Reporter: Jane Aprilyani | Editor: Tri Adi
Dari daur ulang sampah, Denok Marty Astuti sukses jadi pengusaha kerajinan tangan seperti keranjang, kap lampu, vas bunga dan sangkar burung. Eloknya, Denok memberdayakan para narapidana di rutan Solo, untuk jadi tenaga produksi. Dalam sebulan, omzetnya bisa puluhan juta rupiah.
Bagi sebagian orang, sampah dinilai sebagai barang tak berguna yang identik dengan kotor, kuman, bakteri, dan bau. Namun, tidak semua orang beranggapan sama. Di mata Denok Marty Astuti, sampah memiliki nilai ekonomis.
Dari limbah sampah, Denok sukses memberdayakan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya untuk memproduksi berbagai produk kerajinan tangan, seperti tas, topi, tempat pakaian kotor, dan hiasan.
Kesuksesan Denok berawal dari kepeduliannya terhadap kebersihan lingkungan. Ide ini muncul ketika ia terlibat aktif dalam kegiatan corporate social responsibility (CSR) tempatnya bekerja di salah satu perusahaan otomotif terbesar Indonesia.
Meski tugasnya sebagai akunting, setiap Sabtu dan Minggu, Denok selalu menyempatkan waktu untuk bergabung bersama anak jalanan Jakarta, panti jompo hingga panti asuhan.
“Saya berpikir ingin memberdayakan mereka dengan modal apa yang murah? Jawabannya, ya, sampah,” katanya.
Dus, setelah 12 tahun mengabdi, pada tahun 2014 Denok memutuskan resign dari tempatnya bekerja. Ia memilih fokus untuk memberdayakan masyarakat mengelola limbah sampah.
Alhasil, pada Januari 2015, wanita kelahiran 6 April 1978 ini mendirikan Gerakan Orang Muda Peduli Sampah (Gropesh) Solo Raya. “Kami ingin dengan bermodalkan sampah, bisa memberdayakan masyarakat,” imbuh dia.
Pada 7 Februari 2015, Denok mulai menjalankan pilot project Gropesh Solo Raya dengan target awal para narapidana (napi) di Rutan Kelas 1 A Solo. Pendampingan dilakukan kepada para napi untuk mengelola sampah organik di rutan.
Bukan tanpa alasan Gropesh melibatkan napi dalam proyek ini. “Banyak napi ketika keluar dari bui tidak mengerti harus berbuat apa. Akhirnya, mereka melakukan kejahatan dan masuk penjara lagi,” katanya.
Kini, ada sekitar 80 napi bergabung bersama Gropesh. Mereka telah menghasilkan pupuk dari sampah yang diberi nama Kompos Organik Biorutani. Sekitar 30% dari hasil penjualan diberikan kepada napi dan 70% untuk membeli bahan baku.
Selain kompos, hasil karya lain kelompok ini ialah keranjang, kap lampu, vas bunga, miniatur becak, miniatur angkringan, dan sangkar burung. Produk ini dibanderol Rp 3.000-Rp 300.000 per item.
Produknya dipasarkan melalui pameran yang bekerja sama dengan Dinas perindustrian dan Perdagangan Surakarta seperti membuka stan di Java Expo di Solo.
Dari pameran, omzet yang bisa diraup Rp 5 juta. Ini belum termasuk omzet dari penjualan di acara car free day dan online shop.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News