Sumber: Kontan 12/2/2013 | Editor: Havid Vebri
Udang windu merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia. Sebutan lain untuk hewan ini ialah udang harimau karena ukurannya besar.
Jika dibandingkan dengan udang jenis lain, misalnya udang vaname, udang windu lebih disukai karena dagingnya yang gurih serta ukurannya lebih besar.
Pembenihan udang windu sudah masuk ke Indonesia sejak puluhan tahun silam. Selain air payau, udang windu juga bisa dibudidayakan di air tawar.
Hilal Hamdan, salah satu pengusaha udang windu, mengatakan kebanyakan petani membudidayakan udang windu di air tawar. Langkah ini juga untuk mengurangi risiko penyakit pada bibit.
Maklum saja, angka kehidupan untuk binatang dengan nama latin Penaus monodon ini relatif kecil. "Angka kehidupannya bisa mencapai 10%," ujar Hilal.
Hilal mulai membudidayakan udang windu sejak tahun 2000-an di Lamongan, Jawa Timur. Bisa dikatakan, budidaya udang windu merupakan warisan dari kakek neneknya. Ia mengelola kolam seluas sekitar 5 hektare yang dibagi menjadi empat petakan.
Dalam sebulan, Hilal bisa mengantongi omzet minimal Rp 25 juta. Tiap bulan, Hilal menjual sekitar 2 juta ekor bibit udang windu. Sementara, ia mematok harga Rp 40 untuk tiap bibit, baik dalam bentuk benur atau gelondongan yang berukuran 8 milimeter.
Selain bibit, Hilal juga menjual udang windu untuk konsumsi di pasar sekitar Lamongan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Ia juga memasarkan udang windu ke beberapa tempat di Jakarta. Udang windu berukuran 70 gram dibanderol seharga Rp 25.000 per kilogram.
Kata Hilal, meskipun angka kehidupan udang windu kecil, ia masih bisa meraup untung yang relatif besar karena perawatan untuk hewan ini tergolong minim. "Untuk perawatan hanya mengeluarkan Rp 5 juta sebulan," ucapnya. Menurutnya, untung dari jualan benur lebih gurih.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News