Reporter: Fransiska Firlana | Editor: Tri Adi
Investasi yang dibutuhkan untuk membuka usaha produksi tutup galon tergolong besar. Adapun margin keuntungannya tak lebih dari 20%. Meski potensi pasarnya besar, perlu cermat berhitung agar usaha ini tidak gulung tikar.
Bagi konsumen air mineral, tutup galon dianggap sebagai barang remeh yang kegunaannya hanya sesaat. Setelah membeli galon air mineral, konsumen pasti bakal segera membuang tutup galon itu. Tapi, bagi pengusaha depot air mineral isi ulang, keberadaan tutup galon sangat penting.
Sejak beberapa tahun terakhir, depot air mineral isi ulang memang kian menjamur. Kondisi ini seiring dengan makin sulitnya mendapatkan air bersih yang layak dikonsumsi di kota-kota besar. Alhasil, masyarakat memilih untuk membeli air mineral isi ulang.
Selain itu, dengan alasan kepraktisan, kebutuhan terhadap air mineral isi ulang pun makin berkembang. Lihat saja, depot air mineral isi ulang kian menjamur, tak hanya di pusat kota, tapi hingga ke daerah-daerah.
Nah, menjamurnya depot air mineral isi ulang ini tentu mengerek kebutuhan terhadap tutup galon. Dibandingkan dengan perlengkapan pendukung isi ulang air mineral, seperti galon, tisu, atau filter, tutup galon harus ada dan paling cepat diganti. Berbeda dengan tisu pembersih galon, yang keberadaannya bisa digantikan oleh lap basah. Botol galon termasuk barang yang awet dan tidak harus diganti setiap pengisian ulang air mineral. Berbeda dengan tutup galon yang selalu harus diganti setiap isi ulang.
Potensi bisnis inilah yang dilirik oleh Amelia Maran, pemilik pabrik Tutup Galon Jakarta. Setelah merintis selama lima tahun, usaha ini makin berkembang hingga memiliki tiga pabrik sekarang. Dari tiga pabrik tersebut, dia memproduksi sekitar lebih dari 10 juta tutup galon saban bulan. "Permintaan cukup tinggi, satu agen saja sekali order bisa 300.000 unit. Kami sudah memiliki pelanggan beberapa agen," katanya. Amelia menjual tutup galon produksinya seharga Rp 75.000 per 1.000 tutup. Dengan begitu, dia berhasil mencatatkan margin keuntungan antara 17% sampai 19%.
Peluang bisnis ini pula yang mendorong Rully Martono mendirikan usaha Reli Plastisindo. Rully baru mendirikan usaha ini pada Februari tahun lalu. Pertimbangannya, potensi bisnis tutup galon di tempat tinggalnya, yakni di Bangka Belitung, berprospek cerah. Jumlah depot air mineral semakin banyak. "Di satu desa saja bisa ada dua depot," katanya.
Tak hanya memasok kebutuhan di Bangka Belitung, pelanggan Rully sudah tersebar di Sumatra. Dalam sebulan, dia mampu memproduksi tiga juta sampai lima juta tutup galon. Harga jualnya sekitar Rp 85 per tutup galon.
Semua produknya dapat terserap pasar karena Rully memproduksi tutup galon sesuai pesanan pelanggan. Bila produk sesuai keinginan pelanggan maka harga yang diberlakukan juga berbeda. Rully mengaku dapat mengantongi omzet Rp 400 juta sampai Rp 500 juta per bulan. Hitungannya, dia bakal balik modal dalam waktu dua tahun.
Untuk memulai usaha ini memang tidak perlu keahlian khusus yang dipelajari secara formal. Berdasarkan pengalaman Amelia dan Rully, pengelolaan bisnis tutup galon ini dapat dipelajari secara autodidak. "Memang butuh waktu untuk belajarnya sehingga dapat menciptakan produk yang berkualitas," kata Amelia, yang mengklaim pernah mengikuti pelatihan pembuatan tutup galon di Vietnam. Maklum, produk ini untuk kemasan barang konsumsi sehingga harus memperhatikan faktor keamanan.
Adapun, Rully membutuhkan waktu tiga tahun untuk mempelajari seputar pembuatan tutup galon. Dia harus mempelajari mulai dari mengenal aneka mesin produksi, membandingkan kualitas bahan baku, mempelajari proses pembuatan, hingga strategi pemasaran.
Sang pemilik memang harus menguasai alur proses produksi usaha ini. Apalagi, prosesnya terkait dengan penggunaan mesin produksi yang berharga mahal. Kalau sudah menguasai mulai dari proses pra-produksi, produksi, sampai pasca-produksi, maka pemilik usaha ini bisa melatih para karyawan. "Tak membutuhkan karyawan lulusan tertentu atau keahlian tertentu. Asal mau kerja dan belajar, bisa kok," ujar Amelia.
Sebagai pemula di usaha ini, dengan jumlah mesin yang terbatas, Rully hanya mempekerjakan tiga orang karyawan. Sementara itu, Amelia memiliki 60 karyawan yang bekerja di tiga pabriknya. Ia menggaji karyawannya dengan gaji berdasarkan upah minimum provinsi (UMP), yaitu sekitar Rp 2,2 juta per orang.
