Reporter: Gloria Natalia | Editor: Tri Adi
Di pojok Bengkel Gong, Sukarna tengah menyelaraskan nada saron bersama dua pegawainya. Setelah menabuh lembaran logam saron, ia berkonsentrasi mendengar suara yang mengalun dari lempeng tembaga itu.
Kemudian, Sukarna berbicara dengan dua pegawainya dengan bahasa Sunda. Berkali-kali, ia melakukan hal yang sama.
Lelaki 86 tahun ini adalah satu-satunya perajin gamelan di Jawa Barat. Ia merupakan generasi keenam perajin gamelan yang sudah menghasilkan ratusan gamelan di Jalan Pancasan, Bogor.
Sukarna belajar membuat gamelan dari sang ayah Jupri. Lalu, saya membuat rumah ini di atas kebun yang dulunya dijadikan bengkel produksi," tutur dia.
Ia kerap menerima pesanan pembuatan gamelan atau gong dari instansi pemerintah, sekolah maupun individu. Pesanan dari luar negeri, seperti Amerika Serikat pun sering berdatangan.
Dalam seminggu, minimal satu pesanan menghampiri Bengkel Gong. Ketika KONTAN bertandang ke sana akhir pekan lalu, Sukarna sedang mengerjakan pesanan gamelan dari SMUN 1 Bogor dan gong yang dipesan oleh Gubernur Riau.
Satu set gamelan degung yang terdiri dari gong, 14 bonang, 14 saron, enam gombong, kempur, dan suling dijual seharga Rp 38 juta. Harga gamelan bisa lebih mahal tergantung permintaan pemesan. "Pernah ada pesanan dari Gubernur Lampung seharga Rp 80 juta. Saya kerjakan selama empat bulan," kata Sukarna.
Dengan dibantu sembilan perajin lainnya, dalam sebulan, Bengkel Gong mampu mengerjakan dua set gamelan. Sedangkan, sebuah gong dengan berat 20 kilogram (kg) dapat rampung dalam waktu tiga hari.
Pembuatan gamelan membutuhkan bahan baku timah dan tembaga. Timah, ia dapat dari Bogor seharga Rp 136.000 per kg. Tembaga rongsok, dia peroleh dari toko-toko dinamo di sekitar Jalan Pancasan seharga Rp 75.000 setiap kg.
Butuh ketekunan
Sukarna membutuhkan tembaga dan timah dengan perbandingan 3:1 untuk membuat gong. Campuran tembaga dan timah dilebur di tungku selama hampir tiga jam. Lantas, dicetak sesuai ukuran pemesan.
Biasanya, diameter gong 50 hingga 60 cm. Bila sudah dicetak, berlanjut ke proses pembakaran dan kemudian ditempa. Dua proses terakhir ini dilakukan berulang kali. Lalu, gong kehitaman itu digerinda, diamplas, dan dikilapkan agar menghasilkan warna emas.
Menurut Sukarna, gamelan yang dihasilkannya berbeda dengan gamelan dari Jawa Tengah. "Ukiran di sana lebih halus. Sedang saya mengukir seadanya. Kebanyakan ukiran bunga," katanya.
Di masa mendatang, ia ingin mewariskan kemampuan membuat gamelan kepada anaknya. "Anak laki-laki saya suka membantu, walau belum banyak," kata Sukarna. Ia bilang, belajar membuat gamelan butuh ketekunan selama bertahun-tahun.
Perajin gamelan lain di Surakarta Jawa Tengah, Iwan Andri Wimasa mengatakan bagi orang-orang yang tidak punya garis keturunan sebagai perajin gamelan bakal kesulitan membuat alat musik ini. Sebab, pembuat gamelan harus memiliki kepekaan jiwa yang tinggi.
Kepekaan ini muncul dari melihat, mengamati, dan merasakan cara membuat gamelan setiap hari sejak kecil. "Kawan saya dari Jepang belajar membuat gamelan ke saya setahun. Sampai di Jepang ia coba memproduksi gamelan tapi selalu gagal," ungkap pria berusia 30 tahun itu.
Ia belajar membuat gamelan sejak usia 14 tahun. Keahlian ini dia dapat dari ayahnya, Panggiyo Resowiguno, pembuat gamelan yang juga dosen jurusan Karawitan di Institut Seni Indonesia Surakarta. Panggiyo berguru dari ayahnya, Sudakir Resowiguno.
Ilmu membuat gamelan pun disebarkannya ke para mahasiswa. Wimasa semakin paham cara membuat gamelan saat ikut ayahnya mengajar. Pada 1999, Wimasa memegang kendali usaha ayahnya, Wimasa Gong.
Dibantu 25 pegawai, Wimasa dapat merampungkan satu set gamelan selama 2,5 bulan. Satu set gamelan terdiri dari gong besar, dua gong suan, kempul, kenong, bonang barong, bonang panerus, gendang, gender, saron denung, saron barong, saron panerus, slentem, gambang, ketuk kempyang, siter, serta rebab.
Dalam sebulan, Wimasa bisa memperoleh pesanan hingga dua set gamelan. Pembelinya datang dari universitas dan sekolah di Malaysia. Dari dalam negeri, pesanan dari beberapa sekolah tinggi di Bandung serta perorangan asal Jakarta dan Surabaya.
Wimasa menjual satu set gamelan kualitas super seharga Rp 350 juta. Lalu, kelas pertama berharga Rp 250 juta, kelas kedua Rp 175 juta hingga 180 juta, dan kelas ketiga Rp 150 juta.
Gamelan super lebih lengkap perangkatnya, berukuran besar, dan memakai kayu jati tua sebagai wadah gamelan. "Ukiran pun lebih banyak ragam dan lebih halus," kata Wimasa. Kelas di bawahnya memakai kayu akasia.
--------------------------------------------------------------------------------------------
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News