Reporter: J. Ani Kristanti, Thomas Hadiwinata | Editor: S.S. Kurniawan
Siapa pun yang pernah mengelola usaha budidaya ikan pasti menyadari pentingnya pengelolaan pakan. Maklumlah, belanja untuk pakan ikan bisa mencapai 80% dari total produksi.
Jika si pemilik tambak tidak jeli dalam mengelola urusan pakan, ia akan selalu dibayang-bayangi ancaman tekor. Ada banyak aspek pengelolaan pakan yang biasa dicermati oleh petambak.
Yang pertama, tentu komposisi dan bentuk makanan itu sendiri. Aspek lain yang juga patut diteliti adalah banyaknya pemberian pakan.
Untuk jenis makanan, tentu tak lepas dari jenis ikan yang dibudidayakan. Sedang untuk menghitung banyaknya pakan yang dibutuhkan, biasanya petambak akan menggunakan metode trail and error.
Dari coba-coba inilah, biasanya pebisnis tambak mendapat formula yang pas agar ikan bisa cepat dipanen dengan biaya yang tak terlalu gemuk.
Cuma tak jarang terjadi, petambak tak urung mendapat rumusan yang jitu dalam penentuan urusan pakan. Bisa jadi si pebisnis ikan tak sempat turun tangan langsung dalam kegiatan pemberian pakan sehari-hari.
Sementara pekerja yang kebagian tugas tak cermat dalam membuat catatan. Mengingat pemberian pakan terjadi setiap hari, ketidakcermatan bisa berujung ke masalah finansial.
Jangan lupa, efek pemberian pakan yang terlalu banyak sama buruknya dengan dampak pemberian pakan yang terlalu sedikit. Beruntung lah bagi mereka yang tergoda untuk menerjuni bisnis perikanan di masa kini.
Masalah pemberian pakan, terutama seberapa banyak dan seberapa sering, kini sudah memiliki berbagai solusi. Di pasar saat ini, ada banyak alat dan sistim yang membuat urusan pemberian pakan ikan berlangsung secara otomatis.
Yang patut dicatat, perusahaan lokal pun tak ketinggalan menawarkan solusi pemberian pakan. Bahkan, solusi yang ditawarkan oleh perusahaan dalam negeri itu punya keunggulan.
"Kebanyakan mesin pakan ikan dari Taiwan dan Thailand hanya memiliki basis timer. Sedangkan e-fishery memiliki sensor nafsu makan ikan dan bisa terhubung ke jaringan internet," tutur Gibran Chuzaefah Amsi El Farizy, Chief Executive Officer PT Multidaya Teknologi Nusantara.
E-fishery, demikian nama produk pemberian pakan ikan milik Multidaya itu, dirilis ke pasar pada dua tahun silam. Menilik umur komersial produk itu, tentu kita bisa menebak bahwa e-fishery tergolong produk perusahaan rintisan.
Ya tebakan itu tidak salah. Cybreed, nama populer dari Multidaya memang termasuk startup. E-fishery, yang purwarupanya dikenal publik sekitar empat tahun silam merupakan gabungan dari alat, software, sekaligus sistem pendukung pemberian pakan.
Dalam teknologi e-fishery, alat yang berupa mesin pemberi pakan bisa terhubung dengan jaringan internet. Itu sebabnya, alat ini bisa dikendalikan dari jarak jauh baik melalui gadget maupun komputer.
Sistem e-fishery juga dilengkapi dengan sensor pendeteksi nafsu makan ikan. Selain itu, teknologi e-fishery ini bisa merekam catatan pakan yang disantap ikan. Cybreed pun mengklaim, teknologinya bisa menghemat biaya pakan petambak hingga 21%.
Tak bisa dipungkiri, e-fishery punya pasar jelas. “E-fishery contoh ideal tentang bisnis yang memberi solusi bagi masalah nyata," ujar Andrias Ekoyuono, Vice President Business Development Ideosource, seperti dikutip di situs web perusahaan tersebut.
Ideosource sendiri merupakan inkubator startup sekaligus venture capital Indonesia. Pada September tahun lalu, Ideosource turut serta dalam urunan modal di e-fishery.
Dalam tahapan pendanaan perusahaan rintisan, injeksi modal yang diterima Cybreed tahun lalu itu termasuk dalam pra tahap pertama. Yang menjadi promotor untuk suntikan modal itu sendiri adalah Aqua- Spark, sebuah perusahaan modal ventura asal Belanda yang berspesialisasi di aquaculture.
“Kami sangat senang bisa turut serta dalam memecahkan tantangan pemberian pakan bersama e-fishery,” tutur Amy Novogratz, partner di Aqua-Spark, seperti dikutip di laman resmi Ideosource.
Kolam lele
Pujian, dan tentu dana dari investor itu tentu tidak datang dalam semalam. Ide pembuatan sistim pemberian pakan berbasis internet nan cerdas itu hinggap di benak Gibran sejak ia berbisnis lele.
Ya, berbeda dengan kebanyakan pebisnis startup yang lain, Gibran justru mengawali kiprah bisnisnya dengan budidaya ikan lele. Pilihan bisnis itu sesuai dengan jalan hidup sekaligus pendidikan tinggi yang diperoleh pria yang lahir pada tahun 1989 ini.
