Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk, Primasyah Kristanto, Rani Nossar | Editor: Rizki Caturini
MAHIR menguasai bahasa asing terutama Bahasa Inggris rasanya sudah menjadi keharusan di era globalisasi seperti sekarang. Maklum, Bahasa Inggris sudah menjadi salah satu bahasa pengantar untuk berinteraksi antara masyarakat dunia. Itu sebabnya, banyak kursus bahasa Inggris bermunculan untuk menambah pengetahuan bahasa Inggris yang didapat di sekolah. Para pemilik usaha kursus bahasa pun banyak membuka peluang kemitraan untuk memperbesar usahanya.
Kali ini, KONTAN akan mengulas tiga kemitraan kursus Bahasa Inggris yakni Speakup!!, ELTI Gramedia, dan Easy English Center (EEC). Kemitraan EEC dan ELTI Gramedia masih berkembang, sedangkan kemitraan Speakup!! belum bertambah lantaran pemiliknya sangat selektif dalam menggandeng mitra. Untuk mengetahui sejauh mana perkembangan ketiga waralaba kursus bahasa Inggris ini, berikut ulasannya:
Speakup!!
Kursus bahasa Inggris ini didirikan oleh Freddy Yusanto pada April 2007 di Bandung. Kemudian, dia mulai membuka peluang kemitraan sejak 2012. Speakup!! menawarkan kursus bahasa Inggris untuk anak usia lima tahun hingga karyawan.
KONTAN pernah mengulas kemitraan ini pada tahun 2012. Kala itu, Speakup!! baru memiliki dua mitra. Ketika diulas kembali pada Oktober 2013, mitranya bertambah satu. Seluruh gerainya berlokasi di Bandung. Satu di antaranya punya pusat, sisanya kepunyaan mitra.
Hampir setahun berselang, kemitraan Speakup!! belum bertambah alias masih tetap tiga. Pemilik Speakup!!, Freddy Yusanto mengklaim, permintaan untuk kemitraan sebenarnya banyak, namun ia sangat seletif dalam menerima mitra. Dia ingin mitra-mitra yang sudah bekerjasama dengannya tidak merugi dan tetap bisa berkembang. “Kita mencari mitra yang benar-benar peduli dengan pendidikan,” tandasnya.
Agar mitra yang sudah terjalin saat ini terus berkembang, Freddy mengaku terus memperbaharui materi-materi yang dibawakan dalam kursus. Pihaknya terus melakukan pendekatan yang sesuai dengan tren masa kini agar anak didik yang bergabung dalam Speakup!! bisa mahir berbahasa Inggris.
Paket investasi yang ditawarkan Speakup!! tidak berubah. Ada tiga paket investasi yang ditawarkan, yakni Rp 15 juta, Rp 30 juta, dan Rp 80 juta. Syarat menjadi mitra cukup menyediakan tempat dan perlengkapan sendiri.
Investasi tersebut berlaku untuk waktu lima tahun. Selain itu, mitra akan mendapatkan pelatihan guru, modul, dan sistem operasional. Mitra diperkirakan bisa meraup omzet Rp 25 juta−Rp 35 juta per bulan dengan laba bersih sekitar 30%. Pihak pusat memungut biaya royalti sebesar 15% dari omzet mulai dari bulan keempat.
ELTI Gramedia
ELTI Gramedia sudah berdiri lebih dari 20 tahun silam. Namun lembaga kursus ini baru menawarkan waralaba pada tahun 2011. Saat KONTAN mengulasnya tahun 2011, ELTI telah memiliki 11 cabang. Kini, gerainya bertambah satu menjadi 12 gerai, lima di antaranya milik mitra dan tersebar di Tasikmalaya, Pontianak, Denpasar, dan beberapa kota lainnya.
Ada empat program kursus yang ditawarkan ELTI, yakni untuk anak-anak TK, SD, SLTP dan SLTA, dewasa yang mencakup mahasiswa dan sarjana, serta menyediakan paket kursus untuk persiapan TOEFL.
Benny, selaku Manager Area-1 ELTI mengatakan, saat ini, biaya kursus di Jakarta sudah naik menjadi Rp 1,25 juta per tingkat dari sebelumnya Rp 1,1 juta. Kenaikan harga itu juga sebanding dengan program-program baru yang dibuat oleh ELTI. Misalnya, tidak hanya menyediakan kursus bahasa Inggris, namun saat ini juga tersedia test center sebagai tempat kursus TOEFL dan sebagainya.
Sebelumnya, ELTI menawarkan kerjasama waralaba selama 10 tahun dengan biaya Rp 200 juta. Dengan investasi tersebut, terwaralaba bisa menggunakan nama ELTI dan fasilitas empat guru yang terlatih, serta satu learning center manager.
Namun ke depannya, Benny mengatakan, paket investasi akan disesuaikan dengan lokasi usaha. Misalnya, nilai investasi yang tadinya Rp 200 juta akan disesuaikan di angka sekitar Rp 300 juta. Selain itu, ELTI juga membuka peluang baru bagi mitra. Mereka menyediakan program kemitraan bernama remote class.