Investasi besar
Untuk menjajal bisnis ini memang dibutuhkan modal yang cukup besar. Untuk skala bisnis milik Amelia Maran, modal yang disiapkannya sekitar Rp 30 miliar. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 15 miliar dialokasikan untuk membeli lahan seluas 3.000 meter persegi di Jakarta sekaligus menegakkan bangunan pabrik. Lahan yang luas untuk menampung banyak mesin dan gudang penyimpanan.
Sisanya untuk membeli aneka mesin, bahan baku, perlengkapan dan peralatan produksi, alat tulis kantor, kendaraan transportasi, dan dana cadangan.
Mesin yang dimiliki Amelia terdiri atas mesin cetak, mesin giling, mesin blower, mesin sortir, mesin pelet, serta bahan. "Saya memproduksi dari hulu sampai hilir, dari menggiling plastik sampai mencetaknya," imbuh dia.
Untuk membeli mesin cetak, Amelia harus mengucurkan uang Rp 400 juta. Kapasitas produksi mesin tersebut bervariasi. Paling kecil memproduksi 50.000 tutup galon per hari.
Bila modal Anda tergolong minim, mungkin bisa mempertimbangkan perhitungan modal usaha Rully. Ia mengawali bisnis ini dengan membeli satu mesin bekas seharga Rp 200 juta. Lalu, dana Rp 200 juta untuk membeli peralatan & perlengkapan, bahan baku, dan alat transportasi. Adapun, kebutuhan lahannya cuma sekitar 500 meter persegi. "Untuk menempatkan satu mesin saja dibutuhkan ukuran 5 meter kali 5 meter," imbuhnya. Bahkan, kalau dana pas-pasan untuk membeli lahan, Anda bisa juga menyewa lahan. Kemudian, baru membangun pabrik sendiri.
Mesin produksi tutup galon biasanya buatan China dan Jepang. Namun, Anda bisa memperolehnya dari distributor lokal di dalam negeri. Selain pengadaan mesin dan menjaga kelancaran proses produksi, Anda juga perlu memperhatikan strategi pemasaran tutup galon tersebut. Anda bisa langsung mendatangi agen distributor atau depot air mineral isi ulang. Di sana, Anda sekaligus dapat mempresentasikan kualitas produk tersebut.
Selanjutnya, Anda bisa memanfaatkan media online untuk mempromosikan produk. Cara ini efektif untuk menjangkau pelanggan yang lebih luas. "Sejak promosi secara online, pesanan bahkan datang dari India dan Kuwait," kata Amelia.
Di sisi lain, pengusaha tutup galon juga perlu memperhatikan biaya operasional. Ongkos paling besar adalah membayar pemakaian listrik.
Amelia mencontohkan, biaya listrik untuk mengoperasikan tujuh mesin utama pada tiga pabrik yang dimilikinya mencapai Rp 250 juta per bulan. Satu mesin utama ini bisa menghabiskan biaya listrik Rp 20 juta. "Memang besar sekali biaya listriknya karena mesin nyala full 24 jam," katanya.
Selain itu, kapasitas mesin yang dimiliki Amelia cukup besar. Belum lagi kebutuhan daya untuk mesin-mesin pendukungnya, seperti mesin giling, mesin blower, sortir, dan mesin pelet.
Tak lupa, Amelia harus mengeluarkan duit Rp 132 juta saban bulan untuk menggaji 60 karyawannya. Ada pula biaya perawatan mesin dan ongkos transportasi.
Perlu modal besar
Potensi bisnis usaha ini memang besar dan menarik. Namun, mengingat modal yang harus disiapkan juga jumbo, ada beberapa hal yang harus diperhitungkan secara cermat. Tak cukup hanya menyediakan modal besar, Anda harus rajin membuka jaringan pasar yang luas agar usaha ini makin berkembang.
"Bisnis ini butuh kesabaran. Saya menyiapkan pabrik tutup galon sampai bisa memiliki aset dan dikenal pelanggan seperti sekarang ini membutuhkan waktu sekitar lima tahun," kata Amelia.
Tak heran, banyak juga produsen tutup galon yang gulung tikar gara-gara masalah modal. Biasanya, modal yang disediakan pas-pasan dan tidak ada dana cadangan.
Selain itu, kualitas produk yang sering diabaikan akan membuat pelanggan kapok. Ujung-ujungnya, pelanggan pindah ke lain hati dan omzet tergerus.
Nasib seperti itulah yang dialami oleh Arsally Sukresno, produsen tutup galon di Jakarta. Ia terpaksa menutup usahanya sejak pertengahan tahun lalu. Pasalnya, "Nilai investasinya tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh," katanya. Dia mencontohkan, untuk investasi mesin injeksi bekas minimal harus merogoh kocek
Rp 200 juta. Nilainya tidak sebanding dengan harga jual tutup galon yang di bawah Rp 100.
