kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45925,41   -5,94   -0.64%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menengok sentra kain ulos di tanah Batak (bagian 2)


Sabtu, 12 Oktober 2019 / 09:15 WIB
Menengok sentra kain ulos di tanah Batak (bagian 2)


Reporter: Agustinus Respati, Ratih Waseso | Editor: Markus Sumartomjon

KONTAN.CO.ID - TOBA SAMOSIR. Helaian kain tenun ulos khas Toba Samosir tak lepas dari keterampilan sang pengrajin memadukan warna dan mengatur benang agar terbentuk motif nan elok. Namun, selain ketrampilan penenun, kualitas bahan juga menentukan hasil dari ulos.

Bahan atau benang yang berkualitas akan menghasilkan ulos yang halus dan rapi. Oleh karena itu, para penenun di Kampung Banoealoehoe Toroean ini menggunakan bahan baku berupa benang katun India.

Sebenarnya, ada juga jenis benang lokal buatan Indonesia, namun Asti Panjaitan, salah satu penun di wilayah ini menyebut kualitas benang lokal belum sebagus benang impor.

Penenun biasanya mendapatkan benang impor India dari pengepul atau tauke  yang ada di Balige. Benang dari India ini tersedia dalam berbagai varian warna. Harga benang impor dari India ini per kilogram mencapai Rp 170.000.

Sebelum digunakan, kumpulan benang ini perlu dicuci dan diberi campuran tepung kanji. Setelah dikeringkan, benang kemudian digulung berdasarkan warnanya. Tujuannya supaya benang yang akan digunakan untuk menenun kuat dan tidak mudah putus.

Urusan warna, benang yang jadi favorit biasanya yang berwarna khas Batak yaitu merah, putih, dan hitam. "Kalau dia pecinta wastra atau pecinta kain tenun akan lebih suka warna alam, karena warna lebih lembut kalau warna alam," kata Asti.

Tak hanya warna yang lebih lembut, benang dengan pewarna alam juga lebih sehat saat digunakan karena tidak mengandung bahan kimia. Namun nahasnya, selain sulit didapatkan, benang ini juga relatif mahal.

Benang dengan pewarna alam mencapai harga Rp 600.000 per kg. Sedangkan, untuk benang dengan pewarna buatan, harganya Rp 170.000 per kg. "Kami berharap supaya benang dengan pewarna alami bisa lebih mudah didapatkan, jadi harga benangnya juga bisa turun," ujar Herta Panjaitan, saudara lelaki Asti yang juga penenun ulos.

Umumnya, benang yang digunakan merupakan benang yang berasal dari Balige. Namun tak jarang penenun memesan benang dari Bandung, Jawa Barat, hingga Nusa Tenggara Timur (NTT). "Kami pesan juga benang dari Jawa dan kadang NTT untuk benang dengan pewarna alam," ungkap Asti.

Penenun mengakui tidak mampu untuk memproduksi benangnya sendiri. Sebab, waktu mereka telah habis untuk menenun. Dalam sehari mereka bisa menghabiskan hingga 7 jam untuk duduk menenun.

Dengan benang-benang ini, penenun di kampung ini bisa berkreasi dan biasa membuat ulos atau songket dengan motif tumtuman, yakni  motif raja-raja. Namun demikian, mereka juga kerap menerima pesanan motif lain seperti puca, cici, dan ragi hotang. Alhasil, keberadaan benang ini menjadi sangat penting bagi para penenun.      

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×