Sumber: | Editor: Dikky Setiawan
JALAN menuju Desa Muara Penimbung, Kecamatan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, tiba-tiba ramai dijaga oleh sejumlah aparat keamanan, Kamis pekan lalu (11/2).
Padahal, saat itu, arus lalulintas di sepanjang jalan tersebut tidak padat. Namun, petugas keamanan, mulai dari aparat TNI, kepolisian, hingga Dinas Lalulintas Jalan Raya, terus bersiaga mengatur hilir mudik kendaraan.
Rupanya, hari itu, Kabupaten Ogan Ilir tengah kedatangan putra daerahnya yang kini menjadi Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa. Ya, Hatta yang juga adalah Ketua Umum Partai Amanat Nasional pernah menetap di Kabupaten Ogan Ilir, 57 tahun silam.
Kali ini Hatta datang sebagai wakil pemerintah yang diundang PT Bank Negara Indonesia (BNI) untuk meresmikan Kampoeng Tenun BNI di Desa Muara Penimbung.
Selain Hatta, juga hadir Menteri Koperasi dan UKM Syarif Hasan, Wakil Gubernur Sumatera Selatan Efendi Yusuf, Direktur Utama BNI Gatot M. Suwondo dan beberapa pengurus Yayasan Citra Tenun Indonesia.
Kampoeng Tenun BNI merupakan salah satu program kemitraan dan bina lingkungan BNI. “Dalam program ini kami menyalurkan kredit kemitraan melalui kelompok usaha,” kata Gatot.
Bukan tanpa sebab, BNI memilih Desa Muara Penimbung sebagai mitra binaan. Di desa ini ada sekitar 300 perajin songket, dan 100 perajin di antaranya dibina dan mendapat fasilitas pembiayaan dari BNI sebesar Rp 1 miliar.
Lokasi sentra songket Desa Muara Penimbung berjarak sekitar 35 kilometer dari Kota Palembang. Untuk mencapai desa ini, butuh waktu sekitar 1 jam berkendara mobil. Lokasinya cukup strategis. Jalur utamanya merupakan jalan penghubung antara Provinsi Sumatera Selatan, Lampung dan Jambi.
Menurut Meki Okyasari, Ketua Kelompok Danau Karya Songket, kampung songket Desa Muara Penimbung terbentuk sejak 1990. “Awalnya hanya beberapa orang perajin. Tapi, belakangan jumlahnya terus bertambah,” katanya.
Meki bilang, bertambahnya jumlah perajin di desanya dipicu semakin banyaknya perajin yang mahir menenun songket. Ilmu itu didapat para perajin ketika mereka bekerja sebagai penenun di sejumlah sentra songket yang ada di desa lainnya.
Dia berkisah, sebelum tahun 1990, banyak penduduk desanya yang bekerja sebagai penenun di sentra songket Desa Tanjungpinang, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir. “Setelah merasa cukup bekal untukbuka usaha sendiri, para perajin pulang ke kampung halamannya,” tutur Meki.
Sejalan dengan itu, para perajin menularkan ilmunya kepada keturunan dan sanak keluarganya. Jadi, kerajinan yang semula hanya ditekuni segelintir orang, kini telah menjamur di Desa Muara Penimbung.
Zaenabun, salah satu perajin songket di sentra ini mengatakan, umumnya para perajin menenun kain tajung (sejenis kain jarit) dan songket dengan alat tenun tradisional yang bernama kedukan. Tapi, "Ada pula yang menggunakan alat tenun semimodern yang dinamakan alat tenun bukan mesin alias ATBM," kata Zaenabun.
Pembeli ebas memilih Motif dan Menawar
Songket adalah kain khas penduduk asli Palembang, Sumatera Selatan. Songket dihasilkan dari kerajinan tenun tangan yang mempunyai motif rumit. Teknik tenun songket merupakan perpaduan antara menenun benang emas atau perak dengan bahan sutera.
Sejarah mencatat, songket berasal dari bahasa siam, yakni ‘menyungkit’ atau membuat motif. Kerajinan songket Palembang dipengaruhi budaya Thailand, yang pada saat itu menjadi jajahan Kerajaan Sriwijaya, di sekitar abad ke 7 hingga 11 Masehi.
Motif songket Palembang beraneka macam. Di antaranya, motif Bunga China, Bunga Intan, Nampal Perak, Naga Sarung, Es lilin, Gaya baru, Serampang 12, dan Limar. Sementara ragam motifnya terdiri dari tiga bagian. Yakni, motif tumbuh-tumbuhan, geometris, dan motif campuran keduanya.
Setiap motif memiliki arti atau perlambang hal yang baik. Contohnya bunga cengkih, bunga tanjung, bunga melati, dan bunga mawar. Aromanya yang wangi melambangkan kesucian, keanggunan, rezeki, dan kebaikan dalam menjalankan roda kehidupan.
Tenunan songket merupakan karya seni bernilai tinggi. Bagi sang penenun, songket bukan sekadar kain. Lebih dari itu, songket telah menjadi suatu bentuk seni yang diangkat dari hasil cita dan rasa si penenunnya.
Karena motifnya yang rumit dan bahan bakunya berharga tinggi, songket banyak digunakan oleh kaum berpunya. “Sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, songket menjadi busana bangsawan dan masyarakat kelas atas,” kata Meki Okyasari, Ketua Kelompok Danau Karya Songket Desa Muara Penimbung, Kabupaten Ogan Ilir.
Kini, songket menjadi kerajinan turun-temurun di Palembang. Desa Muara Penimbung adalah salah satu sentra songket di Kabupaten Ogan Ilir, selain Desa Limbangjaya, Tanjungpinang, Tanjunglaut, dan Tanjungdayang. Di desa ini, ada 300 perajin songket. Mereka menjalankan usahanya di rumah masing-masing.