Alkisah, saat menginjak tahun kedua kuliah di Fakultas Ilmu dan Teknologi Hayati di Institut Teknologi Bandung (ITB), Gibran harus mencari uang sendiri untuk kehidupan sehari-hari. Karena tengah tertimpa masalah keuangan, keluarga hanya menyediakan uang kuliah untuk Gibran.
Tak lantas putus asa, Gibran pun mencari berbagai pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Pekerjaan sampingan yang biasa dilakukan para mahasiswa, seperti mengerjakan tutorial atau ikut berbagai kompetisi, hingga memasok sayuran, pernah dilakoni Gibran. "Saya kerja apa saja selama tiga tahun," tutur dia.
Sesuai dengan kuliah yang ia ikuti, Gibran pun berkesempatan untuk berinteraksi dengan budidaya perikanan. Dari kegiatan lapangan yang ia ikuti saat kuliah, ia juga mendapatkan jaringan dengan para pengusaha tambak.
Gibran pun akhirnya terjun sebagai pembudidaya lele. "Dosen saya memprediksi ikan lele dan patin akan booming," ujar dia.
Untuk memulai bisnisnya sebagai pembiak lele, ia menggunakan tabungan sendiri. Dengan uang Rp 400.000, ia menyewa kolam seukuran 50 m². "Saya melakukan budidaya secara otodidak," cetus pria berusia 26 tahun ini.
Tak puas dengan hanya membiakkan lele, Gibran juga masuk ke bisnis hilir. Agar bisa menikmati margin yang lebihbesar, ia pun mengolah ikan-ikannya menjadi makanan jadi, seperti abon dan nuget.
Setelah empat tahun berkubang di kolam ikan dan usaha pembuatan makanan olahan, Gibran tentu paham dengan masalah yang umum dialami pebisnis ikan, yaitu pengelolaan pemberian pakan. Ia pun terpikir untuk membuat perangkat pemberian pakan ikan yang berbasis internet.
Namun Gibran tak asal nyebur membangun sistim pemberian pakan itu. Ia melakukan riset kecil-kecilan dulu ke sejumlah peternak ikan yang dikenalnya.
Begitu tahu ada pasar, Gibran tak tanggung-tanggung merealisasikan idenya. Ia langsung menjual seluruh bisnis makanan olahannya.
Gibran pun mulai mengibarkan bendera Cybreed bersama dua rekannya Ihsan Akhirulsyah dan Chrisna Aditya. "Saya beralih bisnis karena ada peluang dan tangan yang lebih menarik," tutur dia.
Menjual bisnis
Hasil penjualan itu ia jadikan modal untuk memesan prototipe e-fishery ke sebuah produsen perangkat elektronik di Bandung, empat tahun silam. Kebetulan, di akhir tahun yang sama, Bank Mandiri mengadakan kompetisi Mandiri Young Technopreneur.
Gibran yang terbiasa mengikuti berbagai ajang lomba sejak kuliah pun ikut serta. Hasilnya? Dia berhasil menyabet gelar juara. Lebih penting lagi, ia mendapat modal untuk mengembangkan e-fishery dari sayembara itu.
Tentu, ada kisah jatuh bangun di awal Gibran memulai kiprahnya sebagai pebisnis rintisan. Ambil contoh, saat ia mendekati para peternak ikan.
Gibran pernah bersiasat untuk mendekati perusahaan berskala besar demi memperbesar pasar e-fishery. "Kalau perusahaan besar mau memakai, pasti peternak lain akan ikut," tutur dia.
Ia pun melobi para manajer lapangan di sebuah perusahaan agribisnis berskala besar. Berbagai presentasi ia lakukan. Namun hasilnya? Para manajer lapangan itu menolak menggunakan e-fishery.
Namun penolakan itu tak membuat Gibran putus asa dalam membangun jaringan. Belakangan saat e-fishery sudah mulai bergaung namanya,
"Justru bos besar di perusahaan itu yang memanggil saya. Dan mereka juga akhirnya mau memakai sistim kami," tutur dia.
Perkembangan e-fishery sendiri terbilang pesat. Jika bentuk awalnya hanya bisa dipakai untuk budidaya lele, kini e-fishery bisa digunakan untuk berbagai jenis ikan, baik air tawar maupun air laut, yang lazim dibudidaya.
Misalnya, ikan mas, nila, patin, lele, gurame, hingga kakap. Tambak udang juga bisa memanfaatkan e-fishery.
Menurut catatan Cybreed, sudah ada 17.000 kolam dan tambak ikan di negeri ini yang menggunakan produk mereka. Kebanyakan pelanggan e-fishery berada di Jawa, Sumatra dan Kalimantan.
Memang, tak semua alat tersebut dijual. Ada juga yang disewa. Namun, Gibran tak mau membuka lebih rinci tentang pendapatannya.
Yang pasti, harga satu unit e-fishery berkisar Rp 5 juta hingga Rp 9 juta. Perbedaannya terletak di fitur. Cybreed juga memanen cuan dari biaya berlangganan mobile software e-fishery.
Pendapatan dari usaha plus suntikan modal dari Aqua-Spark serta Ideosource yang tak disebutkan nilanya membuat Cybreed optimistis untuk memperluas pasarnya tak hanya di Indonesia saja.
Saat ini, perusahaan itu menyatakan sudah mendapatkan pesanan dari pebisnis di Thailand, Singapura, India, China, Brazil, dan berbagai negara di Afrika.
Selamat mengarungi luasnya kolam ikan di dunia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News