Reporter: Harris Hadinata, Lamgiat Siringoringo | Editor: S.S. Kurniawan
Manisnya pangsa pasar ekspor makanan dan minuman memang banyak menyelamatkan kinerja perusahaan besar. Tapi, Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan pengusaha-pengusaha besar untuk menggenjot ekspor.
Ada banyak pelaku usaha makanan dan minuman yang masuk kategori usaha kecil menengah (UKM). Sudah banyak pengusaha UKM yang sudah mencicipi gurihnya pasar ekspor.
Ade Makmursyah, pendiri PT Kopi Boutique Indonesia, mengatakan, dalam sebulan bisa memproduksi kopi luwak sebanyak 15 kilogram (kg). Dari situ, sebagian besar diekspor. "China yang paling besar," ujarnya.
Selain itu, Ade juga mengekspor ke negara lainnya, seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, Makau, dan Australia. "Ada juga ke Inggris yang permintaannya sebenarnya tidak terlalu besar, tetapi stabil. Selalu ada permintaan dari sana," ujar Ade.
Lain lagi Hadi Susanto. Pemilik PT Aulia Prima Alami ini sudah mengekspor coconut palm sugar ke berbagai negara. Rata-rata dalam dua bulan ia bisa mengirim 18 ton. Beberapa negara yang sudah menjadi pangsa pasarnya adalah Singapura, Thailand, China dan Korea.
Anda tertarik menjadi eksportir makanan dan minuman? Ada beberapa hal yang perlu Anda tahu kalau ingin menjadi eksportir makanan dan minuman.
Pertama, pemasaran. Untuk melakukan pemasaran, eksportir bisa memanfaatkan pameran-pameran perdagangan internasional.
Ade mengaku saat memulai bisnisnya memulai dari mengikuti trade expo. "Saya memulainya dari pameran. Pameran perdagangan ini sangat membantu untuk mencari pembeli dan juga mencari informasi soal pasar," ujarnya. Setelah itu ia juga banyak mencari informasi dari relasi-relasi yang sudah terjalin selama berbisnis.
Sementara Hadi lebih memanfaatkan website penjualan. Ia memakai kerjasama dengan Google Advertising. Dengan begitu produknya akan terlihat dari penjuru dunia manapun.
Kedua, jasa perantara. Anda yang ingin ekspor makanan dan minuman juga perlu mengetahui mekanisme penjualan. Ada dua mekanisme yang kerap digunakan.
Satu, lewat perantara. Ini adalah agen yang ada di negara tujuan yang mengepul produk. Mereka yang nanti mengekspor lagi atau menjual lagi produk ke peritel.
Hadi bertutur, ia pernah menjual barang ke seseorang di suatu negara, namun nama penerimanya adalah si pembayar. "Saya seperti menjadi agen," ujarnya.
Dua, menjual langsung ke peritel atau direct seller. Cara kedua ini sebenarnya mampu menghasilkan margin yang lebih besar.
Cuma, mengakses langsung ke peritel tidak mudah. Selain harus kenal pengusaha di negara tujuan, kita juga harus memahami ketentuan soal importir di sana.
Ketiga, aturan negara lain. Eksportir perlu mengetahui peraturan di negara tujuan. Beberapa negara memiliki standarisasi terkait produk makanan dan minuman di yang boleh beredar.
Adhi mengatakan masalah ini terkadang menjadi hambatan buat pelaku UKM masuk ke pasar ekspor.
Di negara-negara maju, ketentuan soal standarisasi makanan dan minuman yang beredar bahkan bisa meningkat tiap tahun. Hal ini kerap menyulitkan eksportir makanan dan minuman dari Indonesia, terutama eksportir skala UKM.
Adhi menyebut, pemerintah seharusnya bisa membantu meningkatkan pelaku usaha agar daya saingnya bisa bertambah.
Ade mengakui hal ini. Untuk menjaga kualitas, ia terutama memperhatikan betul soal kemasan. "Packaging ini penting, karena pengemasan yang tidak bagus bisa mempengaruhi kualitas produk," ujar dia.
Keempat, pembayaran. Hal terakhir yang perlu diperhatikan adalah soal pembayaran dan pengiriman. Kalau eksportir mendapat pembeli baru, ia bisa meminta pembayaran dengan cara mencicil.
Jadi, pembeli harus membayar uang muka 50% dulu sebelum mengirim barang. Sisa uang dibayarkan setelah barang sampai. Sistem cicilan ini juga berguna bila pembeli belum percaya pada rekam jejak eksportir.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News