Reporter: J. Ani Kristanti | Editor: Tri Adi
Boleh jadi, senyum Nur Handiah akan selalu mengembang bila melihat ramainya kunjungan di showroom miliknya. Pasalnya, dulu, Nur sempat memendam kecewa lantaran produk kerajinan kulit kerangnya kurang mendapat respons baik saat memajangnya di sejumlah pusat belanja Ibukota.
Namun, kini, semua berbalik. Showroom yang sering disebut sebagai rumah kerang, kerap kedatangan ibu-ibu pejabat hingga artis Ibukota. Pengunjung pun terus berdatangan seiring makin beragamnya kerajinan kulit kerang produksi CV Multi Dimensi. “Bahkan, rumah kerang menjadi salah satu destinasi wisata di Cirebon,” kata perempuan 54 tahun ini.
Akan tetapi, sebelum akrab di pasar lokal, kerajinan kulit kerang ini telah dikenal luas di pasar ekspor. Nur sudah mengirim produknya ke berbagai belahan dunia, seperti Amerika, Eropa dan Asia. “Awalnya, produk kami justru mendapat respons baik di luar negeri,” kenang istri Jaime Taguba ini.
Nur mengawali usaha kerajinan kulit kerang ini sekitar tahun 2000. Saat itu, dia, yang masih menyandang status Pegawai Negeri Sipil, melihat peluang kerajinan kulit kerang ini cukup bagus. Maklum, sebelumnya, Nur dan sang suami sempat menjalani usaha sebagai pemasok kulit kerang. Dia mengirim kulit kerang itu ke Filipina dan Hongkong.
Tekad Nur untuk terjun usaha ini makin bulat setelah melihat banyak pengangguran akibat krisis moneter di sekitar tempat tinggalnya. Apalagi, krismon juga berdampak pada bisnis suaminya sebagai kontraktor. “Padahal, saya tak punya ketrampilan apa pun pada kerajinan ini,” cerita Nur.
Lantas, Nur pun mempelajari berbagai hal tentang kulit kerang, termasuk cara pembuatan berbagai kerajinan kulit kerang ini secara otodidak. Satu per satu kreasi pun berhasil dibuatnya, seperti lampu gantung, kotak tisu, vas bunga, cermin, hingga kaligrafi.
Lantaran respons pasar lokal kurang baik pada awal usahanya, Nur fokus pada pengembangan pasar ekspor. Pada perjalanannya, dia pun banyak belajar soal desain dari pasar. “Kami suka mencermati apa yang berkembang di pasar,” kata dia. Ambil contoh, saat kerajinan fiberglass sedang tren, dia pun coba aplikasikan kerang dengan bahan tersebut. Begitu pula saat desain minimalis booming, Nur ikut meluncurkan desain minimalis.
Soal desain, Nur mengaku banyak belajar dari para buyer dan pelaku bisnis. Sebab, seringkali buyer juga mengirimkan desainer untuk konsultasi. “Mereka punya rancangan, tapi tak paham soal kerang. Sebaliknya, kami paham kerang tapi desain belum tentu bisa masuk ke pasar mereka,” jelas Nur. Dia pun menganggap, ketika buyer menyetujui kreasinya, artinya Nur sudah lulus atas suatu desain. “Kami benar-benar learning by doing,” ungkap dia.
Latih karyawan
Meski bakat desainnya semakin terasah dari waktu ke waktu, Nur mengakui, menjalani bisnis ini tak mudah. “Saya melakoninya pelan-pelan, seperti mengasuh, sabar dan telaten,” ungkap dia.
Maklum, tak ada tenaga kerja yang siap pakai di bidang ini. Bersama suami, dia harus mengajarkan sendiri berbagai keterampilan untuk menghasilkan kerajinan kulit kerang ini, mulai dari menggunting kerang, menempel, merangkai, mencetak dan lainnya. “Karena semua proses ini dikerjakan dengan tangan,” kata Nur, yang kini mempekerjakan 300 karyawan tetap di pabriknya dan 200 karyawan lepas.
Tak hanya soal mengasah keterampilan para karyawan, mencari pasokan kulit kerang juga bukan perkara gampang. Memang potensi laut Indonesia kaya, namun masih banyak masyakarat tak menyadari nilai jual pada kulit kerang. Alhasil, mereka membiarkan saja hamparan kulit kerang di pantai.
Kebutuhan kulit kerang untuk memproduksi kerajinan ini cukup banyak. Pasokannya juga harus terjamin untuk bisa memenuhi pesanan. Selain pasokan, harga juga harus diperhatikan. “Pernah sebelum pameran harganya Rp 5.000 per kg, setelah ada banyak pesanan harganya sudah naik menjadi Rp 13.000 per kg,” kata Nur.
Nur pun ikut memburu kulit kerang ke berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan, Nur dan Jaime pernah datang ke Pulau Sembilan, Sumatera Utara, setelah mendengar banyak kulit kerang terhampar di pantai. Lantas, dia mengedukasi masyarakat di pesisir pantai untuk mengumpulkan dan mengolah kulit kerang tersebut.
Selain karyawan dan pasokan kulit kerang, hal lain yang harus dipelajari Nur adalah soal berbisnis dengan para buyer. Dia terus memasang telinga untuk mengetahui informasi soal risiko transaksi dengan buyer. Dus, dalam setiap order, Nur menerapkan sejumlah kebijakan, seperti menahan dokumen pengiriman barang sebelum ada pembayaran lunas. Termasuk bila ada keluhan soal kerusakan barang saat pengiriman, seperti pecah atau retak. Nur bilang, pernah tertipu oleh klien. Hanya satu barang yang rusak, namun mereka mengeluh untuk beberapa barang karena foto diambil dari sudut yang berbeda. Jika ada kejadian seperti itu, Nur akan meminta pengambilan gambar terhadap produk yang rusak dilakukan bersamaan. “Setelah kami hati-hati, ya, tidak dicoba-coba lagi,” ujar dia.
Berbagai pengalaman memang menempanya menjadi pengusaha matang dan punya daya tawar yang baik di hadapan klien. Dia menetapkan minimal order untuk setiap desain baru. Sebab, ada juga konsumen nakal, karena ternyata hanya memesan barang untuk contoh (sample) dan kemudian order ke perusahaan lain.
Seiring dengan berkembangnya perusahaan, ribuan desain pun sudah diluncurkannya. Nur juga memperluas pabriknya. Dari pabrik seluas 1.100 m2, kini luasan pabrik telah mencapai 10.000 m2. Setiap bulan, pengiriman ke luar negeri pun mencapai 4-5 kontainer dengan nilai mencapai belasan miliar rupiah setiap tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News