Reporter: J. Ani Kristanti | Editor: Tri Adi
Tak semua orang menyangka, kegiatan yang pernah dilakukan pada masa kecil akan tumbuh menjadi passion dalam hidupnya di kemudian hari. Begitu pula dengan Indra Noviansyah. Ia menyadari, usaha pengelolaan sampah yang dilakoninya kini sejatinya adalah panggilan hidupnya.
Tinggal di tepi Sungai Kapuas, Kalimantan, membuat pria asal Pontianak ini akrab dengan permainan air. “Waktu kecil, saya suka berenang dengan teman-teman di sungai,” kata Novint, panggilan akrabnya. Saat berenang itu, Novint kecil sering melihat teman-teman memungut kaleng, botol, dan gelas plastik dari sungai dan menjualnya ke pengepul.
Melihat kegembiraan teman-teman bisa menghasilkan uang sendiri, dia pun tertarik melakukan hal yang sama. “Meski saat itu orangtua melarang, saya senang juga bisa jajan dengan uang sendiri,” kenang anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Zakaria dan Asni Hermawati ini.
Pengalaman masa kecil inilah yang kemudian menggugah minatnya untuk menekuni bisnis pengolahan sampah. Kini, melalui Limbahagia, Novint dan 12 karyawannya mengolah sampah plastik menjadi bijih plastik. Tak hanya di Pontianak, dia juga menawarkan waralaba usaha ini hingga ada 18 mitra yang tersebar di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Selain memasok industri plastik lokal, Limbahagia menjual ratusan ton bijih plastik ini ke China tiap bulan.
Meski masih berusia 26 tahun, Novint punya segudang pengalaman. Maklum, usaha pengolahan sampah ini bukan usaha pertama dan satu-satunya miliknya. Sejak duduk di bangku SMU, dia sudah terpanggil untuk menjadi pengusaha, mengikuti jejak kedua orangtuanya yang memiliki bisnis kontraktor. Dia pun rajin menjaring peluang. Seperti ketika sedang ramai orang berbisnis tokek, dia ikut mencicipinya. “Tokek pertama saya laku Rp 60 juta,” cetus Novint.
Duit penjualan tokek itulah yang kemudian diputarnya. Dia membangun kafe dengan layanan hot spot, satu-satunya di Pontianak. Usahanya berlanjut ke lapangan futsal hingga usaha cuci mobil. Sayang, semua bisnis ini gagal karena ada saja kendala. “Futsal dibongkar karena menyalahi izin, demikian pula cuci mobil karena saya dianggap mengeksploitasi anak-anak,” kisah dia.
Selepas kuliah, dengan uang yang tersisa, Novint pun pergi ke Jakarta. Selain menemui teman lamanya, dia ingin mencari ide bisnis di Ibukota. Hingga akhirnya, seorang teman menitipkan tiga karung sepatu untuk dijual di Pontianak.
Lantas, dia membuka lapak sepatu pada ajang car free day di Pontianak. Tak disangka, sepatu itu laris manis. Dia terus memasok sepatu dari Jakarta. “Bahkan, saya pernah diturunkan oleh kondektur metromini di Jakarta karena bawa banyak barang,” kenang Novint.
Namun, setelah membuka toko sepatu, dia baru sadar, bisnis ini hanya ramai menjelang hari raya. Selebihnya, toko sering sepi. Novint pun memutar otak, memikirkan usaha lain atau barang-barang lain yang bisa dijual di tokonya.
Novint memang sering berkunjung ke Ibukota untuk mencari ide bisnis. Suatu saat, dia tiba di Pelabuhan Sunda Kelapa dan melihat aktivitas bongkar muat sepeda fixie di sana.
Iseng, Novint memotretnya dan memasangnya sebagai foto profil BlackBerry Messenger. Tak disangka, foto itu justru mendatangkan bisnis sepeda fixie untuknya. Tak mau melewatkan kesempatan, Novint segera mengejar info pemilik sepeda fixie ke sopir truk pengangkutnya. “Saya sampai ikut menumpang truk itu untuk menemui bosnya di Asem Reges,” kata Novint.
Novint menuai sukses dari bisnis sepeda fixie dan sepeda lipat. Dalam waktu 6 bulan, dia berhasil menjual 243 unit sepeda dengan omzet Rp 600 juta.
