kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mencicip manisnya usaha selai rumahan


Kamis, 12 Maret 2015 / 10:30 WIB
Mencicip manisnya usaha selai rumahan
ILUSTRASI. Ketiga perusahaan Tiongkok dinilai telah melakukan kerja paksa terhadap warga minoritas muslim dari etnis Uighur di China. ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie/aww.


Reporter: Marantina | Editor: Tri Adi

Anda pasti pernah makan selai, bukan? Lazimnya selai dinikmati sebagai pelengkap roti. Tak jarang selai juga dijadikan isian kue seperti nastar. Saat ini, selai tak hanya diproduksi oleh pabrik. Banyak pengusaha yang memproduksi selai homemade alias buatan rumahan. Bahan baku yang digunakan alami, tapi dengan harga yang bersaing.

Para produsen selai rumahan bilang, mereka membuat selai sebagai alternatif produk pabrik. Dus, bahan baku yang digunakan kebanyakan bahan lokal tanpa bahan pengawet. Meski tidak tahan begitu lama, keunggulan selai ini adalah rasa enaknya yang alami. Peluang usahanya pun cukup menggiurkan.

Ambil contoh Kalalina yang memproduksi selai dengan merek Lynelle di Jakarta Utara. Ketika merintis bisnis pada 2011, ia hanya memproduksi sekitar 10 botol selai per bulan. Kini, kapasitas produksinya naik drastis hingga 300 botol selai saban bulan. “Pasar di Jabodetabek masih sangat luas, apalagi untuk daerah-daerah lain,” kata perempuan yang akrab disapa Lina ini. Menurut dia, peluang usaha pembuatan selai rumahan masih terbuka lebar. Tren gaya sehat yang kini digandrungi banyak orang sangat membantu bisnisnya.

Ketika merintis usahanya 2011 lalu, Lina mengaku harus mengedukasi masyarakat mengenai produknya. Apalagi, kala itu, belum banyak produk selai rumahan. Masyarakat masih terbiasa dengan selai buatan pabrik, baik yang lokal maupun impor. Padahal, selai tersebut rentan dengan penggunaan bahan pengawet, pewarna, dan perasa tambahan.

Namun, saat ini, masyarakat sudah lebih sadar tentang pentingnya produk konsumsi yang sehat. “Sebagai produsen, saya dimudahkan untuk memasarkan selai rumahan dengan munculnya tren gaya hidup sehat,” ucap dia.

Hal serupa dialami oleh Sheilli Amina Nagib, owner selai Alanna di Bogor, Jawa Barat. Perempuan berusia 28 tahun ini fokus memproduksi selai rumahan dari bahan baku organik. Sejauh ini, Amina baru memproduksi selai stroberi dengan harga jual Rp 30.000 per botol ukuran 130 gram.

Kapasitas produksi selai Alanna sekarang mencapai 500 botol per bulan. Dus, dari usaha ini, Amina bisa mengantongi omzet di kisaran Rp 20 juta–
Rp 25 juta saban bulan. Baik Amina maupun Lina bilang, laba bersih berkisar 30%.

Keduanya tak mau mematok harga terlampau tinggi untuk produknya lantaran masih dalam penetrasi pasar. Selain itu, “Sebagai bentuk idealisme sendiri karena ingin mengenalkan produk sehat dan alami pada masyarakat,” tutur Amina.

Amina bilang, ia memang sudah lama ingin membuat produk yang berbahan baku alami. Lantas, pada pertengahan 2013, ia memutuskan memproduksi selai. Pasalnya, selama ini, selai identik dengan produk yang menggunakan zat aditif. “Saya mau mengubah pandangan itu, jadi saya bikin produk yang dikonsumsi sehari-hari, tapi tanpa bahan kimia alias serba natural,” cetus dia.

Amina juga mengatakan masyarakat sudah lebih terbuka terhadap produk yang mendukung gaya hidup sehat. “Malahan sekarang konsumen yang mencari selai organik, jadi saya tak perlu gencar lagi melakukan edukasi,” kata dia.

