Reporter: Noor Muhammad Falih, Benediktus Krisna Yogatama | Editor: Dupla Kartini
Wilayah Sleman di Yogyakarta terkenal sebagai sarang pembatik. Namun, tak semua perajin yakin, membatik bisa menjadi sumber penghasilan andalan. Inilah yang terjadi pada keluarga Sri Lestari. Meski keluarganya sudah menggeluti usaha batik selama puluhan tahun, namun terhenti pada 1970-an. Ibunya memutuskan berhenti membatik, karena hasilnya tak sesuai harapan.
Inilah yang justru memacu tekad Sri untuk merintis kembali usaha batik. Ia ingin membuktikan, bisnis kain tradisional ini bisa menjadi sumber penghidupan. Harapannya terkabul. Berkat kerja keras, usaha yang dirintis sejak Maret 2005 itu sukses. Di bawah bendera Batik Allusan, nama Sri populer di Dusun Jodag, Sleman.
Supaya bisa bersaing, sejak awal, perempuan kelahiran Sleman 38 tahun silam ini sudah menetapkan target pasar khusus. "Prinsip saya target pasar tidak boleh setengah-setengah. Kalau menengah atas, harus menengah atas sekalian, jangan menyerempet ke menengah bawah juga," tuturnya.
Memang, kata Sri, konsekuensinya, kualitas batik harus memenuhi keinginan pasar tersebut, yang cenderung berselera tinggi.
Batik Allussan menawarkan kain batik tulis dan batik cap, dengan ukuran 1,15 meter x 2 meter. Harganya bervariasi, mulai dari Rp 50.000 hingga Rp 6,5 juta per lembar. Lantaran membidik kelas menengah ke atas, Sri pun membuka galeri di sejumlah mal dan hotel. Sebut saja, di Hotel Inna Garuda Yogyakarta, Galeria Mall Yogyakarta, dan Hotel Santika, Jakarta.
Setiap bulan, Batik Allussan bisa menghasilkan 300 lembar batik tulis, dan 2.000 lembar batik cap. Tak heran, Sri bisa meraup omzet di atas Rp 100 juta sebulan.
Uniknya, dalam proses produksi, ibu dua anak ini tidak merekrut perajin. Ia malah membangun sistem kemitraan dengan tetangga sekitar rumah. “Total ada 25 kepala keluarga (KK) yang ikut kemitraan,” ujarnya.
Sistemnya, anggota kemitraan mengambil bahan baku, berupa kain putih yang sudah digambar motif, serta alat-alat membatik seperti canting dan malam dari Sri. Kemudian, mereka membatik di rumah masing-masing. Jika sudah rampung, mereka menyerahkan hasilnya kepada Sri.
Sri bilang, konsep ini merupakan bentuk gotong royong dalam memajukan perekonomian warga di sekitarnya. Para pekerja diberi upah berkisar Rp 15.000 hingga Rp 150.000 untuk setiap lembar batik, tergantung tingkat kerumitan motif.
Selain batik tulis, para tetangga yang diberdayakan Sri juga memproduksi batik cap. "Namun pada dasarnya mereka hanya sebagai tenaga kerja, bukan konseptor motif. Untuk pemilihan dan menggambar motif pada kain batik tulis, saya dan suami yang kerjakan," ungkap lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Sleman ini.
Namun, sebelum menyerahkan pengerjaan batik, Sri lebih dahulu mengajarkan cara membatik tulis. Ia memang mewarisi keahlian membatik dari ibu dan neneknya. Maklum, sejak kecil ia sudah terbiasa dengan kegiatan membatik. Kecintaan pada batik pulalah yang mendorongnya memulai kembali bisnis batik. (Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News