Kelola sampah
Siapa yang tak senang bisa mengantongi uang banyak dalam waktu singkat? Novint muda pun merasakan kepuasan berbisnis sepeda. Novint lalu bersikap royal dengan membelanjakan uangnya tanpa perencanaan. “Saya sewa apartemen mahal, naik taksi premium setiap kali ke Jakarta, gampang traktir karyawan. Pokoknya foya-foya, deh!” ujar dia.
Tanpa disadari, hanya dalam hitungan bulan, tabungannya menipis. Saat sisa tabungan mencapai Rp 100 juta, alarm pun segera berbunyi. “Saya baru sadar, uang saya habis tanpa ada hasil nyatanya,” kata dia.
Tak ingin sisa duitnya menguap lagi, Novint pun segera berpikir untuk berinvestasi pada usaha baru, sementara bisnis sepatu dan sepedanya tetap berjalan. Saat itulah, terlintas dalam benaknya untuk menggeluti bisnis pengelolaan sampah.
Dia pun kembali ke Jakarta, untuk menggali ilmu pada pengusaha pengolahan sampah. Namun, setibanya di Pontianak, Novint tak langsung mempraktikkan ilmunya karena belum punya lahan untuk pabrik pengolahan. Dia menjadi pengumpul sampah terlebih dulu dan memasoknya ke pengolah sembari mempelajari bisnis ini.
Sebagai pengumpul sampah, dia menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, seperti dengan sekolah, pengelola hotel dan restoran, serta kompleks perumahan. “Saya beli sampah dari hotel, lalu saya jual ke pabrik,” ujar dia.
Setelah memiliki lahan sendiri dan membeli sejumlah mesin, Novint memulai pabrik pengolahannya pada 2012. Perlahan-lahan dari kapasitas 1 ton, kini pabriknya punya pengolahan sampah plastik hingga 50 ton. Setelah melihat besarnya permintaan, terutama dari China, dia pun membuka waralaba.
Novint pun memberi jaminan untuk membeli bijih plastik yang dihasilkan dari pabrik mitra. Harga jual bijih plastik ini berkisar Rp 9.000–Rp 14.000 per kilogram, tergantung jenisnya. Selain di Pontianak, dalam waktu dekat, Novint juga akan membangun pabrik pengolahan sampahnya di China.
Bikin aplikasi bank sampah
Indra Noviansyah adalah pribadi yang ulet. Sejak muda, dia memang sudah bercita-cita punya usaha sendiri, seperti orangtuanya yang memiliki usaha kontraktor sipil.
Dia mengaku mewarisi semangat dan kerja keras orangtuanya. Dia bilang, meski sebagai pemilik usaha, ayahnya tak segan untuk turun langsung ke lapangan. “Saat bikin jembatan, ayah saya sampai menyelam ke dasar sungai untuk melihat kondisi proyek,” ujar dia. Sementara, ibunya giat melakukan lobi-lobi dengan klien.
Tapi, anak muda yang akrab disapa Novint ini tak ingin hanya menjadi penerus usaha orangtua. Dia sendiri lihai dan sigap setiap melihat peluang bisnis. Dia terus menjajaki bisnis baru yang menurutnya punya potensi di masa depan.
Untuk mendukung bisnis pengelolaan sampahnya, Novint pun membuat aplikasi bank sampah. Lewat aplikasi ini, dia ingin masyarakat dengan mudah mengirimkan sampah ke perusahaannya atau perusahaan mitra. “Jadi, kami tinggal jemput sampah tersebut,” kata Novint.
Penjualan sampah itu nanti ditukarkan dengan vocer untuk pembelian barang atau lainnya. Dus, Novint juga berencana untuk membangun bisnis e-commerce.
Bukan cuma sampah plastik, pria yang telah menempuh program Master Sosial Entrepreneur Universitas Trisakti ini akan mengembangkan bisnis pengolahan sampahnya. Bukan cuma sampah plastik, kini, Limbahagia juga mengolah limbah bungkil sawit. “Tapi, untuk proyek ini kami bekerjasama dengan investor lain,” kata Novint. Selanjutnya, Novint juga akan mengolah jenis sampah lain. “Pokoknya, semua sampah ada nilai jualnya,” ujar dia. Dia pun mengumpulkan sampah organik untuk diolah menjadi pupuk dan pakan hewan dan sampah kertas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News