Reporter: Oginawa R Prayogo | Editor: S.S. Kurniawan
Selalu ada kesempatan di balik kesulitan. Saat isu kenaikan harga jual rokok akibat kenaikan tarif cukai santer beredar medio Agustus 2016 silam, produsen dan pedagang mulai resah lantaran khawatir minat beli rokok jadi susut, pedagang rokok elektrik justru melihat kondisi ini sebagai kesempatan ekspansi produk.
Sebagai gambaran, produk rokok elektronik yang dikenal oleh masyarakat Indonesia, sejatinya adalah hasil dari peralatan pembakar cairan yang menghasilkan uap seperti asap. Produk peralatan penghasil uap asap ini disebut vaporizer yang lebih akrab dengan sebutan rokok elektrik.
Jika mengisap rokok biasa menghasilkan asap dari pembakaran tembakau, rokok elektrik menghirup uap dari alat pembakaran cairan yang disebut vaporizer tersebut. Masyarakat Indonesia mulai mengenal rokok elektrik ini sejak medio 2013 silam.
Kini produk ini lebih gampang dijumpai karena mulai menjamur dan tersedia di gerai-gerai kecil, meskipun belum ada di warung rokok. Jenis produk paling sederhana, bentuknya seperti spidol yang berisi tiga bagian, yakni baterai dengan rangkaian koil pemanas, cairan aroma, dan corong pengisap.
Pada jenis produk yang lebih mahal, harganya, kapasitas baterai lebih lama, dan tabung aroma juga lebih besar, dan pengisap sehingga bentuknya menyerupai baterai power bank.
Variasi produk alat pengisap rokok elektrik ini mulai dari Rp 100.000-an hingga Rp 1,5 juta. Sementara harga cairan aroma juga beragam, dari Rp 50.000 hingga jutaan rupiah.
Pedagang besar produk ini sebagian besar berasal dari Jakarta dan Bandung. Mereka yang mengimpor langsung dan menjadi distributor di Indonesia dengan cara menjual produk dan perlengkapan vaporizer secara online.
Menurut cerita Abdurahman, pengguna vaporizer hampir setahun terakhir, pilihan memakai produk rokok elektrik ini, lantaran khawatir harga rokok yang terus naik sehingga membuat kantong kian tipis. Di sisi lain pekerja swasta berumur 28 tahun ini mulai menemukan sensasi alias kecanduan menggunakan rokok elektrik ini.
“Bukan hanya teknologi yang berubah, pilihan rasa cairannya pun semakin banyak jenisnya. Toko-toko vape pun semakin banyak,” kata warga Condet, Kramatjati Jakarta Timur ini.
Makin banyaknya toko-toko yang menjual peralatan vaporizer dan produk cairan ini menjadi pertimbangan Abdurahman beralih dari rokok tembakau ke rokok elektrik. Bahkan ia mengaku mudah mendapatkan produk ini saat berkunjung ke Pulau Sumatra maupun saat ada di Lombok Nusa Tenggara Barat. “Pasar produk ini makin luas,” katanya.
Perimbangan lain adalah penggunaan vaporizer terbilang bisa sedikit lebih irit ketimbang mengisap rokok tembakau. Dengan asumsi rokok tembakau sehari sebungkus dengan harga minimal Rp 15.000 per bungkus, maka dalam seminggu atau tujuh hari, harus mengeluarkan dana Rp 105.000 per pekan.
Sementara dengan vaporizer dengan cairan aroma ukuran 30 mililiter, bisa dipakai selama sepekan, dengan frekuensi merokok sama dengan sebungkus rokok tembakau sehari. Nah harga cairan aroma vaporizer ini yang murah bisa didapat dengan Rp 80.000–Rp 100.000.
Kalau memilih cairan yang lebih mahal harganya memang bisa mencapai Rp 300.000 untuk ukuran 30 mililiter.
Pasar terus mekar
Dengan hitung-hitungan rokok elektrik lebih murah, dan banyak pilihan aromanya plus dianggap sebagai tren, bisnis jualan peralatan dan perlengkapan rokok elektrik terus mekar. Pertumbuhan bisnis ini tidak hanya di Pulau Jawa, tapi mulai menyebar ke luar Jawa.
Salah satu pemainya adalah Damian Firdaus, 34 tahun, yang membuka toko Lombok Vape Store di Mataram, Nusa Tenggara Barat sejak Januari 2016. Sebelum membuka toko sendiri, Damian adalah seorang pemakai vaporazer atau dikenal sebutan vapers sejak 2014.
Sebagai seorang vapers mulanya ia hanya membeli produk ini baik alat pengisap maupun cairan aromanya, dalam jumlah banyak untuk dia gunakan sendiri. Ia membeli produk tersebut secara online di internet kepada distributor di Jakarta.
