kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Melongok kampung UKM terbesar di Jakarta (2)


Sabtu, 26 Mei 2018 / 15:15 WIB
Melongok kampung UKM terbesar di Jakarta (2)


Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Johana K.

KONTAN.CO.ID - Penghasilan pas-pasan di ibukota dengan mengandalkan keahlian membuat tempe dan tahu, tidak bisa menjamin kehidupan yang layak bagi para perajin tempe dan tahu pada era tahun 1990-an.

Mereka pun terpaksa tinggal di kawasan terlarang, seperti di bawah menara penyangga kabel-kabel listrik bertegangan tinggi (sutet), pinggiran kali dan lokasi terlarang lainnya.

Saat pemerintah mulai membenahi kawasan terlarang yang dipakai untuk tempat tinggal, para perajin ini pun harus rela digusur. Lantas, pemerintah menyiapkan Pemukiman Industri Kecil (PIK) Semanan, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat bagi perajin tempe gusuran tersebut.  

Namun, perajin harus membeli tanah, bila ingin tinggal disana. Mereka pun kemudian bersepakat membuat aksi menabung bersama dengan nama Simpanan PIK. Mereka wajib menyisihkan sekitar Rp 115 per kg dari hasil penjualan.

Rupanya hasil setiap perajin masih belum cukup untuk menutupi kewajiban pembayaran tanah. Alhasil, mereka terus menggenjot produksi dengan meminta tambahan kuota kedelai dari Bulog menjadi 1.200 ton per bulan.

Asal tahu saja, pada tahun 1992 tata niaga kedelai masih dikendalikan oleh Bulog . Saban bulannya, kebutuhan kedelai mereka selalu di penuhi oleh perusahaan plat merah itu.

Seluruh hasil produksi tempe pun di distribusikan ke pasar-pasar tradisional kawasan Tangerang dan Jakarta Barat. Ada juga perajin yang juga mengirim tempenya ke pasar modern.  

Perlahan namun pasti roda ekonomi pun terus berjalan dan bisnis makin berkembang. Maklum saja, seluruh kebijakan pemerintah memihak kepada para pengusaha kecil sehingga mereka nyaman dan lancar dalam menjalankan bisnis.

Kondisi ini membawa dampak positif. Satu persatu perajin tempe dari daerah lain pun mulai ikut menempati kawasan tersebut. Sampai dengan hari ini terdapat 1.000 pengrajin tempe disana.

Sayang, masa kejayaan mereka rupanya tidak bertahan lama. Krisis ekonomi pada 1997 menjadi titik pangkal usaha tempe mengalami penurunan. Handoko Mulya, pengurus KOPTI sekaligus perajin tempe di Semanan mengatakan bisnis mereka terdampak oleh kerusuhan di ibu kota.

"Penjualan menurun di pasaran, dan paska reformasi saat kedelai mulai dijual bebas harga sempat melambung tinggi tidak hanya di Jakarta tapi juga kota lainnya," katanya pada KONTAN.

Alhasil, persaingan harga pun tidak terhindarkan. Mau tidak mau, mereka terpaksa mematok harga tinggi untuk bertahan hidup.

Tidak tahan dengan kondisi tersebut, sekitar tahun 2000-an para perajin tempe berbondong-bondong melakukan demontrasi dengan tuntutan pengendalian harga serta menjamin ketersediaan pasokan kedelai.

Usaha mereka pun berbuah manis. Berdasarkan cerita Handoko, pemerintah memberikan subsidi potongan harga pembelian kedelai per kilogram. Sayangnya kebijakan tersebut tidak bisa mengembalikan usaha mereka ke kondisi semula.

"Tahun 2010, kami kembali melakukan demo karena kebijakan pemerintah dirasa belum berpihak pada kami," katanya. Lagi-lagi, dewi fortuna pun belum berpihak membuat roda usaha mereka bergerak lambat.   

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×