Benny menjelaskan, remote class ini seperti mini franchise. Artinya, mitra tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar, hanya sebesar Rp 6 juta. Ilustrasi sederhana remote class ini misalnya, jika ada 10 orang murid dalam satu kelas, maka uang pembayaran enam murid disetorkan ke ELTI sedangkan empat sisanya menjadi hak mitra.
Agar makin melebarkan sayap usaha, tahun ini, ELTI akan membuka tempat kursus baru yang berlokasi di Matraman dan tahun depan di Bintaro. Sedangkan untuk kemitraan, akan bertambah satu gerai lagi di Cirebon.
Easy English Center
Easy English Center (EEC) berdiri tahun 2000 di Kemayoran, Jakarta Pusat. Lembaga kursus ini mulai menawarkan kemitraan sejak tahun 2002. Ketika KONTAN sempat mengulas kursus ini pada September 2011, pada saat itu gerainya sudah ada empat tempat yang tersebar di Bintaro, Utan Kayu, Sunter, dan Tanjung Priok.
Sudirman Alif Gani, pemilik EEC menyampaikan, saat ini, mitranya sudah bertambah menjadi 10 gerai dan bertambah di Tangerang, Cileungsi, Cibubur, dan beberapa lagi di daerah Jakarta. Ia bilang, saat ini, jumlah siswa yang belajar di tempatnya terus meningkat cukup banyak. Sebab, makin banyak tuntutan di sekolah mereka untuk mahir berbahasa Inggris.
Untuk paket investasi, Sudirman bilang, tidak ada perubahan. Ia masih menerapkan empat paket yakni paket standar dengan nilai Rp 5 juta, paket silver Rp 10 juta, paket gold Rp 20 juta, dan paket platinum seharga Rp 30 juta. Kebanyakan mitra mengambil paket yang gold dan platinum, sebab kedua paket ini sudah termasuk dengan tenaga pengajar sehingga mitra tidak perlu lagi mencari dan melatih pengajar.
Untuk biaya kursus kini sudah meningkat hampir 50% untuk semua kategori siswa. Misalnya, untuk siswa SD yang awalnya Rp 35.000 per bulan, kini sudah menjadi Rp 60.000 per bulan.
Untuk siswa SMP dari Rp 40.000 menjadi Rp 70.000 per bulan dan untuk siswa SMA dari Rp 45.000 menjadi Rp 80.000. Sedangkan biaya kursus untuk umum saat ini senilai Rp 100.000 per bulan.
Tahun ini, Sudirman menargetkan penambahan empat mitra baru dan akan ekspansi ke luar Jawa. Ia bilang, sudah ada calon mitra yang sebentar lagi akan membuka EEC di Batam, Bangka, dan Jawa Tengah. Untuk layanan baru, ia menambahkan fasilitas antar-jemput untuk siswa. Selain itu, EEC juga bekerja sama dengan sekolah-sekolah baik SD dan SMP untuk program bilingual sehingga bahasa pengantar bukan hanya Bahasa Indonesia, tapi juga Bahasa Inggris.
Kendala yang ia hadapi selama ini adalah tenaga pengajar. Banyak tenaga pengajar yang keluar setelah mendapat pengalaman kerja untuk mencari gaji yang lebih tinggi. "Kita tidak bisa memaksa, sebab di sini biaya kursusnya juga tidak mahal," kata dia.
Mau tidak mau, Sudirman melatih tenaga pengajar baru dan ikut terlibat menjadi pengajar khusus untuk karyawan dan umum.
Pengamat waralaba, Khoerussalim Ikhsan menilai, peluang bisnis kursus bahasa Inggris masih cukup menjanjikan. Maklum saja, bahasa Inggris sudah menjadi bahasa global sehingga tiap orang dituntut untuk bisa mengerti dan fasih berbahasa Inggris agar bisa berkomunikasi dengan orang-orang di berbagai belahan dunia.
Kendati peluangnya masih cukup bagus, Khoerussalim mengatakan, kursus bahasa Inggris yang menawarkan waralaba harus memperhatikan banyak hal. Ia bilang, bisnis yang pantas diwaralabakan adalah usaha yang sudah terbukti sehat dan berhasil. "Bisnisnya tidak sedang rugi," kata dia.
Selain itu, usaha kursus bahasa Inggris tersebut harus memiliki sistem yang jelas. Apalagi mengingat biaya atau investasi untuk terjun ke bisnis seperti ini tidak kecil. Artinya, waralaba tersebut harus memiliki patokan standardisasi yang benar (SOP) dan tentu juga harus di dukung oleh tim manajemen yang solid.
Khoerussalim menambahkan, untuk dapat berkembang, usaha kursus Bahasa Inggris harus mencari lokasi yang strategis yakni di tengah kota. Pasalnya, mayoritas konsumen kursus bahasa Inggris merupakan kelas menengah ke atas. Di samping itu, pusat sebagai pemilik waralaba juga harus mengontrol perkembangan mitra-mitranya.
Salim bilang, selama ini, banyak gerai kursus Bahasa Inggris yang merugi lantaran pusat tidak pernah memantau mitranya. "Kualitas SDM pengajar juga harus diperhatikan dan mempertimbangkan manajemen risiko supaya bisnis mitra maupun pusat dapat terus berjalan," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News