Jika berkunjung ke sentra ini, niscaya Anda akan merasa nyaman berbelanja kain tajung dan songket. Sebab, suasana di desa ini masih asri. Rerimbunan pohon berjejer di sepanjang jalan menuju desa. Nyaris tak ada kebisingan di sana-sini.
Selain bebas memilih motif, Anda bisa menawar harga kepada penenunnya. Satu keunggulan lainnya, Anda bisa langsung melihat cara pengerjaannya. Tapi, jangan lupa, Anda harus menyiapkan kocek yang lumayan tebal untuk membeli kain tajung dan songket.
Menurut Meki, untuk satu kain tajung harga termurahnya Rp 300.000 per helai. Adapun untuk songket ukuran 2 meter Rp 800.000 per helai. “Tergantung tingkat kesulitan dalam membuatnya. Kalau motifnya rumit, bisa selesai dua bulan pakai alat kedukan,” katanya.
Mahalnya harga juga ditentukan oleh kualitas bahan. Harga songket yang termurah, bahan bakunya menggunakan sutera berkualitas rendah. Sebaliknya, jika kualitas suteranya nomor satu, harganya ikut mahal.
Meki menambahkan, untuk songket termahal, harganya bisa mencapai Rp 4 juta per helai. “Warna dan motif songket ikut menentukan harga. Kalau warnanya soft, harganya bisa tinggi. Sebab, penenun harus telaten dalam membuatnya,” tambah Meki.
Zaenabun juga menjual songket termurah ukuran 2 meter seharga Rp 800.000 per helai. “Untuk songket dari bahan sutera dengan benang emas kristal nomor 2, harganya Rp 3,5 juta. Tapi, kalau benang emas kristal nomor 1 harganya bisa Rp 5 juta,” tambahnya.
Terinspirasi Orangtua, Mereka Jadi Pengusaha
Kaum lelaki di Desa Muara Penimbung umumnya bekerja sebagai pandai besi. Dengan alasan membantu penghasilan suami, para ibu rumah tangga di desa ini pun membanting tulang menjadi perajin songket.
Ambil contoh Zaenabun. Wanita berusia 55 tahun yang memiliki tujuh orang anak ini sudah menjadi perajin songket sejak tahun 1969.
Zaenabun mengaku ilmu tenun songket ia dapatkan dari sang ibu. “Orangtua saya dulu juga perajin songket. Tapi, waktu itu masih memakai alat tenun kedukan,” tutur Zaenabun.
Tahun 1970-an, dia mulai mencoba usaha songket sendiri. Untuk lokasi produksi, ia gunakan salah satu ruangan di rumahnya. Awalnya, untuk memproduksi sehelai kain songket, dia menghabiskan waktu sekitar satu bulan. “Saat itu saya bikin motif sendiri, produksi sendiri, dan menjual sendiri,” kata Zaenabun, mengenang.
Meski berat, ia tak mudah patah asa. Dia yakin, suatu saat bisnisnya berkembang. Harapan ini mulai terwujud pada 1985. Saat itu, Departemen Perindustrian memberikan bantuan alat tenun semi modern kepada para perajin songket di Kabupaten Ogan Ilir. Namanya alat tenun bukan mesin (ATBM).
Dengan ATBM, Zaenabun bisa lebih produktif. Dia bisa menenun sehelai kain songket hanya dalam waktu 10 hari. Pelahan tapi pasti, usahanya berkembang.
Kini, Zaenabun mempekerjakan lima orang penenun. Motif songket produksinya pun lebih beragam. “Ada motif kantor, es lilin, gaya baru, serampang 12, dan limar mendi,” tutur dia.
Zaenabun mengaku, dalam sebulan bisa memproduksi dan menjual hingga 5 kodi atau 100 helai kain songket. Ia bisa meraup omzet sekitar Rp 45 juta. “Pendapatan dari 1 kodi Rp 9 juta. Dari omzet itu, labanya sekitar Rp 6,5 juta," tambahnya, seraya menyebutkan sebagian besar pembeli masih berasal dari wilayah Palembang, Jambi, dan Lampung.
Berbeda dengan Zaenabun, Meki Okyasari, Ketua Kelompok Danau Karya Songket, baru menekuni usaha songket sejak 2007. Dia mengaku menggeluti usaha ini karena terinsipirasi oleh sang ibu yang juga seorang penenun songket.
Meki mengaku hanya merogoh modal Rp 3 juta dari hasil tabungannya. Dana ini dia belanjakan kedukan dan bahan baku songket. “Awalnya saya hanya punya perajin dua orang. Hasil produksinya masih dijual ke pasar tradisional di sekitar Palembang,” ujar wanita 22 tahun ini.
Untuk memperluas pasar, Meki aktif mengikuti pameran yang kerap diadakan oleh Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda), Sumatera Selatan. Hasilnya, Dekranasda melirik usahanya. “Saya mendapat bantuan alat tenun," tambahnya.
Setelah mendapat bantuan tersebut, usaha Meki kian maju. Dia pun membentuk kelompok usaha tenun songket di desanya. Kini, perajin binaan Meki mencapai 30 orang. “Mereka mengambil bahan dari saya, mereka tenun, setelah jadi dikembalikan ke saya untuk dipasarkan,” kata bungsu dari enam saudara ini.
Tapi, lantaran masih memakai alat tenun model kedukan, kelompoknya cuma sanggup memproduksi songket 2 kodi per bulan dengan omzet Rp 40 juta. Alhasil, satu perajin bisa mendapat Rp 500.000 - Rp 1 juta per bulan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News