Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Havid Vebri
Selain memiliki kekayaan alam berupa pantai-pantai yang indah, Kota Palu di Sulawesi Tengah memiliki kekayaan budaya turun temurun dari leluhur yakni kain tenun donggala. Kerajinan tangan asli masyarakat setempat ini sangat mudah ditemukan hampir di setiap toko oleh-oleh. Kain tenun ini banyak digunakan masyarakat setempat saat melakukan upacara adat atau acara pernikahan.
Pada sepanjang Jalan Mangga itulah, Anda bisa menemukan tidak hanya kain tetapi juga aneka baju yang terbuat dari tenun donggala. Diah Kurniati, salah satu pengusaha tenun donggala di sentra ini mengatakan, konsumennya lebih banyak membeli baju ketimbang masih dalam bentuk kain.
Perempuan berhijab ini membanderol harga jual baju tenun sekitar Rp 160.000 per potong. Sedangkan, untuk harga jual kain tenun di jual mulai dari Rp 350.000 hingga Rp 900.000 per potong.
Dalam sebulan, perempuan yang kerap disapa Diah ini bisa mengantongi omzet sekitar Rp 50 juta. Laba bersih yang bisa dia raih sekitar 25% dari omzet tiap bulan. "Selain diburu orang-orang dari dinas setempat, tidak jarang banyak wisatawan lokal yang membeli sebagai oleh-oleh," kata dia.
Selain menjual baju siap pakai dan kain, sejumlah penjual di sentra ini juga menawarkan jasa jahit kemeja atau jas dari tenun donggala. Salah satunya adalah Slamet Efendi. Laki-laki berkulit gelap ini mematok jasa jahit kemeja seharga Rp 100.000 per potong, sedangkan untuk jasa jahit jas dihargai Rp 350.000 per potong.
Lewat usaha berjualan kain dan menjahit pakaian, Slamet mengaku bisa meraup omzet hingga Rp 25 juta per bulan. "Untungnya lumayan lah, bisa untuk modal balik," kata Slamet. Umumnya para pengusaha kain di sentra ini mempunyai pabrik tenun yang berada di Kelurahan Watusampu, Kabupaten Donggala.
Slamet misalnya, memiliki satu buah pabrik di sana. Untuk memproduksi tenun dia dibantu 30 orang karyawan. Slamet mengaku tidak menemui kendala berarti dalam menjalankan usaha tenun ini.
Maklum saja, dia sudah mengetahui seluk beluk membuat dan berdagang tenun donggala sejak kecil. Setelah dewasa dia pun mewarisi usaha kain donggala dari sang ayah. Slamet bercerita, dulu kendalanya adalah mendapatkan bahan baku.
Sebab, para perajin harus membeli benang dari Jawa atau mengimpor dari India. Waktu pengiriman yang lama menjadi kendala untuk proses produksi. Tapi kini sudah banyak penjual benang di Sulawesi sehingga penyediaan bahan baku tidak mengalami kendala.
Sementara Diah mengeluhkan kesulitan mencari tenaga kerja. Sebab, generasi muda saat ini jarang ada yang berminat jadi penenun. Itu membuat Diah sampai menutup pabriknya. Sehingga kini Diah hanya memesan dari perajin lain atau memesan produk dari Jawa.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News