Reporter: Jane Aprilyani, Nisa Dwiresya Putri | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Siapa yang tak kenal dengan sayuran daun katuk? Sayuran yang mempunyai banyak manfaat ini sudah cukup familiar di masyarakat, terutama di kalangan ibu-ibu. Maklumlah, salah satu manfaat utama dari tanaman yang biasanya digunakan sebagai tumbuhan penghias pagar ini adalah untuk melancarkan produksi air susu ibu (ASI).
Daun katuk (Sauropus androgynus) mengandung banyak sekali vitamin yang bermanfaat bagi tubuh. Diantaranya adalah kalori, protein, karbohidrat, zat besi, vitamin A, vitamin B1, dan vitamin C. Daun katuk juga memiliki kandungan tanin, saponin, flavonoid, dan alkaloid papaverin sehingga potensial untuk dijadikan bahan pengobatan alami.
Umumnya, daun katuk dikonsumsi dengan cara diolah menjadi sayur bening. Lantaran banyak sekali kandungan gizinya, permintaan daun katuk pun tinggi di pasaran. Tak heran, banyak orang tertarik mengembangkan tanaman ini.
Salah satunya adalah Iwan di Sukabumi yang membudidayakan daun katuk sejak 2010. Menurut Iwan, tanaman katuk sudah banyak dibudidayakan di Indonesia. "Banyak yang tertarik karena pasti menghasilkan," ujarnya.
Selain dijual ke pasar, Iwan juga memasok daun katuk kering ke pabrik untuk dijadikan suplemen pelancar ASI. Membudidayakan daun katuk di lahan 1.000 meter persegi (m²), Iwan bisa menghasilkan 6-8 kwintal daun katuk per bulan.
Dengan produksi sebanyak itu, setiap bulan ia rutin memasok daun katuk kering ke pabrik. Sementara daun katuk basah dijual ke pasar. "Katuk kering kirim ke Sidoarjo, Yogya, Semarang, Bogor dan Jakarta. Kalau katuk segar suplai ke pasar lokal," katanya.
Harga yang dibanderol untuk daun katuk basah Rp 3.000-Rp 6.500 per kilogram (kg). Sementara daun katuk kering yang dijual ke pabrik dihargai Rp 10.000-Rp 12.000 per kg. Omzet yang diperolehnya mencapai Rp 2,5 juta hingga Rp 3,5 juta per bulan.
Pebudidaya lainnhya adalah Ali Mujaya. Ia mengelola lahan budidaya daun katuk di Tanjung Jaya, Sumatera Selatan sejak 2015. Berbeda dengan Iwan, Ali hanya menjual daun katuk segar ke pasar tradisional.
Ali mengaku tidak menjual daun katuk ke perusahaan atau pabrik farmasi karena keterbatasan lahan dan lokasi. Meski tidak memasok pabrik, Ali mengaku peminat daun katuk di daerahnya cukup tinggi. “Kalau disini sudah tradisinya, begitu melahirkan langsung konsumsi daun katuk,” jelas Ali.
Dalam satu hari, Ali menghasilkan 400 ikat daun katuk untuk langsung dijual ke pengepul seharga Rp 1.000 per ikat. Pengepul kemudian menjual daun ini ke pengecer dengan rentang harga Rp 1.500-Rp 1.800 per ikat. “Nanti di konsumen bisa Rp 2.500 per ikat,” ujarnya.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News