Reporter: Cindy Silviana Sukma | Editor: Uji Agung Santosa
SURABAYA. Lima tahun lalu, Chrysant Candra Puspa tak pernah membayangkan hidup dari eceng gondok seperti sekarang ini. Awalnya perempuan ini bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan swasta di Surabaya.
Namun di tahun 2009, Chrysant iseng-iseng mengikuti pelatihan membuat kerajinan berbahan eceng gondok di Gunung Anyar bersama beberapa kelompok Tani. Beberapa kali mengikuti pelatihan, ia pun mencoba mempraktikan sendiri di rumah.
Setahun kemudian, perempuan muda asal Surabaya ini mulai berani menjual produk-produk kerajinan eceng gondok hasil kreasinya sendiri. Berbagai macam produk seperti vas bunga, tempat sampah, tas, hingga kotak antaran dari eceng gondok dibuatnya dengan tangan sendiri.
Tak hanya mengikuti pelatihan sekali, ia juga memanfaatkan pelatihan dan ajang pemasaran yang sering diadakan oleh pemerintah, maupun perusahaan swasta seperti PKK Sampoerna.
Produk kerajinan eceng gondoknya pun semakin dikenal oleh masyarakat. Tak sedikit yang juga memesan secara khusus. Bahkan sesekali ada turis Jepang yang datang untuk membeli kerajinan dekorasi rumah di kediaman sekaligus tempat produksinya "Dana Dina", di Rungkut Manunggal, Surabaya.
Kini omsetnya dalam sebulan bisa mencapai Rp 25 juta per bulan. Lebih besar dari gaji yang ia peroleh saat menjadi pekerja kantoran. Bahkan ia juga memberdayakan sebanyak tujuh ibu rumah tangga untuk membantunya memproduksi kerajinan eceng gondok.
Pahlawan Ekonomi lainnya adalah Nur Fadilah, produsen aneka camilan, seperti kacang mente, jagung. kacang, kerupuk, keripik, dan olahan laut. Sudah sekitar 30 tahun, ia merintis usahanya dengan mengolah pangan dan camilan dengan merek "Syafrida".
Saat ini, produk camilannya tak hanya didistribusikan di Surabaya. Namun, sudah masuk ke supermarket besar seperti HERO di seluruh Indonesia. Nur Fadilah mampu meraup omset mencapai Rp 500 juta setiap bulannya. Selain memiliki omset yang tinggi, perempuan berusia setengah baya ini juga telah mempekerjakan 26 orang dalam membangun bisnis camilannya.
Chrysant dan Nur Fadilah merupakan beberapa contoh pahlawan-pahlawan ekonomi yang diusung di kotanya, Surabaya. Menurut Walikota Surabaya Tri Rismaharini, menumbuhkan pahlawan ekonomi merupakan salah satu cara pemerintah kota (pemkot) untuk menuntaskan kemiskinan struktural di Surabaya.
"Apabila dalam satu keluarga, sang laki-laki atau kepala keluarga telah mencari nafkah, tapi masih miskin. Maka, mesin kedua harus digerakkan, yakni ibu-ibunya," ujar Risma saat pembukaan acara PKK Sampoerna Expo di Tunjungan Plaza, Surabaya, 20 Agustus lalu.
Oleh sebab itu, pada tahun 2010 lalu, Risma mulai mengajak dan menggerakkan para perempuan, yang umumnya ibu-ibu rumah tangga untuk mengambil peran penggerak ekonomi di keluarganya. Berbagai program pelatihan dan kerajinan di kecamatan-kecamatan terus digalakkan. Bantuan modal juga tersedia. Ia juga membuka kesempatan bagi perusahaan swasta seperti PT HM Sampoerna Tbk untuk membantu memberi pelatihan-pelatihan agar masyarakat Surabaya mandiri.
Hasilnya, ujar Risma, kini jumlah usaha kecil menengah (UKM) yang dirintis oleh kaum perempuan di Surabaya telah berjumlah 1.082 UKM. Bahkan, sudah terbentuk koperasi-koperasi kecil yang mewadahi kebutuhan dari para pelaku usaha kecil menengah tersebut, mulai dari yang beranggotakan 4 UKM hingga jumlah yang lebih besar.
Mempersiapkan UKM ,enuju MEA 2015
Tak hanya memberi fasilitas program pelatihan produksi, para pelaku UKM di Surabaya juga mendapat fasilitas pemasaran, pelatihan cara bertransaksi dan bahasa. Pelatihan ini bertujuan untuk mempersiapkan para pelaku usaha menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 mendatang.
"Kami ajarkan menggunakan transaksi dengan online, perbankan, cara pemasarannya. Mengenalkan aturan-aturan bisnis di negara lain, dan belajar bahasa. Yang penting, mereka (ukm) tidak tertipu dulu," ungkap Risma.
Mempersiapkan pengembangan UKM sangat penting dalam menerima tantangan MEA, dimana harus berkompetisi dengan produk-produk asing.
Adapun, Risma bilang, perputaran uang di kota Pahlawan itu bisa mencapai Rp 20 triliun per hari. Jumlah ini lebih besar dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Surabaya Rp 7 triliun per tahun, dan APBD Jawa Timur Rp 15 triliun per tahun. "Perputaran uang ini menjadi makanan empuk pihak asing jika kita tak berani memasuki wilayah itu," tegasnya.
Hingga kini, sudah ada beberapa UKM yang bisa mengekspor produksi mereka ke luar negeri. Akan tetapi, diperlukan konsistensi dari para pelaku usaha untuk mengembangkan pasar mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News