Reporter: J. Ani Kristanti | Editor: Tri Adi
Pengalaman orangtuanya yang gagal membangun bisnis tak menghalau langkah Laja Lapian terjun dalam dunia usaha. Dengan penuh percaya diri, Laja memulai usaha sendiri, meski sudah belasan tahun meniti karier di industri perbankan.
Kini, pria kelahiran Manado, 40 tahun silam ini memiliki tiga perusahaan dengan tiga bidang usaha. Yakni, usaha di bidang human resource (HR), logistik dan pabrik pelat baja yang baru dimilikinya Agustus lalu. Lewat proses akuisisi, Laja mengantongi saham 68% PT Alpindo Mitra Baja, produsen berbagai komponen otomotif dan plat baja di Sukabumi, Jawa Barat.
Laja mengawali langkahnya di dunia usaha pada 2004 silam, setelah mengambil tawaran paket pensiun dini dari Bank Internasional Indonesia (BII). Bersama seorang rekannya, dia mendirikan perusahaan yang menawarkan jasa outsorcing, yang membidik pasar industri perbankan. “Kami memulai dari menyediakan tenaga administrasi dan call center,” kata dia.
Sejak awal, dia menaruh keyakinan jalan yang dipilihnya ini akan berhasil. Padahal, lantaran ayahnya gagal dalam berbisnis, ibunya sempat melarang Laja menjalani usaha. “Saat itu, Ibu menginginkan saya tetap menjadi karyawan,” kenang pria yang tampil rapi ini.
Laja bilang, dia mantap berbisnis karena merasa punya cukup kemampuan dan integritas. “Sembilan tahun di BII, saya berada di divisi HR dan banyak belajar di sana,” jelas dia. Selain itu, dia juga mendapat partner bisnis yang tepat untuk memulai usaha ini.
Benar saja, awal bisnisnya berjalan manis. Beberapa bank menjadi kliennya. Meski awalnya dia harus menyediakan banyak waktu untuk mengedukasi pasar terlebih dulu. “Saat itu, awal mula penerapan outsorcing, masih banyak perusahaan yang menganggap jasa ini mahal,” tutur Laja.
Namun, kerjasama bersama partnernya dalam Prime Sinergi Resources hanya berlangsung tiga tahun. Laja bilang, ada ketidaksepahaman, hingga dia memilih keluar.
Tak berselang lama, dia pun kembali membangun bisnis yang sama. Seperti tak ada trauma menjalankan bisnis dengan orang lain, pada bisnisnya yang kedua ini Laja kembali menggandeng dua rekannya. Mereka mendirikan Sinergi Network Solution yang juga bergerak dalam jasa outsorcing.
Namun, lagi-lagi, di kemudian hari, Laja tak menemui kesamaan visi setelah perusahaan berjalan selama lima tahun. Dia pun kembali mundur sebagai manajemen dengan tetap menanamkan sahamnya di perusahaan itu. “Bagi saya tak masalah tetap andil saham, meski visi kami berbeda,” kata Laja.
Lantas, dia pun mendirikan perusahaan sendiri, yakni Multinasional Sinergi Indonesia (MSI). Bisnisnya masih tetap dalam bidang penyediaan tenaga alih daya. Namun, tak hanya menyediakan tenaga kerja untuk industri perbankan, Laja juga menyiapkan karyawan untuk industri telekomunikasi dan pertambangan. “Kami lebih banyak karyawan dengan skill (keahlian),” tutur Laja.
Saat ini, ada lebih dari 1.000 orang yang bergabung MSI. Dia mengklaim, perusahaannya termasuk salah satu yang terbesar dalam skema pemberian gaji, berkisar Rp 4,5 juta-Rp 60 juta per bulan.
Komunikasi dan jaringan
Komunikasi menjadi salah satu kunci sukses dalam menjalankan bisnisnya. Setiap ada permasalahan, Laja selalu mengutamakan komunikasi langsung dengan klien. “Bila ada klien yang marah lewat email, saya berusaha tak menjawabnya, tapi ajak ketemu karena komunikasi verbal itu lebih penting. Saya harus tahu apa yang menjadi konsern customer,” jelas dia.
Komunikasi ini pula yang menjadi salah satu strateginya untuk mendekati karyawan Alpindo. “Saya harus bisa berkomunikasi dengan gaya bahasa yang benar. Tak bisa kan, berbicara yang muluk-muluk mengingat kondisi karyawan saat itu sudah tak menerima gaji selama tiga bulan,” urai Laja yang menolak kawalan polisi saat menghadapi para pekerja Alpindo.
Selain itu, keandalan Laja dalam membangun jaringan menjadi kunci sukses yang lain. “Jaringan itu bukan saja kita mengenal siapa, tapi siapa yang kenal dengan kita,” cetus bungsu dari dua bersaudara ini.
Dari jaringan ini, dia memperoleh partner untuk mendirikan perusahan logistik Forway tahun lalu. Perusahaan yang berkantor di Marunda ini menangani berbagai keperluan logistik mulai dari ekspor impor, bongkar muat, transit hingga pergudangan.
Berkat jaringan ini pula, dia mendapat tawaran untuk mengakuisisi Alpindo. “Saya mendapat tawaran dari sebuah bank, setelah melihat rekam jejak saya dan MSI,” kata ayah dua putra ini. Sebab, MSI pernah menuai kesuksesan menangani pabrik baja yang juga berhenti beroperasi di Cikarang, Jabar.
Asal tahu saja, berbagai masalah menimpa Alpindo, mulai masalah hukum terkait jaminan perusahaan untuk pinjaman koperasi di Sukabumi, hingga terjerat hutang dengan beberapa debitur. Akibatnya, pabrik sempat berhenti berproduksi karena tak sanggup menggaji pekerjanya.
Namun, di mata Laja, Alpindo masih berpeluang lantaran perbankan masih mau membantu pabrik beraset Rp 500 miliar itu, dengan restrukturisasi utang. Selain itu, konsumen dan pemasok juga memberi dukungan bahwa dia bisa menjalankan perusahaan ini. “Bahkan, saya terharu, saat ada konsumen yang datang untuk mengucapkan terimakasih karena pabrik akan berjalan lagi,” kata Laja. Maklum, banyak produsen dari luar negeri yang mengincar pabrik seluas 15 hektar ini.
Menjalani bisnis di berbagai bidang sepertinya tak menjadi beban bagi Laja. Meski cukup mengantongi ijazah D3 Akuntasi, Laja berhasil membuktikan kelihaiannya berbisnis. Prinsipnya, jangan taruh telur di satu keranjang. “Yang penting semua dipelototin dan mengecek perkembangannya setiap hari,” tutup Laja yang dari berbagai usahanya menuai omzet belasan miliar per bulan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News