Reporter: Rani Nossar | Editor: Tri Adi
Untuk memenuhi besarnya permintaan pelanggan, para produsen lontong di Kelurahan Petemon dan Banyuurip, Kecamatan Sawahan, Surabaya, harus menyediakan stok bahan baku beras dalam jumlah banyak. Dalam sehari, produsen bisa menghabiskan 30 kilogram beras. Beras itu berasal dari Bulog dan sejumlah distributor.
Sentra pembuatan lontong di Kelurahan Petemon Barat dan Banyuurip sudah terkenal di seantero Jawa Timur. Lontong buatan warga di kampung ini bukan hanya dipasok ke para pedagang makanan di Surabaya, tapi seantero Jawa Timur.
Boleh dibilang, di sentra ini tidak ada pelanggan yang membeli lontong dalam jumlah satuan. Para produsen lontong menjual dalam partai. Jadi, jika kebetulan sedang singgah di kampung lontong, Anda jangan berharap bisa membeli hanya satu biji atau dua biji.
Untuk memenuhi besarnya permintaan lontong dari pelanggan, saban hari, para produsen harus menyediakan stok bahan baku beras dalam jumlah banyak. Contohnya Reni Novita, pedagang lontong di Petemon Barat.
Dia mengaku, untuk memproduksi lontong, dalam sehari menghabiskan dua karung beras seberat 30 kilogram. Beras itu dipasok Reni dari Perum Bulog Divisi Regional Jawa Timur.
Reni bilang, Perum Bulog bersedia memasok beras ke kampung lontong, tak lepas dari peran Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Melihat geliat bisnis warga di sentra ini, Risma menobatkan Kelurahan Petemon dan Banyuurip sebagai perkampungan yang punya produk unggulan berupa lontong.
Karena itu, Reni berkisah, Walikota Risma meminta agar Bulog Jawa Timur bersedia untuk mengalokasikan beras untuk sentra industri lontong di perkampungan ini. Alhasil, kata Reni, Bulog sanggup memenuhi pasokan beras sebanyak 5 ton per bulan untuk para produsen lontong.
Reni mengaku, setiap bulan dapat pasokan beras dari Bulog 50 kilogram (kg). Tapi, jumlah pasokan itu tidak menutupi kebutuhan bahan baku lontong produksinya. Karena itu, ia harus membeli beras dari distributor lainnya dengan merek Rojo Lele yang dibandrol Rp 8.500 per kg.
Sementara itu, untuk pembungkus lontong berupa daun pisang, Reni mendapatkan pasokan dari Mojokerto dan Jombang, Jawa Timur. Sebab, kata dia, populasi pohon pisang di Surabaya sudah sangat terbatas. Daun pisang itu diantar langsung pemasoknya tiga hari sekali.
Dalam sehari, kata Reni, usaha lontongnya bisa menghabiskan lebih dari tiga bal daun pisang. Satu bal daun pisang yang telah dipotong harganya Rp 10.000. Biasanya, daun pisang itu untuk membungkus ratusan lontong buatan Reni.
Untuk sekali kirim kepada pelanggannya yang berjualan makanan di Pasar Asem, Sukomanunggal, ia memasok 500 lontong. Sisanya sekitar 200-300 lontong dibeli pengepul untuk dijual lagi ke tukang jajanan gerobakan.
Berbeda dengan Reni, Tuti Aminah justru mengais rezeki dari membuat bungkusan lontong. Peluang bisnis ini dimanfaatkan Tuti lantaran banyak produsen kewalahan membuat bungkusan lontong.
Dalam sehari, ia mampu membuat bungkusan lontong sebanyak 15 keranjang-35 keranjang. Satu keranjang berisi 100 lontong. Harga satu keranjang bungkusan lontong dibanderol Tuti Rp 12.000.
Karena hanya dibantu satu orang anaknya, Tuti hanya menerima pesanan untuk produsen lotong di kawasan Petemon. Meski begitu, Tuti bisa mendapatkan omzet Rp 6 juta per bulan dari membuat bungkusan lontong.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News