kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Merajut upaya kreatif demi ekonomi kreatif


Kamis, 19 Februari 2015 / 10:05 WIB
Merajut upaya kreatif demi ekonomi kreatif
ILUSTRASI. Menara BNI Pejompongan, Jakarta Pusat.


Reporter: Lamgiat Siringoringo, Mimi Silvia, Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi

Pekan kedua Februari 2015 merupakan hari-hari sibuk bagi Triawan Munaf. Selain bertemu sejumlah pemangku kepentingan di industri kreatif, Kepala Badan Ekonomi Kreatif (BEK) yang baru dilantik 26 Januari lalu ini harus bolak-balik ke gedung DPR, guna meloloskan anggaran belanja sebesar Rp 1,5 triliun untuk lembaga yang dipimpinnya.

Khusus berbagai program pengembangan ekonomi kreatif, Triawan meminta bujet  sebanyak Rp 1,39 triliun. Dana tersebut akan digunakan untuk mendorong 16 subsektor industri kreatif yang berada di bawah tanggungjawab BEK.

Program yang bakal menjadi fokus BEK, misalnya, akses pembiayaan dan perlindungan atas hak kekayaan intelektual (HKI) di industri kreatif. Di sisi permodalan,  pelaku usaha kreatif di Indonesia masih terpaku dengan skema pembiayaan perbankan. Padahal, berbagai model pembiayaan alternatif, seperti crowd funding, seed capital, dan modal ventura, sudah dikenal di negara kita.

Maklum, sebagian besar dari sekitar 5,42 juta usaha industri kreatif berskala mikro, kecil, dan menengah. Makanya, tak aneh apabila hampir semua subsektor ekonomi kreatif menghadapi masalah sama pembiayaan perbankan. Bunga pinjaman yang tinggi dan pelaku usaha yang tidak bankable di mata bankir menjadi persoalan yang paling mengemuka. Tidak cuma di industri kreatif, tapi hampir di semua sektor usaha.

Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) tadinya menjadi andalan banyak pelaku usaha kreatif yang belum bankable. Namun, program yang diluncurkan sejak 2007 itu dihentikan Pemerintahan Joko Widodo pada 8 Desember 2014. Akibatnya, bunga utang yang harus ditanggung pengusaha membengkak drastis karena rate-nya setara dengan kredit mikro yang selama ini dikutip bank.

Dus, Nefrin Fadlan yang hendak mengajukan pinjaman pada pertengahan Desember 2014 lalu pusing bukan kepalang. “Kalau dulu, misalnya, kredit Rp 1 miliar bayar cicilan Rp 20 juta per bulan. Sekarang cicilannya bisa Rp 24 juta per bulan,” keluh pemilik Bride Series by Nefrin Fadlan ini.

Agar lebih berharga di mata bankir, Triawan bilang, BEK berniat membuat sertifikasi dan standardisasi karya-karya kreatif yang bisa mendapat pinjaman. Meskipun, karya-karya itu punya unsur spekulasi lantaran belum tentu diterima publik. Tapi, “Minimal kita punya standar yang bisa menenangkan peminjam,” ujar ayah dari penyanyi Sherina Munaf ini.

Info saja, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, HKI karya kreatif bisa diagunkan ke bank. Tapi kenyataannya, intangible asset di industri kreatif belum cukup menggoda para bankir untuk mengucurkan kredit ke mereka.

Budyarto Linggowiyono, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Industri Kreatif dan MICE, menyebutkan, selama ini pemerintah sudah berusaha membantu dan melindungi HKI di industri kreatif. Cuma, anggaran untuk itu tidak besar dan tersebar di berbagai kementerian, seperti Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Koperasi dan UKM. “Nanti biar BEK yang mengkoordinasikan untuk perlindungan HKI,” katanya.

Triawan mengatakan, BEK berniat menggandeng Kementerian Hukum dan HAM untuk menjemput bola pendaftaran HKI. Bentuknya, bisa berupa acara di daerah-daerah atau melalui saluran lain seperti jalur online. Nantinya, pelaku usaha kreatif di 16 subsektor bisa mendaftarkan HKI lewat BEK tanpa perlu membayar sepeser pun. Cukup melengkapi persyaratan yang dibutuhkan untuk pengajuan HKI saja.


Lokomotif kreatif

Dari 16 subsektor industri kreatif, Triawan berencana menjadikan film, musik, serta aplikasi dan game developer sebagai lokomotif ekonomi kreatif nasional. Alasannya, sektor-sektor ini bisa ikut mendorong perkembangan subsektor yang lain. “Di dalam film ada kuliner, fashion, musik, dan seni pertunjukan,” terang Triawan.

Dari sisi potensi, Triawan menilai Indonesia punya sumber daya yang cukup untuk mengembangkan industri perfilman. Tengok saja film Laskar Pelangi besutan Miles Films yang mampu menarik perhatian lebih dari 4,6 juta penonton di tengah keterbatasan jumlah layar bioskop di negeri ini.

Film animasi anak Adit & Sopo Jarwo produksi MD Animation juga sukses membetot mata pemirsa TV. Meski tak menyebut angka, Triawan mengklaim jumlah penonton film yang tayang di salah satu televisi swasta itu bisa mengalahkan Upin dan Ipin.

Betul, Indonesia memang bukan India yang punya Bollywood. Juga kalah langkah dari Malaysia yang sukses merayu rumah produksi sekelas Pinewood Studios membangun studio di kawasan ekonomi khusus Iskandar Malaysia, Johor Baru.

Tapi, negara kita memiliki kawasan-kawasan eksotis yang layak menjadi lokasi syuting seperti Raja Ampat. “Tinggal BEK memprofesionalkan pekerja di production services supaya orang mau bikin film di Indonesia,” kata Triawan.

Meski begitu, dari sisi dampak ke pelaku usaha secara keseluruhan, pemilihan ketiga subsektor tadi sebagai lokomotif ekonomi kreatif bisa jadi tidak terlalu signifikan. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, contohnya, 90% dari tenaga kerja di industri kreatif bekerja di usaha kuliner, mode, dan kerajinan. Sementara tenaga kerja di industri film, musik, serta aplikasi dan game developer menyumbang kurang dari 2% terhadap total tenaga kerja kreatif.

Setali dua uang, kontribusinya terhadap ekonomi nasional juga minim. The big three: kuliner, mode, dan kerajinan berkontribusi 75,24% terhadap total produk domestik bruto (PDB) ekonomi kreatif. Adapun calon lokomotif ekonomi kreatif yang digadang BEK, kontribusinya tak sampai 5%. Jadi?    


Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 21-XIX, 2015

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×