kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mantan room boy sukses usaha budidaya jamur


Selasa, 04 Juni 2019 / 10:00 WIB
Mantan room boy sukses usaha budidaya jamur


Reporter: Nina Dwiantika | Editor: S.S. Kurniawan

KONTAN.CO.ID - Melihat teman satu kampungnya sukses usaha budidaya jamur tiram, Riduan Ependi pun kepincut terjun ke bisnis yang sama. Akhirnya, dia memutuskan berhenti kerja sebagai petugas pembersih kamar alias room boy di Palace Hotel Cipanas, Kabupaten Cianjur.

Padahal, uang tabungannya enggak cukup sebagai modal awal usaha budidaya jamur. Setidaknya, butuh dana Rp 60 juta untuk memulai bisnis ini. “Uang saya tidak mencapai dari setengahnya,” kata Riuwan.

Tapi, tekadnya merintis usaha itu sudah bulat. Bermodal duit seadanya, dengan bimbingan sang teman yang sukses berbudidaya jamur, ia mulai melakoni usaha ini di 2014.

Dan, keputusan pria 43 tahun ini enggak salah, meski dia harus melalui jalan berliku. Kini, Riduan mengelola rumah jamur atawa kumbung berisi 30.000 media atau baglog, dengan tiga karyawan. Dia bisa mengantongi omzet sekitar Rp 100 juta per tahun.

Awalnya, Riduan memulai usaha budidaya jamur di kampungnya, Desa Cugenang, Cianjur, dengan 10.000 baglog. Maklum, modalnya hanya cukup membeli sejumlah itu.

Sebab, selain membeli baglog dan bibit, ia mesti membangun kumbung. Padahal idealnya, minimal harus 20.000 baglog agar usaha bisa berkembang.

Walhasil, usahanya tidak maju-maju padahal sudah berjalan dua tahun. Sebab, keuntungannya hanya segitu-gitu saja. “Pendapatan habis hanya untuk beli baglog,” ujarnya.

Beruntung, dia punya teman yang bekerja di kantor cabang PT Kimia Farma Tbk di Cianjur. Nah, teman ini yang membukakan jalan Riduan untuk memperbesar usahanya bernama Kumbung pak Riduan.

Lantaran sering bermain ke kumbung dan tahu permasalahan modal yang membelit Riduan, sang teman menyampaikan, perusahaan tempatnya bekerja memiliki Program Kemitraan dan Bina Lingkungan  (PKBL). Program ini menawarkan pinjaman modal bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) seperti Riduan.

Lantaran syaratnya sangat mudah, tanpa berpikir panjang, Riduan pun mengajukan pinjaman tersebut. Habis, ia hanya cukup menyerahkan kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK), dan izin usaha dari kepala desa setempat. “Kalau harus punya agunan, itu terasa berat karena saya tidak memiliki apa-apa,” imbuhnya.

Gayung bersambut, perusahaan farmasi pelat merah itu memberikan pinjaman modal sebesar Rp 25 juta pada 2016. Pinjaman itu tidak berbunga sama sekali, Riduan hanya perlu membayar jasa administrasi Rp 1,2 juta.

Dengan dana itu, ia langsung membeli 20.000 baglog jamur. Walhasil, dia mengelola 30.000 media jamur. Alhasil dia bisa mendekap keuntungan lebih besar. “Tentu saja, usaha budidaya jamur saya bisa langsung besar,” ujarnya.

Rugi besar

Meski begitu, seperti kebanyakan pelaku usaha lainnya, ia pun pernah menderita kerugian. Enggak tanggung-tanggung, lima bulan lalu, hampir separuh budidaya jamurnya mengalami gagal panen. Penyebabnya, hama yang datang secara tiba-tiba.

Jebolan SMA Lahat ini menduga, cuaca yang ketika itu berubah-ubah membuat hama datang. Sedang jamur membutuhkan cuaca yang tidak cepat berubah. “Saya rugi hampir 40%,” ucap dia. Akibat kerugian sebesar itu, ia cuma sanggup membeli 20.000 baglog saja.

Untungnya, pinjaman dari Kimia Farma sudah lunas. Ridwan pun kembali mengajukan pinjaman ke perusahaan yang berdiri tahun 1971 silam itu dan ia mendapat bantuan modal kembali.

Kali ini, nilainya sebesar Rp 30 juta. “Jadi, usaha saya kembali lagi dengan 30.000 baglog jamur, setelah ada kerugian dari hama itu,” ujarnya.

Bukan cuma bantuan modal, Kimia Farma juga memberikan pendampingan kepada Riduan. Mulai akhir tahun lalu, papar Riduan, setiap triwulan ada tim dari emiten yang bersandi saham KAEF itu yang membantunya membuat pembukuan keuangan.

Selain itu, Kimia Farma pun mengajarkannya cara mengatasi hama. “Pemasaran juga, tapi tidak terlalu dalam, karena pemasaran saya berdasar hasil survei mereka sudah berjalan dengan baik,” tambah Riduan.

Hanya saja, masih ada sedikit hambatan dalam mengembangkan usaha budidaya jamur. Riduan masih kesulitan memperoleh bahan baku untuk baglog yang benar-benar bagus. “Bahan baku kan dari serbuk kayu. Sementara di negara kita, kayu mulai sulit didapatkan,” ungkapnya.

Agar omzetnya meningkat, Riduan berencana menjual hasil panen jamurnya ke tangan konsumen langsung. Atau setidaknya ke supermarket langsung tanpa harus lewat pedagang pengumpul (pengepul) seperti saat ini.

Maklum, bila melalui pengepul, harga jamurnya lebih rendah. Di tangan pengepul, jamur hanya dihargai Rp 11.000 per kilogram (kg). Padahal, harganya di tingkat konsumen di Jakarta bisa Rp 17.000 per kg.

Bahkan, harga jamur di supermarket mencapai Rp 21.000 per kg. Karena itu, “Saya punya keinginan untuk tahun ini bisa menjual sampai ke konsumen di Jakarta, Tangerang, Bekasi,” kata dia.

Ridwan pun berharap, Kimia Farma mau membantunya mewujudkan keinginan itu lewat jaringan-jaringan yang mereka miliki. Satu lagi, dia berharap bisa mendapat tambahan modal lagi. “Kalau dikabulkan, buat beli mobil boks untuk transportasi mengantar jamur ke Jakarta dan sekitarnya,” harapnya.

Bukan tidak mungkin keinginan Ridwan itu terkabul. Menurut Arief Pramuhanto, Direktur Umum dan Human Capital Kimia Farma, perusahaannya memang tidak hanya memberikan dana bergulir. Tapi juga, pendampingan seperti pelatihan dan membantu pemasaran produk.

Bahkan, ada beberapa mitra PKBL yang masuk dalam rantai pasokan atawa supply chain Kimia Farma. “Kami menjadi offtaker yakni membeli produk mereka, jadi itu satu paket. Sehingga, mereka tidak pusing lagi,” kata Arief.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×