Pemain lain di usaha selai ialah Mei Suling, pemilik Oma Anna Homemade Jam di Bandung. Usaha selainya dimulai pada awal 2009. Setelah 11 tahun bekerja kantoran di Jakarta dan Bali, Mei berkeinginan untuk memiliki usaha sendiri “Akhirnya pada awal 2009 saya mulai jalani sedikit demi sedikit,” tuturnya.

Kini, dalam sebulan, Mei bisa memproduksi 200 botol–300 botol selai. Oma Anna menawarkan empat varian rasa selai, yakni orange jasmine, apple mint, stroberi cinnamon, dan passionfruit & mango. Tiap botol selai dibanderol pada harga Rp 55.000–Rp 60.000.

Di sisi lain, Lina berujar, persaingan usaha selai rumahan ini masih longgar. Pemain lokal bisa dihitung jari. Yang penting rajin dan konsisten mengenalkan merek pada konsumen.

Pasalnya, selain sesama produsen selai, mereka juga harus bersaing dengan selai impor. Dengan pasar yang masih bertumbuh, usaha ini punya potensi yang bagus untuk digeluti. “Dari segi kualitas, selai rumahan tidak kalah bagus, tapi yang menjadi persoalan bagaimana supaya merek kami dikenal masyarakat luas,” ujar Lina. Menurut perempuan berusia 39 tahun ini, butuh waktu sekitar setahun agar merek selai Lynelle diterima pasar.

Sejauh ini, selai Lynelle memiliki lima varian rasa yang merupakan campuran rasa stroberi dengan rasa buah lain seperti blackberry, raspberry, dan pisang. Ia membanderol selai tersebut Rp 45.000 per botol ukuran 275 gram.


Modal tipis

Anda tergiur menjajaki bisnis ini? Bisnis rumahan satu ini tidak membutuhkan modal terlalu besar. Kalau mau, dengan uang jutaan rupiah, Anda bisa merintis usaha pembuatan selai. Dengan catatan, Anda menggunakan dapur dan peralatan yang sudah ada untuk proses produksi.

Amina misalnya, hanya merogoh kocek Rp 2 juta sebagai modal awal. “Saya gunakan modal itu untuk bahan baku karena semua peralatan sudah ada, dan saya tak perlu menyewa tempat,” ujarnya.

Namun, kalau Anda belum punya peralatan memasak, perkiraan modal awal sekitar Rp 15 juta. Itulah besaran modal yang dikeluarkan Lina. Selain untuk menyetok bahan baku, modal itu dipakai untuk membeli panci dan peralatan dapur lain. Adapun Mei menyebut, modalnya untuk usaha selai rumahan hanya sekitar Rp 5 juta, untuk membeli buah, gula, panci, dan kemasan botol.

Proses membuat selai ini tak terlalu rumit. Bahan baku berupa buah dibersihkan dulu, lantas diolah alias dimasak di panci dan dimasukkan ke dalam kemasan botol. Mei menjelaskan, Selai Oma Anna dibuat dengan metode lama. Buah direbus berjam-jam sampai kadar airnya sedikit, kemudian dicampur dengan gula dan pengental,baru dibotolkan.

Untuk tempat produksi, dapur rumah saja sudah cukup. Dengan kata lain, tak perlu menyewa tempat. “Semua produk selesai dibuat langsung saya kirim, jadi tidak butuh disimpan,” ucap Amina.

Daya tahan selai ini beragam. Selai organik yang dibuat Amina bisa bertahan hingga tiga bulan. Sementara selai buatan Lina bisa dikonsumsi sampai enam bulan seusai diproduksi. Tentu saja, selai harus dijauhkan dari siraman sinar matahari dan sebaiknya disimpan di dalam kulkas. Penggunaan gula membuat produk ini cukup awet secara natural.