Namun, dalam perkembangannya ternyata banyak yang berminat setelah mencoba produk ini. Akhirnya ia mulai membuka toko di Mataram sejak awal tahun ini.
Dalam kalkulasi Damian, modal awal yang ia keluarkan saat membuka usaha ini sekitar Rp 100 jutaan. Dana itu digunakan untuk menyewa tempat, membeli perlengkapan toko, stok barang dan promosi.
Adapun harga jual produk untuk alat vaporizernya, mulai dari Rp 500.000 hingga Rp 2,7 juta yang menyasar pasar premium yakni para turis asing yang berkunjung ke Lombok. Sementara harga likuidnya berkisar dari Rp 80.000 hingga Rp 300.000 per botol 30 ml.
Ia mengklaim omzet di tokonya mencapai lebih dari Rp 1 juta per hari dari hasil jualan cairan aroma. “Semenjak membuka toko Januari 2016, rata-rata likuid yang terjual setiap harinya itu 15 botol,” katanya namun enggan memperinci berapa rata-rata margin yang ia dapat dari jualan produk ini.
Sementara Hendi Kurniawan, 38 tahun salah satu pemilik toko vaporizer di kawasan Jakarta Selatan mengklaim sudah balik modal sejak memasuki bisnis ini 2013 silam. Ia tak memerinci berapa besar modal yang ia keluarkan.
Hanya saja ia menyebut ongkos terbesar untuk menyewa tempat usaha. Adapun belanja peralatan lebih dari Rp 50 jutaan.
Dia mengenang saat booming vaporizer pada 2013 bisa mengambil marjin 100% bahkan lebih. Sedangkan saat ini marjin usahanya di kisaran 15% saja.
Pada awal membuka toko ia bisa mengambil margin tinggi lantaran pesaingnya belum banyak. Hanya saja Hendi enggan memberikan perincian berapa besar rata-rata omzet bisnis ini di toko yang ia kelola.
Ia hanya bilang, “Karena kami pemain lama, sehingga kami sudah balik modal,” terangnya.
Gambaran cuan bisnis rokok elektrik ini masih menggiurkan bagi Alexander Adhitya. Ia membuka Vaporizer Cloud Shop di Bintaro, Tangerang Selatan bersama lima orang temannya sejak tiga pekan lalu.
Ia masih menyimpan rapat berapa modal yang ia keluarkan untuk membuka usaha ini. Yang jelas Cloud Shop menyasar pengguna vaporizer kelas menengah dengan menjajakan produk mulai dari harga Rp 700.000 sampai Rp 1,3 juta. “Soal margin di kisaran angka 10%–20%,” kata Adhitya.
Adhitya bilang tokonya yang masih baru saja sudah ramai dikunjungi pada malam setiap hari kerja karena memang pasar yang paling besar adalah pekerja dewasa muda yang usianya di atas 18 tahun.
Perbanyak stok likuid
Sebagai pemain lama, Hendi menyarankan agar pemilik toko vaporizer memperbanyak jenis stok pelbagai jenis likuid. Sebab jika toko sudah mulai dikenal oleh konsumen, maka mereka akan balik lagi untuk membeli kebutuhan likuid secara rutin.
Di samping itu, sebaiknya pemain baru tidak cuma menjajakan peralatan pengisap kepada vapers, tapi ikut memberikan edukasi kepada mereka mengenai bagaimana tata cara penggunaan dan perawatan peralatan rokok elektrik. Cara-cara ini ia yakini bisa mendatangkan simpati sekaligus loyalitas konsumen.
Alasannya karena vaporizer bukan barang konsumsi sekali buang jadi masih ada layanan purnajual berupa membongkar, merawat dan membersihkan vaporizer tersebut.
Meskipun margin yang didapat dari bisnis ini tak bisa sebesar dua tahun silam, ia percaya semakin produk ini populer di masyarakat maka penjualan pun akan terus meningkat. Apalagi seiring dengan minat masyarakat untuk meninggalkan rokok tembakau.
Damian juga percaya bisnis vaporizer pun tidak hanya musiman saja melainkan dapat bertahan dalam waktu panjang. “Saya sendiri memakai vaporizer karena ingin berhenti merokok. Jadi selama ada orang merokok usaha ini masih bisa tetap jalan,” ungkap Damian.
Apalagi jika masyarakat mulai kecanduan vaporizer, tidak menutup kemungkinan produk impor ini bisa menjadi kebutuhan pokok baru di Indonesia. Meskipun soal dampak terhadap kesehatan ke penggunanya hanya sebelas-duabelas dengan rokok tembakau.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News