengan hamparan sawah dan banyaknya peternakan kambing yang mengelilingi. Sebagian besar pria di desa ini bekerja sebagai petani dan peternak.Para ibu membuat jamu dan sesekali ke sawah jika masa panen tiba.
Meski banyak warga desa ini yang mahir membuat jamu, persaingan sengit sesama pembuat jamu hampir tidak terjadi. Mereka terpisah dalam dua kelompok, yaitu kelompok jamu rebusan (godog) dan jamu serbuk.
Para pembuat jamu yang awalnya berjualan jamu gendong, kini semuanya dikemas secara modern. Sehingga jamu cair yang biasa memiliki batas konsumsi hanya 12 jam kini bisa memiliki masa kedaluwarsa lebih lama karena dikemas dalam bentuk serbuk kering.
Biasanya produksi jamu dilakukan mulai pukul 6 pagi. Bahan-bahan baku dibeli dari Pasar Milir, Wates. Aneka daun, batang, dan buah yang sudah dikeringkan sejak 2 hari sebelumnya kemudian dipilih dan mereka mulai membersihkan, memotong, mengemas produk jamu kering siap jual. Produksi dilakukan dua kali dalam seminggu dengan kapasitas 200 bungkus sekali produksi.
Sedangkan pembuatan jamu serbuk sebanyak tiga kali seminggu. Mereka menggunakan banyak gula untuk membuat granula dan menjadikannya serbuk. Kelompok jamu serbuk ini memiliki kapasitas produksi 3.000 bungkus sekali produksi.
Pengadaan bahan baku jamu serbuk sebagian dari Pasar Godean, Bantul. Wagiyanti, pembuat jamu di sentra ini bilang, sebagian bahan baku dipasok dari warga sekitar yang membudidayakan tanaman jamu-jamuan. Misalnya tetangga sebelahnya, Priyatno, memiliki 3.000 meter lahan yang ditanami kunyit. "Harganya Rp 3.000 per kg, jauh lebih mudah daripada beli di pasar," ujar Wagiyanti.
Wagiyanti dan rekannya Rukmini masuk ke dalam kelompok jamu serbuk. Disini ada 29 orang yang juga ikut memproduksi dan menjual. Ada 10 orang menjajakan jamu di pagi hari ke desa-desa, sisanya menjajakan jamu di sore hari. Jika pagi hari target konsumennya adalah ibu rumah tangga dan anak sekolah, sedangkan sore hari untuk para pekerja yang baru pulang bekerja. Ada juga konsumen yang pesan lewat telepon untuk dikirim ke Jakarta atau ke kota lain untuk dijual lagi.
Kendala yang mereka alami sejauh ini lebih banyak soal pemasaran dan banyaknya penjual jamu yang memalsukan merek dagang mereka. Merek dagang jamu serbuk Jati Husada Mulya misalnya yang memang sudah terkenal seantero Yogyakarta.
Rukmini bilang, produk jamu abal-abal berwarna kuning mencolok dan jika diseduh dengan air panas aromanya tidak kuat. Sementara jamu yang asli itu tidak memiliki warna cenderung pucat. "Jika diberi air cairannya kental dan aromanya menyengat," kata dia. Oleh sebab itu, Rukmini kerap mewanti-wanti penjual di toko untuk lebih cermat menerima pasokan jamu. n
(Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News