Reporter: Arie Christy Meliala | Editor: Tri Adi
Beberapa kali menjadi korban kerusuhan tak menyurutkan niat Leo Chandra berbisnis. Jaringan toko kredit Columbia telah mampu bertahan selama 29 tahun dengan total 500 cabang. Omzet usahanya mencapai Rp 2 triliun per tahun.
Maju terus pantang mundur. Layaknya pejuang kemerdekaan, kata menyerah tidak pernah ada di kamus kehidupan Leo Chandra, pendiri sekaligus pemimpin
PT Columbindo Perdana atau biasa disebut Columbia. Selagi masih ada kepercayaan, saat kondisi bisnis terpukul, Leo tetap yakin bisa bangkit. Ia tak pernah menyerah pada keadaan buruk yang menimpa usahanya.
Perjuangannya selama 29 tahun mengembangkan Columbia memang berbuah manis. Perusahaan ini berhasil meraup omzet rata-rata hingga Rp 2 triliun dari 500 cabang toko di seluruh Indonesia. Columbia menjual aneka perabot rumah tangga, barang elektronik, ponsel, dan alat musik, baik secara kontan maupun kredit. Barang-barang tersebut didatangkan langsung dari pabrik yang bekerjasama dengan Colombia, baik berupa barang impor maupun buatan lokal.
Sebagai perintis, pekerjaan Leo tentu tidak ringan. Ia harus meyakinkan mitra bisnisnya, yakni para distributor alat rumah tangga, bank, pembeli, bahkan diri sendiri bahwa bisnis ini layak dan menguntungkan. ”Orang pikir, saya gila saat memulai bisnis itu,” kenang Leo.
Pada tahun 2002, Leo mengakuisisi PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) untuk menyokong pembiayaan secara kredit. Saat ini, perusahaan pembiayaan ini memiliki sekitar 72 cabang. Klien utama SNP adalah konsumen Columbia.
Keberhasilan Leo bukanlah usaha sekejap yang tanpa kejatuhan dan perjuangan. Sebenarnya, bisnis ini sudah dirintis buyutnya, seorang pedagang rempah-rempah asal Tionghoa (China), sekitar seratus tahun silam. Jiwa dagang keluarganya yang sudah satu abad berbisnis di Indonesia telah mendarah daging dalam diri Leo. Apalagi, ia merupakan generasi keempat keluarganya di Indonesia.
Pada 1930-an, kakek Leo mulai berbisnis peralatan elektronik. Ia menjual lampu sampai alat musik. Ayah Leo meneruskan bisnis itu dengan membuka toko kelontong di Binjai, Sumatra Utara pada tahun 1940. Di toko ini, Leo membantu ayahnya menjual aneka kebutuhan sehari-hari hingga obat-obatan. "Jaga toko itu bukan pekerjaan, tapi sebuah keharusan demi kelangsungan sebuah keluarga," ujar Leo mengenang.
Setelah 15 tahun di Binjai, Leo dan keluarganya hijrah ke Medan lantaran sang ibu meninggal dunia. Ayah dan pamannya lantas membuka toko baru. Ayah Leo membuka toko kelontong di Medan, sedangkan pamannya membuka toko elektronik di Jakarta.
Terhempas kerusuhan
Usaha keluarga Leo dalam membangun bisnisnya tidak selalu mulus. Bisnis orang tuanya juga sempat berhenti saat terjadi peristiwa pemberontakan PKI pada 30 September 1965. Sebagai keturunan Tionghoa, toko keluarganya menjadi salah satu sasaran. "Toko kami, Wan-Y, yang sudah cukup maju dirampok dan dibakar," kata Leo.
Leo juga terpaksa putus kuliah di fakultas ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta. Kampus itu ditutup karena dianggap mendukung PKI. Karena itu, ia kembali ke Medan.
Dua tahun setelah peristiwa tersebut, Ayah dan pamannya merintis usahanya kembali. Pamannya beralih ke bisnis travel sementara Leo, anak pertama dari 9 bersaudara ini meneruskan usaha ayahnya di Medan.
Toko eletronik yang pernah dibangun pamannya menginspirasi Leo untuk berbisnis elektronik di Jakarta dengan mendirikan PT Columbia pada 28 Februari 1982. Ia memilih model bisnis dengan menjual barang-barang tersebut secara kredit. Leo melihat, banyak masyarakat melihat produk elektronik sebagai barang mewah dan hanya orang kaya yang bisa membelinya. Nah, pembayaran secara kredit menawarkan solusi bagi masyarakat.
Meski berisiko, Leo meyakinkan dirinya bahwa pada dasarnya, manusia yang beragama pasti berkomitmen membayar utang. "Saya berpikir positif saja. Walau ada yang nakal, jumlahnya tidak akan banyak," katanya.
Karena itu, awalnya, Leo juga tak berani memberi kredit terlalu besar. Apalagi, tak ada bank yang mau memberi pinjaman sebagai modal. “Modal bisnis ini adalah nama baik keluarga,” kata pria yang kini berusia 70 tahun itu bangga.
Saat banyak pihak tak mendukung model bisnis ini, beberapa pabrik elektronik yang mengenal keluarganya sejak lama justru mau menyokong. Mereka mau memberi barang terlebih dulu dengan tempo pembayaran lebih lama.
Kerusuhan Mei 1998 sempat mengguncang Columbia. Sekitar 10 toko tutup karena rusak parah dan tidak ada barang yang layak dijual. Kerugian Columbia jauh lebih besar lagi lantaran ratusan orang ogah membayar utang dengan alasan toko tutup. "Harta boleh habis, tapi selagi masih ada nama baik, selalu masih ada kesempatan," ungkap Leo penuh keyakinan.
Kini, di tengah persaingan bisnis kredit elektronik, Leo yakin bisnisnya terus bersinar. Ia berambisi menyebar cabang sampai kecamatan. "Banyak wilayah kecamatan yang sudah maju," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News