Kemasan botol kaca yang tertutup rapat juga membantu selai untuk bertahan cukup lama. Rata-rata produsen selai menggunakan botol kaca sebagai kemasan. Selai sudah identik dikemas seperti itu. Lagipula, botol kaca ramah lingkungan dibandingkan dengan kemasan seperti plastik. Botol kaca bisa dipesan dari pemasok atau distributor botol kaca lokal.

Nah, yang jadi tantangan usaha ini ialah pemilihan pemasok bahan baku, terutama buah. Kebanyakan buah dipesan dari supplier lokal, kecuali blackberry yang digunakan Lina. Sementara Amina mengambil stroberi organik dari petani di Garut dan Bandung.

Mei bilang, untuk menghasilkan selai yang berkualitas, pastikan bahan baku yang digunakan juga segar. Saban bulan, ia butuh sekitar 100 kg–200 kg buah untuk membuat selai. “Bahan yang saya gunakan 90% masih fresh, baik bahan utama maupun campuran, sehingga kualitas, rasa dan tekstur jauh lebih kaya daripada selai pabrikan,” tandasnya.

Pastikan pemasok hanya mengirim buah berkualitas bagus dan konsisten dengan kualitas tersebut. Sebagai produsen, Lina dan Amina mengaku standarisasi rasa dan kualitas produk menjadi hal utama dalam pemilihan pemasok. Jangan sampai karena ingin bahan baku dengan harga miring, standardisasi itu dilanggar.


Lewat jalur reseller

Munculnya beragam produk konsumsi yang sehat sejalan dengan tren untuk hidup sehat. Inilah yang menginspirasi produk selai rumahan yang dibuat hanya dengan bahan-bahan alami, tanpa menggunakan zat aditif.

Kalalina, owner Lynelle Premium Homemade Jam, mengatakan, pasar untuk produk ini sangat luas. Selain menyasar pembeli eceran, Lina juga menawarkan produknya untuk keperluan event, baik ke personal maupun korporasi. Pada perayaan hari libur pun Lina menawarkan paket parsel alias hampers untuk produknya. “Biasanya menjelang Natal, Lebaran, dan tahun baru saya buka order untuk hampers bagi konsumen. Ini lumayan menambah omzet,” ungkap dia.

Sebagian pemesanan dilakukan secara langsung, baik melalui media sosial atau telepon. Di samping itu, Lina mengandalkan reseller atau agen untuk memasarkan produknya. Sejauh ini, Lina mengandalkan 12 reseller di Jabodetabek.

Produsen selai organik Alanna, Sheilli Amina Nagib, juga memasarkan produknya melalui jalur reseller. Bahkan, 60% pemasaran dilakukan melalui jalur tersebut. “Untuk reseller, saya tetapkan untuk memesan 20 botol selai tiap order, jadi saya bisa berikan potongan harga,” ucap Amina.

Bahkan pada 2015 ini, Amina mau menggenjot jumlah reseller-nya yang belum mencapai 10 orang itu. “Saya menargetkan omzet bertumbuh empat kali lipat, jadi sedang mencari reseller yang banyak untuk mewujudkan target itu,” ujarnya. Peluang untuk reseller, kata Amina, terbuka untuk pedagang online maupun offline. Ibu rumahtangga pun bisa jadi reseller Alanna jika memang tertarik dengan produk selai organik ini.

Di samping itu, Amina berencana menambah varian baru selai Alanna. Kebanyakan konsumen meminta selai kacang dan selai cokelat. Dus, per Februari, Amina akan memiliki dua varian selai baru. “Untuk pasokan kacang organik, saya memberdayakan petani kacang di Bogor,” pungkas dia.

Sementara itu,  Mei Suling, owner Oma Anna Homemade Jam, baru memiliki satu reseller. Ia menjual produknya via online melalui situs www.aogindonesia.com. Selain itu, mulai Februari ini, ia memasarkan selai Oma Anna setiap Minggu pagi di Sukajadi, Bandung. “Kami juga akan membuka toko fisik pada pertengahan Februari,” ungkap dia.                      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×