kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Membidik pekerja yang ingin jadi sarjana


Senin, 25 April 2016 / 11:52 WIB
Membidik pekerja yang ingin jadi sarjana


Reporter: Ruisa Khoiriyah | Editor: S.S. Kurniawan

Persaingan di dunia kerja dari hari ke hari semakin ketat. Apalagi kondisi perekonomian yang masih belum sepenuhnya melaju membuat perusahaan pemberi kerja semakin selektif memilih sumber daya manusia.

Era pasar terbuka ASEAN juga menjadikan kompetisi antar pekerja kian ketat. Mereka yang tidak memiliki bekal pendidikan dan keahlian mumpuni, berisiko terpinggirkan.

Pada tahun 2013, jumlah angkatan kerja yang memiliki pekerjaan di negeri ini sekitar 111 juta orang. Namun, yang bergelar sarjana cuma 8 juta orang. Adapun yang mengantongi ijazah sekolah menengah atas (SMA) sekitar 37 juta orang.

Data itu menuai keprihatinan Novistiar Rustandi, salah satu pendiri HarukaEdu. Tenaga kerja yang cuma mengantongi pendidikan SMA cenderung sulit menaikkan tingkat penghasilan akibat kalah bersaing dengan sarjana atau diploma.

Di sisi lain, para pemberi kerja juga lebih suka mencari SDM lulusan universitas. “Akhirnya, lulusan SMA ini stuck di situ-situ saja, padahal mereka punya potensi untuk meraih posisi lebih baik,” kata Novistiar.

Survei yang dia gelar bersama kawan-kawannya mengungkapkan, 70% dari 1.200 tenaga kerja berpendidikan SMA sejatinya ingin melanjutkan jenjang menjadi sarjana. Hanya saja, kondisi telah menjadi pekerja yang terikat jam kerja membuat mereka kesulitan menyisihkan waktu khusus untuk kuliah.

Dari sinilah ide mengembangkan platform yang memungkinkan penyelenggaraan kuliah online mengemuka. Bersama tiga kawannya, Novistiar menggagas kelahiran HarukaEdu pada Februari 2013.

Nama Haruka merupakan akronim dari nama pendiri. “Kebetulan dalam bahasa Jepang, Haruka berarti distance sehingga cocok menggambarkan segmen yang kami garap,” terang Novistiar.

Dia enggan mengungkap angka persis modal yang mereka keluarkan untuk mendirikan HarukaEdu. Yang pasti, modal awal pendirian HarukaEdu tak sampai miliaran rupiah. Modal awal banyak mereka gunakan untuk membangun platform dan membuat konten.

Berbeda dengan startup aplikasi mobile yang kebanyakan menyasar end-user para pengguna ponsel pintar, HarukaEdu menyasar lembaga pendidikan yang hendak mengembangkan kanal e-learning. “Kami membantu lembaga pendidikan membangun IT platform berikut konten digital, seperti materi kuliah dan kelas interaktif,” terang Novi.

Tenaga pengajar, pilihan jurusan kuliah dan materi kuliah menjadi ranah lembaga pendidikan untuk menyediakan. HarukaEdu bertugas mentransfer ke dalam bentuk digital agar dapat mendukung aktivitas kelas-kelas online.

Format digital memungkinkan materi kuliah dan aktivitas perkuliahan diakses oleh mahasiswa di mana pun dan kapan saja. “Kalau masih enggak paham dengan sebuah materi, mahasiswa bisa mengulang-ulang sendiri karena formatnya, kan, digital,” kata Novi.

Startup di sektor pendidikan ini juga membantu pemasaran agar kelas daring yang digagas oleh si klien mendapatkan banyak peminat.

Investor baru

Sebagai rintisan, sejauh ini HarukaEdu baru bekerjasama dengan dua universitas. Yaitu, London School of Public Relations (LSPR) dan Universitas Wiraswasta Indonesia (UWIN).

Novistiar menargetkan, HarukaEdu dapat bekerjasama dengan lebih banyak lembaga pendidikan agar semakin banyak orang berkesempatan mengecap pendidikan tinggi.

Novistiar, yang juga menjadi tenaga pengajar di Binus International and Universitas Surya ini, menuturkan, HarukaEdu memilih fokus mengajak kerjasama lembaga pendidikan akreditasi B. Pasalnya, kebanyakan universitas dengan akreditasi A memasang harga mahal untuk layanan kuliah online mereka.

Hal itu berseberangan dengan visi HarukaEdu yang ingin membantu penyelenggaraan kuliah yang berkualitas dan murah. “Target pasar kami, kan, para pekerja yang ingin kuliah lagi. Kalau biaya terlalu mahal, justru tak terjangkau,” kata Novistiar.

Tingkat penghasilan para pekerja yang masih berijazah sekolah menengah relatif belum tinggi. Jadi, apabila biaya kuliah online yang ditawarkan terlalu mahal, visi HarukaEdu sulit tercapai.

Dalam lima tahun mendatang, Novistiar menuturkan, HarukaEdu menargetkan bisa merangkul 100.000 mahasiswa di kanal e-learning. “Tahun depan kami kejar agar bisa menggandeng lebih banyak lembaga pendidikan,” ujar Novistiar.

Dia optimistis, HarukaEdu dapat mengejar target. Terlebih saat ini, rintisan yang dia kelola itu telah mendapat suntikan dana segar dari CyberAgent Ventures, modal ventura asal Jepang yang tengah agresif mendanai berbagai startup di kawasan Asia Tenggara.

Di Indonesia, CyberAgent juga menjadi angel investor bagi Tokopedia, Kurio, dan lain-lain. “Suntikan dana mereka masuk tahun 2014, tak sampai US$ 1 juta,” terang Novistiar.

Lebarkan pendapatan

HarukaEdu juga menjadi salah satu startup asal Indonesia yang sempat mengikuti Google Launchpad Accelator, beberapa waktu lalu. Novi menceritakan, program inkubasi tersebut memberikan banyak masukan bagi pengembangan HarukaEdu, terutama dari sisi pengembangan produk.

Selama ini, ujar Novistiar, tim HarukaEdu cenderung merumuskan sebuah produk berdasarkan kacamata mereka sebagai pengembang. “Google mengajarkan sisi sebaliknya, yaitu user focus,” kata dia.

Melalui perspektif pengguna, pengembangan sebuah produk dapat lebih mudah diterima oleh pasar. Inkubasi dengan Google berjalan enam bulan di mana setiap bulan ada evaluasi untuk memantau perkembangan. HarukaEdu juga belajar digital marketing.

Saat ini, selaku perusahaan rintisan, HarukaEdu telah mencetak penghasilan walau masih kecil. Ke depan, Novistiar mengungkapkan, HarukaEdu akan lebih agresif mengembangkan layanan sehingga pendapatan dapat meningkat.

Selain aktif menawarkan layanan ke lembaga pendidikan, HarukaEdu juga berniat membuka kanal kursus online gratis bagi para end-user. “Kelas dasar atau basic dapat kami gratiskan sedangkan kelas advanced berbayar. Semacam itu,” terang Novistiar.

HarukaEdu juga mengoptimalkan promosi melalui media sosial agar bisa menjaring lebih banyak peserta kuliah. Bukan cuma itu, tim HarukaEdu juga akan aktif mendatangi sekolah-sekolah kejuruan untuk mempromosikan kelas online.

Maklum, kebanyakan lulusan sekolah kejuruan berorientasi kerja. Mengajak mereka melanjutkan pendidikan melalui e-learning bisa menjadi strategi tepat.

Tertarik mengikuti jejak HarukaEdu?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×