kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menelusuri Laweyan, kampung batik zaman kuno (1)


Sabtu, 13 Januari 2018 / 10:15 WIB
Menelusuri Laweyan, kampung batik zaman kuno (1)


Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Johana K.

KONTAN.CO.ID - Siapa tak mengenal Kampung Batik Laweyan di Solo, Jawa Tengah? Tak hanya sekedar menjadi pusat produksi dan jual beli batik, lokasi ini juga menyimpan banyak sejarah. Penelusuran KONTAN menyebutkan, Laweyan sudah ada sekitar 250 tahun sebelum Kota Solo resmi berdiri.

Berdasar catatan sejarah, Laweyan merupakan bagian dari Kerajaan Pajang yang dijadikan sebagai pusat industri dengan total luas wilayah 42,5 hektare (ha). Barang produksi pertama disana adalah kain tenun. Maklum, banyak tanaman kapas berkualitas sekitar lokasi.

Tenun tersebut kemudian berkembang dengan adanya aktivitas batik sekitar tahun 1542. Saat itu, sebagian besar hasil produksinya dipasarkan ke seluruh wilayah Solo dan sekitarnya, melalui kapal-kapal yang melintas di Sungai Begawan.

Bahkan, disebutkan bila aktivitas ekspor pertama yang terjadi di dalam negeri terjadi di lokasi ini. Kampung Laweyan juga menjadi tempat berkumpulnya para konglomerat di jamannya.

Usaha batik ini terus dipertahankan dan menjadi usaha warisan keluarga. Sampai sekarang, masih banyak para penerus yang setia memproduksi batik.

Aroma sejarah di kampung batik Laweyan masih terasa hingga sekarang. Pasalnya, rumah-rumah bergaya lawas dengan sentuhan Islam, China dan Eropa masih berdiri gagah dan terawat.

Pesona artistik lainnya adalah lorong-lorong kecil yang menghubungkan setiap jalan, rumah-rumah dilindungi dengan pagar tembok tinggi. Yang menarik, sebagian rumah disana terdapat lorong dan banker yang dijadikan akses jalan antar tetangga.

Sayangnya, banker dan lorong tersebut sudah ditutup sekitar tahun 1948 dengan alasan diduga dijadikan tempat persembunyian para pemberontak negara.

Menjadi tempat yang memulai aktivitas batik tertua di Indonesia dan mempunyai aset bagunan artistik, membuat para pelancong dan akademisi singgah kesana untuk menikmati suasana, belajar membatik, dan mempelajari desain bagunan.

Saat KONTAN menyambangi lokasi pada Kamis (14/12), tidak banyak melihat pelancong dalam atau luar negeri. Yang terekam adalah aktivitas membatik disetiap rumah.

Alpa Febila Priatmono, pemilik Mahkota Batik mengaku bulan Desember memang momen sepi kunjungan bagi mereka. Tamu banyak datang pada bulan Maret hingga Oktober. "Selama periode itu kami selalu buatkan jadwal-jadwal untuk workshop, pelatihan batik, dan lainnya," katanya pada KONTAN.

Asal tahu saja, usaha yang ditekuninya ini merupakan bisnis warisan dari sang mertua yang sudah eksis sejak puluhan atau ratusan tahun lalu.

Generasi penerus lainnya adalah Dani Arifmawan, pemilik Cempaka Batik. Dia mengaku sang buyutlah yang memulai usaha produksi batik setelah lebih dahulu menjadi penjual batik.  

Kedua, sama-sama memproduksi batik tulis dan cap dengan motif-matif pakem. Tidak hanya dijual dalam bentuk lembaran kain tapi juga dijadikan baju siap pakai dengan desain modern yang pas dikenakan oleh laki-laki dan perempuan.                      

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×