kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.199   95,00   0,58%
  • IDX 6.984   6,63   0,09%
  • KOMPAS100 1.040   -1,32   -0,13%
  • LQ45 817   -1,41   -0,17%
  • ISSI 212   -0,19   -0,09%
  • IDX30 416   -1,10   -0,26%
  • IDXHIDIV20 502   -1,67   -0,33%
  • IDX80 119   -0,13   -0,11%
  • IDXV30 124   -0,51   -0,41%
  • IDXQ30 139   -0,27   -0,19%

Memahat batu lebih dari setengah abad (1)


Jumat, 20 Agustus 2010 / 10:40 WIB
Memahat batu lebih dari setengah abad (1)


Reporter: Anastasia Lilin Y | Editor: Tri Adi

Hampir semua orang mengetahui Kabupaten Magelang di Jawa Tengah adalah wilayah yang spesial. Tak hanya di mata nasional tapi juga di dunia internasional. Tepat di wilayah inilah berdiri sebuah mahakarya peninggalan Dinasti Syailendra, yakni Candi Borobudur.

Candi Borobudur tersohor karena termasuk salah satu keajaiban dunia. Tahun lalu, UNESCO mencatatkan candi ini sebagai The World Heritage dari Indonesia.

Di sebelah kemegahan dan keelokan Candi Borobudur, ratusan masyarakat sekitarnya menggantungkan hidupnya pada keberadaan candi ini. Mereka ini berprofesi sebagai pemahat batu.

Para pemahat batu tersebut tersebar di beberapa wilayah. Antara lain di Dusun Prumpung dan Dusun Tejowarno di Desa Tamanagung. Ada juga yang berdomisili di Desa Sedayu.

Banyaknya masyarakat yang berprofesi sebagai pemahat membuat Muntilan lambat laun terkenal sebagai sentra seni pahat batu.

Saat KONTAN mengunjungi kawasan ini awal Juli lalu, tak ada yang bisa memastikan kapan sentra ini mulai berdiri. Namun, sebagian besar orang di sana bilang, sentra ini sudah ada sejak zaman orangtua mereka. Padahal, usia para pemahat batu saat ini tak terbilang muda lagi.


Sabarudin, pemahat batu yang kini berusia 55 tahun, mengatakan, sentra pahat batu ini sudah marak sejak 1965. "Namun bisa jadi sebelumnya juga sudah ada karena waktu itu kan umur saya baru 10 tahun," katanya.

Sabarudin sendiri baru membuka usaha pahat pada tahun 1985. Selain menjadi pemahat batu untuk dijadikan patung, kakek dua cucu ini juga membuka galeri di pinggir Jalan Raya Muntilan, Magelang.

Dia memanfaatkan galeri berjuluk Sanggar Argo Selo itu sebagai tempat memajang hasil karya tangannya. Sabarudin mempercayakan pengelolaan sanggar tersebut kepada anak laki-lakinya. Sedangkan dirinya, sekarang lebih fokus mengutak-atik bebatuan andesit dengan dengan bermodalkan alat pahat saja.

Tak hanya Sanggar Selo, di sepanjang Jalan Raya Muntilan ini kita akan menjumpai puluhan galeri seni di sebelah kanan dan kiri jalan. Memang, jumlah galeri tak sebanyak jumlah pemahat batu. Sebab, "Ada juga pemahat yang hanya sebagai penggarap saja," kata Sabarudin.


Terpaut cukup jauh dengan Sanggar Argo Selo, ada Gama Stone Art Shop. Pemiliknya bernama Elis Widayati. Perempuan ramah ini mengaku sudah 15 tahun menjalankan usaha.

Elis kini sudah memiliki dua galeri dengan nama yang sama, yang beroperasi di sepanjang jalan tersebut.Selain itu, saudara kandungnya juga membuka galeri pahat batu di tempat lain.

Sedikit berbeda dengan Sabarudin yang juga berprofesi sebagai pemahat, Elis sendiri lebih memposisikan dirinya sebagai pemilik usaha. Dia menyerahkan urusan penggarapan produk kepada sejumlah pemahat yang menjadi karyawannya.

Dibandingkan dengan dua galeri tersebut, galeri bernama Zenvin adalah yang terbaru. Galeri ini baru berdiri tahun 2004. Supriyatno, pengelola galeri Zenvin, memaparkan saat ini dia hanya mempekerjakan tiga orang pemahat di bagian produksi. (Bersambung).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×