Reporter: Rani Nossar | Editor: Johana K.
Sentra pembuatan kok bulutangkis di Jawa Tengah ternyata tidak hanya di Mojolabalan, Sukoharjo, di Kota Solo pun terdapat sentra yang sama yang tidak kalah besar yang berada di Kecamatan Serengan, Desa Prionggolan. Uniknya kedua sentra ini tidak berlokasi jauh.
Industri pembuatan kok di Desa Prionggolan termasuk industri hilir dan mampu menyerap tenaga kerja dan memberikan tambahan penghasilan bagi warga sekitar. Tidak hanya para orangtua yang bekerja, bahkan ketika KONTAN berkunjung ke tempat ini ada juga siswa SMA yang membuat kok sehabis pulang sekolah untuk tambahan uang saku.
Sistem kerja di sini menggunakan sistem borongan pekerja mendapat upah berdasarkan jumlah kok yang berhasil dibuat. Misalnya untuk Hadi Riyanto, dalam proses produksinya ia dibantu 7 pekerja, untuk pekerja yang menggarap 1.000 bulu mendapat upah Rp 8.500. Dalam sehari, pekerja bisa menyelesaikan 5.000 bulu sehingga dalam sehari mereka mendapat upah Rp 42.500 jika lebih maka mendapat lebih juga.
Hadi bercerita pembuatan kok tidak menentu tergantung musim. “Kalau musim cerah dan pertandingan banyak biasanya permintaan banyak, tapi kalau musim hujan biasanya jumlah permintaan menurun,” ujarnya
Musim hujan menyebabkan tak banyak orang bermain bulutangkis di ruang terbuka. Bermain di dalam gedung hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu karena harus menyewa. Sehingga keadaan itu berdampak langsung pada usaha produksi kok. Kalau biasanya Hadi bisa memproduksi 1.000 slot per bulan bisa turun hingga 700-600 slot.
Ia mengenang masa kejayaannya, dulu usahanya berkembang pesat di tahun 1980-1990an saat era bintang bulutangkis Indonesia banyak bersinar seperti Lim Swie King dan Susi Susanti berjaya. Hal itu membuat euforia permainan bulutangkis tinggi dan permintaan selalu banyak. "Jika sekarang produksi hingga 1.000 slot, dulu pernah hingga 3.000 slot per bulan, " kata Hadi.
Meski demikian, ia tetap bersyukur karena sampai sekarang penjualannya tetap stabil dan usahanya tidak bangkrut.
Di sisi lain, Mastur Rahman pembuat kok yang membuat semuanya sendirian. Dengan merek kok Manyun, ia tidak dibantu oleh pekerja hanya oleh istrinya. Rahman membuat kok daur ulang. Karena ia membuat daur ulang maka pasokan bahan baku dari gedung-gedung olahraga sangat penting untuk bahan bakunya.
Jika gedung olahraga sedang sepi pengunjung maka kok daur ulang yang dibuat juga sedikit. Selain itu, Rahman juga kerap mengeluhkan modal yang tersendat. Jika modal sedang sedikit dan habis untuk kebutuhan sehari-hari, maka tidak bisa ambil kok bekas di gedung olahraga. Sehingga pesanan harus menunggu dan uang yang masuk juga mau tidak mau tertunda.
Sentra ini walaupun sudah dibilang berkembang dan memiliki puluhan merek kok tetap saja masih ada beberapa kekurangan. Banyak produsen kok bulutangkis yang belum mendaftarkan merek dagang dan logo produk mereka ke Dinas Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Selain karena ketidaktahuan prosedurnya, rata-rata produsen sudah mengeluh betapa rumitnya berurusan seperti itu padahal mereka tahu itu penting.
Baik Mastur Rahman dan produsen kok lain yang kapasitas produksinya masih kecil tidak khawatir jika mereknya disalahgunakan. Mereka juga mengaku tidak pernah berpromosi lewat internet atau sosial media lainnya. Meski demikian, Rahman bersyukur produk buatannya selalu ramai dipesan.
Selain soal merek dagang yang tidak banyak didaftarkan, ada beberapa perajin yang belum memiliki alat yang bisa menentukan jika kok agar sesuai standar membuat mereka membuatnya dengan perkiraan. Ke depan, mereka mengharapkan ada bantuan pemerintah berupa pelatihan lagi maupun bantuan modal dan alat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News