kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Melongok kampung UKM terbesar di Jakarta (3)


Sabtu, 26 Mei 2018 / 15:20 WIB
Melongok kampung UKM terbesar di Jakarta (3)


Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Johana K.

KONTAN.CO.ID - Harga kedelai yang terus melonjak membuat kehidupan para perajin tempe kian terhimpit. Kondisi ini juga dirasakan oleh produsen tempe di tempe PemukimanIndustri Kecil (PIK) Semanan, Jakarta Barat.

Para perajin tak bisa seenaknya menaikkan harga jual tempe lantaran daya beli melambat. Syahroni, perajin tempe PIK Semanan mengaku rela mengantongi untung tipis karena belum ada aba-aba untuk menaikkan harga. Sebab, seluruh perajin yang menempati lokasi Semanan ini tergabung dalam koperasi.

"Kalau memaksa naik harga sendiri, bisa nggak laku tempe saya," katanya. Dia menjual tempenya Rp 5.000 per potong.

Bahkan, pada bulan Ramadan ini penjualannya turun drastis dari bulan-bulan biasa. Bila sebelumnya, total produksinya bisa mencapai 90 kilogram (kg) per hari, pada bulan puasa ini hanya sekitar 60 kg per hari. Menurutnya, selama bulan puasa konsumen lebih memilih mengkonsumsi daging daripada tempe.

Untuk memenuhi kebutuhan kedelai, dia bersama 11 produsen tempe lainnya, membentuk paguyuban. Tujuannya, supaya bisa membeli kedelai langsung dari distributor.  

Sampai hari ini, Syahroni masih memilih kedelai impor karena stoknya selalu tersedia. "Saya belum pernah melihat kedelai lokal di pasar," pungkasnya.

Penurunan usaha juga di rasakan oleh Handoko Mulya, perajin tempe sekaligus pengurus Kopti Semanan, Jakarta Barat. Total produksinya kini tak sebesar dulu, hanya berkisar 30 kg-40 kg per hari.

Bersama anak dan pamannya, Handoko mulai proses pembuatan tempe sejak pukul 15.00 sore. Hingga menjelang subuh, sekitar 05.00 tempe siap dikemas.

Dia menjelaskan, proses terpenting dari pembuatan tempe adalah saat pencucian. Bila tidak bersih dalam pembilasan, ragi alias jamur tidak bisa berfermentasi. Selain itu, peragian pun juga harus disesuaikan dengan kondisi cuaca.

Laki-laki asal Pekalongan ini menjual sebagian hasil produksinya ke Pasar Nyamuk, Tangerang. Ia juga membuat tempe untuk keripik. "Keripik tempe ini langsung diambil para tengkulak," jelasnya.  

Handoko pun berharap kedepan harga kedelai dapat lebih terjangkau dan pemerintah membuat kebijakan yang berpihak pada mereka. Sebelumnya, para perajin sempat keberatan saat ada rencana penutupan pintu kedelai impor. Sebab, pasokan kedelai lokal belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan.

"Kami mendukung langkah swasembada kedelai yang digalakkan oleh pemerintah tapi harus diperhatikan stok kedelai lokal juga jumlahnya cukup atau tidak," tegasnya. Selain itu, dia berharap pemerintah juga terus memperhatikan para produsen tempe di Semanan dengan memberikan bantuan peralatan produksi atau lainnya sehingga kualitas tempe terus meningkat.       

(Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×