Reporter: Izzatul Mazidah | Editor: Havid Vebri
Memiliki ketertarikan lebih pada buah kakao. Itulah yang mengantarkan Tissa Aunilla menjadi salah satu produsen cokelat terkenal dengan membesut nama Pipiltin Cocoa.
Perempuan yang awalnya berprofesi sebagai pengacara di Hamzah & Partners ini bukan hanya ahli hukum. Ia juga memiliki pengetahuan yang luas seputar cokelat.
Pernah mengambil pendidikan master cokelat di Swiss, Tissa mampu membedakan jenis-jenis cokelat. Ia juga tahu tentang cara dan teknik pembuatan cokelat. Selain memiliki ketertarikan pada coklat, melimpahnya pasokan cokelat di dalam negeri juga turut mendorongnya untuk terjun ke bisnis olahan cokelat.
"Saya melihat biji cokelat yang dihasilkan petani Indonesia merupakan biji cokelat yang diekspor terbesar nomor tiga di dunia," katanya kepada KONTAN. Sebagai orang Indonesia, ia lalu tertarik untuk mengolah biji cokelat di dalam negeri agar memiliki nilai tambah.
Selama ini, cokelat yang terkenal di Indonesia mayoritas berasal dari luar negeri, seperti Belgia, Swiss, dan lain-lain. "Niat lainnya, saya juga ingin memberdayakan petani lokal khususnya di Aceh dan Bali,” ujar Tissa.
Ia merintis usaha pengolahan cokelat pada Maret 2013. Sebelumnya ia sudah menyiapkan bisnis olahan cokelat ini tiga tahun lamanya. Dalam waktu singkat, bisnis olahan cokelatnya terus berkembang. Pusat pengolahan cokelatnya berada di Jalan Barito, Jakarta.
Ia juga sudah membuka gerai penjualan yang dinamakan Chocolate Boutique Pipiltin Cocoa. Lokasinya juga di Jakarta. Selain itu, Tissa juga memasok cokelat ke hotel bintang lima dan luxury hotel di Jakarta dan beberapa kafe. Dalam sebulan, ia bisa memasok hingga puluhan kilogram cokelat untuk diolah.
Segmentasi produk olahan coklat Pipiltin Cocoa sendiri mengarah konsumen menengah atas. Tak heran bila pelanggannya banyak hotel elite dan kafe ternama di Jakarta.
Meski penjualan di offline store cukup bagus, Tissa juga memiliki pelanggan online hingga luar negeri.
Lewat transaksi e-commerce, ia mengirim pesanan cokelat ke pembeli di Prancis, Hong Kong, dan Singapura. Sementara pelanggan lokal berasal dari Jambi dan Palangkaraya.
Demi memberdayakan petani Indonesia, bahan baku biji coklat diambil dari petani di daerah Aceh dan Tabanan, Bali. Setia satu hingga dua bulan, ia rutin membeli cokelat dari petani.
Sekali melakukan pembelian bisa mencapai 500 kilogram (kg) biji cokelat. Setelah diolah beratnya bisa menyusut 60% atau sekitar 250 kg cokelat olahan. Bila musim Valentine tiba, stok cokelat sebanyak itu langsung ludes terjual di bulan itu juga.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News