Reporter: Wahyu Tri Rahmawati, Fahriyadi | Editor: Tri Adi
Plastik menjadi bahan pembungkus yang paling banyak digunakan masyarakat. Meski semangat go green terus berkumandang dan banyak yang mencoba menghindarinya, penggunaan plastik hingga kini belum menurun. Itulah sebabnya bisnis penggilingan plastik tetap menggelinding.
Penggilingan sampah plastik merupakan bagian penting dalam sistem daur ulang plastik. Proses itu menjadi jembatan agar sampah plastik bisa bermanfaat.
Para penggiling sampah mengumpulkan plastik berupa botol, gelas atau lembaran plastik dari pemulung atau mencarinya sendiri. Sampah plastik digiling menjadi cacahan plastik. Kemudian, hasilnya dijual ke pabrik plastik. Di pabrik, cacahan itu diolah menjadi plastik baru.
Iyaz, pemilik usaha penggilingan plastik Berkah Semesta Hijau di Depok, sudah menekuni usaha ini sejak lima tahun lalu. Berawal dari ketertarikan melihat keberhasilan kawannya berbisnis penggilingan plastik, dia berminat menerjuni bisnis itu. Apalagi, dia melihat permintaan plastik daur ulang sangat tinggi. Dari hari ke hari, jumlah plastik yang diolahnya semakin banyak.
Ia mengatakan, tidak semua sampah plastik bisa didaur ulang dengan aman. Jenis plastik yang tidak bisa didaur ulang antara lain jenis polyvinyl chloride (PVC), polystyrene (PS), styrene acrylonitrile (SAN), acrylonitrile butadiene sturene (ABS), polycarbonate (PC), dan nilon.
Karena itu, Iyaz saat ini hanya mengolah tiga jenis sampah plastik, yaitu jenis polypropylene (PP), polyethylene terephthalate (PET), dan low density polyethylene (LDPE). PP biasa dijumpai pada kemasan cup plastik, sedangkan PET dan LDPE berasal dari botol plastik dan botol infus. "Selain keliling sendiri, juga ada yang memasok sampah-sampah ini," katanya.
Plastik yang terkumpul dibersihkan hingga tidak menyisakan bahan lain. Iyaz mempekerjakan warga sekitar pabrik. Setelah benar-benar bersih, plastik dipisahkan berdasarkan jenis, baru dicacah.
Ada dua proses dalam pengolahan sampah plastik, yaitu penggilingan kering dan basah. Jika penggilingan kering, pencucian dilakukan setelah proses giling. Adapun penggilingan basah caranya mencampur plastik dengan air dingin atau panas. "Tingkat kebersihan dan kejernihan berbeda," kata Iyaz. Ia lebih memilih penggilingan air dingin karena lebih bersih.
Selain dijual ke pabrik-pabrik pengolahan plastik dalam negeri, ada juga yang menjual hasil cacahan plastik tersebut ke pasar luar negeri. Per bulan, Iyaz memproduksi cacahan plastik antara 5 hingga 10 ton. "Omzetnya bisa sekitar Rp 200 juta-an," kata Iyaz, yang saat ini baru memiliki satu mesin pengolah plastik.
Dia berencana menambah satu mesin giling lagi karena meningkatnya permintaan. Sekadar informasi, harga satu mesin giling plastik sekitar Rp 30 juta hingga Rp 35 juta. Harga tersebut belum termasuk mesin penggerak. Iyaz menggunakan penggerak dari mesin truk Hino.
Di sisi lain, dia mengungkapkan, aliran kas di bisnis penggilingan plastik tergolong cepat. Karenanya, dia harus membayar langsung secara tunai para pengepul sampah plastik. Untuk menghindari kemacetan pembayaran, Iyaz juga meminta bayaran tunai ke pabrik-pabrik yang membeli plastik olahannya.
Selain Iyaz, ada juga Stanley. Ia adalah pemilik CV. Sinar Terang di Surabaya yang mulai menggeluti bisnis ini sejak tahun 2008. Usahanya didorong oleh keinginan membantu orang tuanya yang memiliki home industry percetakan plastik. Dari usaha itulah, Stanley banyak menemukan sampah plastik yang menumpuk dan terbuang percuma.
Bermodalkan sebuah mesin penggiling plastik berkapasitas 1 ton seharga Rp 20 juta, dia memulai usaha barunya. Kini, seluruh kapasitas mesin telah digunakan untuk menggiling material plastik, seperti gelas dan botol air mineral, ember, dan lain sebagainya. Menurut pria usia 29 tahun ini, proses penggilingan berlangsung sekitar tujuh jam. Hasilnya bijih plastik dengan bentuk dan kualitas yang baik.
Saat ini, pelanggan Stanley adalah para pengepul sampah. Mereka membeli jasa Stanley untuk mengolah sampah plastik menjadi bijih plastik untuk dijual kembali ke perusahaan plastik.
Stanley menerapkan tarif Rp 700 per kilogram untuk penggilingan kering dan Rp 800 per kilogram untuk penggilingan basah. Penggilingan basah lebih mahal sebab hasilnya lebih baik. Air yang ada dalam mesin akan membilas plastik, sehingga bijihnya lebih bersih dibandingkan penggilingan kering.
Proses penggilingan basah biasanya dilakukan untuk sampah botol atau gelas air mineral. Sedang penggilingan kering untuk material plastik yang lebih keras, seperti ember dan baskom plastik.
Setiap hari Stanley bisa memperoleh order dari dua sampai tiga orang pengepul plastik. Dari order itu, dia mampu mengumpulkan omzet Rp 700.000 hingga Rp 800.000 per hari atau sekitar Rp 20 juta hingga Rp 25 juta saban bulan.
Meski memiliki omzet sebesar itu, Stanley masih mengeluhkan biaya bahan bakar minyak (BBM) yang mahal. Pasalnya, mesinnya sangat bergantung dari pasokan solar. Setiap hari, satu mesin kapasitas 1 ton miliknya membutuhkan sekitar lima liter solar.
Biaya perawatan mesin juga membebani. Apalagi saat ini harga suku cadang naik. Maklum, mesin penggerak penggiling plastik miliknya adalah mesin bekas yang dibeli dua tahun lalu.
Selain itu, usaha penggilingan sampah plastik sudah banyak dilakukan orang. Untuk itu, Stanley memilih memfokuskan usahanya di wilayah Surabaya sambil menunggu penambahan mesin penggiling baru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News