Pelaku usaha ini juga harus menghadapi persaingan usaha yang sengit sehingga memicu perang harga. Alhasil margin keuntungannya menipis. Di pasaran, tutup galon dihargai Rp 75 sampai Rp 78 per unit. Bila belum memiliki jaringan pasar yang kuat, pelaku usaha ini terpaksa menjual dengan harga lebih rendah.
Selain soal harga, persaingan juga terjadi untuk mendapatkan bahan baku. "Saya membutuhkan bahan baku yang memang memiliki kualitas yang bagus. Paling tidak berupa tutup galon bekas dari merek ternama," tandas Arsally. Masalahnya, untuk mendapatkan barang berkualitas itu tidaklah mudah. Namun, selama perjalanan karier bisnisnya, Amelia sudah mendapatkan jaringan distributor tutup galon bekas.
Hal ini juga diakui oleh Rully. Meski sudah banyak pelaku usaha yang gulung tikar usaha, bisnis produsen tutup galon ini tetap menjanjikan. "Kami harus bersaing dengan pemain lain untuk mendapatkan bahan baku. Tapi sejauh ini kebutuhan bahan baku terpenuhi dari Bangka Belitung," imbuhnya.
Untuk mencari bahan baku, Anda bisa melongok dunia maya. Di sana, bertebaran para pemasok tutup galon bekas yang memberikan penawaran.
Di sisi lain, Amelia mengingatkan, usaha ini rentan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik. "Terkait dengan BBM, bahan baku sempat naik karena ongkos pengirimannya juga naik," katanya.
Selain itu, mesin produksi tidak harus menyala terus. Alhasil, biaya listrik semakin besar. Nah, biaya operasional pasti membengkak kalau tarif listrik naik.
Jadi, sebelum memutuskan untuk membuka usaha produsen tutup galon ini, sebaiknya Anda berhitung secara cermat. Bukan hanya menyediakan modal, tetapi juga memikirkan kualitas produk dan strategi jaringan pemasarannya. o
Tutup botol metal pun layak dilirik
Selain usaha tutup botol galon air mineral isi ulang, yang tak kalah menarik adalah produksi tutup botol kecap, cuka, selai, jus, atau madu. Usaha ini menjanjikan karena peminatnya tinggi. Apalagi, industri rumahan semakin berkembang saat ini. Aneka olahan pangan dalam kemasan botol semakin menjamur.
Misalnya Yevida yang baru enam bulan ini merintis usaha susu almond dan permen berbahan sama. "Selain menarik, kami mencari kemasan yang baik botol atau tutupnya juga harus aman karena ini untuk konsumsi," ujar Yevida, pemilik usaha susu dan permen almond bermerek Mettamilk ini.
Usaha tutup botol untuk jenis ini memang tidak bisa berdiri sendiri. Artinya, Anda harus menyandingkan produksi tutup botol ini sekaligus dengan memproduksi botolnya. Maklum, untuk botol kemasan minuman atau bahan makanan biasanya tak bisa dijual terpisah. Cara ini tentu juga bakal menambah pendapatan Anda.
Seperti yang dilakoni oleh Omiliyah, pemilik UD Inti Jaya Sakti di Serpong, Banten. Selain tutup botol, dia memproduksi aneka botol kemasan.
"Kalau ada sisa bahan baku setelah produksi, bisa kami buat gulungan benang. Jadi tak terbuang," kata Omilia atau yang akrab disapa Lia ini.
Ia menambahkan, bisnis tersebut menyasar pelaku usaha rumahan. Pertimbangannya adalah kapasitas produksinya terbatas. Selain itu, segmen pasar pelaku usaha rumahan ini melakukan pembelian secara tunai, bukan cicilan seperti pabrik. "Minimum order untuk tutup botol saat ini 10.000 biji," katanya. Adapun harganya bervariasi yaitu Rp 75, Rp 100, hingga Rp 250 per unit yang tergantung dari bentuknya.
Saat ini yang paling banyak dicari adalah jenis tutup botol kecap yang berbentuk flip top. Dalam sebulan, Lia menjual ratusan ribu tutup botol.
Sementara itu, besaran kebutuhan dana investasinya hampir sama dengan usaha tutup galon. Begitu pula dengan kebutuhan dan alokasi dana untuk tenaga kerja.
Di sisi lain, biaya promosi usaha ini bisa fleksibel. Lia bilang, awalnya tidak memakai promosi sama sekali. Dia hanya mengandalkan promosi dari mulut ke mulut.
Nah, sejak tahun 2011, Lia menjajal memasang iklan online demi menjangkau pasar yang lebih luas. "Harus sabar, soalnya penawaran dari pemain lain juga banyak. Jadi iklan online pun tidak bisa langsung dapat pelanggan," katanya.
Setidaknya, dia harus menunggu empat bulan untuk mendapat respons dari calon pelanggan. Itu pun tak langsung memesan. Ada yang sekadar mencari info atau membandingkan harga. Setelah itu, pesanan baru mulai datang, baik dari Jabodetabek, Sumatra, dan Jawa Timur.
Oh, iya, penurunan rupiah turut memukul bisnis ini. Bahan baku diimpor sehingga belinya pakai dollar," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News