Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Rizki Caturini
Kota Palu, Sulawesi Tengah, belum terlalu populer sebagai destinasi wisata lokal. Padahal, letak geografisnya yang dikelilingi oleh pegunungan dan pantai membuat kota ini memiliki banyak pemandangan indah.
Keberadaan pantai membuat banyak masyarakat Palu menjalankan profesi sebagai penambak garam. Sentra tambak garam yang sempat KONTAN kunjungi adalah yang berlokasi di sepanjang Pantai Talise. Lokasi pembuatan garam secara tradisional ini dikenal dengan nama Penggaraman Pantai Talise. Di sini matahari terik serta angin laut bertiup kencang.
Selain dapat melihat keindahan laut lepas, tempat ini juga menawarkan pemandangan aktivitas petani garam yang sedang membersihkan tambak.
Untuk sampai ke lokasi ini hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit dari Bandara Udara Mutiara SIS Al-Jufrie, Palu, Sulawesi Tengah. Tidak ada patokan khusus untuk sampai ke lokasi tersebut. Hanya saja, hamparan tambak garam sudah terlihat saat memasuki kawasan Pantai Talise.
Ketika KONTAN menyambangi sentra tersebut di siang hari, tidak banyak terlihat petani yang membersihkan tambaknya. Amir, salah satu petani garam di sentra ini, bercerita, biasanya petani garam memilih bekerja di pagi atau sore hari. Menurut Amir, tambak garam Pantai Talise ini sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda.
Tidak ingin menghilangkan warisan nenek moyang, profesi menjadi petani garam masih diteruskan kepada anak cucu mereka hingga kini. Seperti Amir, misalnya, dia mengelola tambak seluas 1.000 meter persegi (m²) milik orangtuanya dulu. Rencananya, dia bakal mewariskan seluruh tambak ini kepada anak bungsunya.
Ada sekitar 165 petani garam yang bekerja di sentra tersebut. Mereka terbagi atas tiga kelompok tani. Tidak ada batasan khusus yang terlihat untuk memisahkan lahan antar petani.
Tidak seperti petani pada umumnya, petani garam di sini baru memanen garam setelah empat hari atau lima hari. Alasannya, karena butir garam yang dihasilkan jauh lebih kecil. "Kalau masih satu hari bisa saja dipanen, tapi bijinya besar, kalau ditimbang hasilnya ringan," katanya pada KONTAN.
Dalam sekali panen, Amir bisa menghasilkan biji garam sekitar tujuh karung berukuran masing-masing 50 kilogram (kg). Hasil panen tersebut hanya akan ditaruh di pinggir jalan. "Ada tengkulak yang datang sendiri dan memilih garam," ujarnya.
Harga jual per karung sebesar Rp 35.000. Dalam sekali panen Amir bisa mendapatkan omzet sekitar Rp 245.000. Setelah dikurangi biaya produksi, keuntungan bersih yang didapatkan lebih dari 50%.
Petani garam lainnya adalah Iyoto. Pensiunan pegawai Dinas Perkebunan Kota Palu ini mengaku sekali panen dapat menghasilkan garam sekitar sepuluh karung. Harga jual dibanderol sama dengan Amir, yakni Rp 35.000 per karung. n
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News