Reporter: Ragil Nugroho, Fahriyadi | Editor: Tri Adi
Indonesia memiliki banyak ragam jenis batik. Salah satunya adalah batik khas Yogyakarta yang dikenal dengan nama batik tulis Giriloyo. Dengan mengandalkan ilmu yang diperoleh turun temurun, batik Giriloyo mampu menembus pasar. Alhasil, para pembatik di sana bisa memperoleh omzet hingga Rp 35 juta per bulan.
Budaya membatik sudah lama menjadi seni tradisional di seantero Nusantara. Banyak ragam batik di Tanah Air. Mulai batik yogyakarta dan solo yang legendaris, hingga batik cirebon, batik pekalongan, batik madura, bahkan ada batik papua. Karena itu tak perlu heran kalau UNESCO menempatkan batik sebagai salah satu warisan budaya dunia.
Batik memang unik. Seni batik tak sekadar seni dress painting. Lihat saja motif pada batik yang menggambarkan aneka kehidupan manusia. Mulai batik bermotif pemandangan alam hingga motif-motif klasik lainnya.
Nah, salah satu seni membatik yang mulai dicari khalayak adalah batik tulis giriloyo. Sejatinya, batik ini masih berada dalam aliran utama seni batik yogyakarta. Sama seperti batik yogyakarta, batik giriloyo juga mengusung motif-motif parang, panji, sidoasih, keongrenteng, sidomukti, motif bunga, satwa dan lain sebagainya. "Secara keseluruhan batik giriloyo memiliki seratusan motif," ujar Subagyo, pemilik Batik Giri Indah, di Yogyakarta.
Motif-motif batik giriloyo itu tak pernah berubah sejak berabad-abad yang lalu. Para pembatiknya pun mewarisi keahlian membatik secara turun temurun. Demikian juga untuk pembuatan pola batik, hanya bisa dikerjakan oleh orang-orang tertentu. Si pembatik, yang seluruhnya perempuan, tinggal mengikuti pola yang ditentukan tersebut.
Karena motifnya yang khas, batik giriloyo pun punya banyak peminat. Bahkan setelah batik kembali ngetren belakangan ini, batik giriloyo makin dicari pembeli. Lihat saja, dari produksi batik giriloyo ini, Subagyo bisa memperoleh omzet hingga Rp 35 juta per bulan dengan margin sekitar 20%. "Saya menjual dengan harga Rp 300.000 hingga Rp 2 juta per lembar," ujar pria yang menekuni pembuatan batik ini sejak 1992.
Sekadar pengetahuan, satu lembar batik tulis lazimnya berukuran 2,5 meter persegi. Subagyo sendiri menjual batik hingga ke Jakarta, Semarang, Bandung, Medan, dan Makassar.
Untuk menyelesaikan satu motif batik biasanya memerlukan waktu antara satu hingga tiga hari. Saat ini, Subagyo mempekerjakan 15 perajin batik.
Pelaku usaha batik giriloyo lainnya adalah Imaroh, pemilik Batik Sri Kuncoro di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Imaroh menggeluti usaha batik ini sejak lebih 20 tahun lalu. Usaha batik yang kini dijalankan Imaroh itu adalah warisan yang sudah berjalan sejak beradab-abad lalu. "Usaha ini telah turu- temurun dijalankan oleh keluarga kami," jelasnya.
Menurut Imaroh, peminat batik berciri khas motif keraton Yogyakarta ini cukup besar. "Hasil produksi kami biasanya dikirimkan ke Jakarta dan Bali untuk kemudian dijual kepada para wisatawan asing maupun pelancong domestik yang mengagumi batik," tutur perempuan 42 tahun ini.
Imaroh menambahkan, batik giriloyo memiliki karakteristik yang khas dan unik ketimbang batik lainnya yaitu corak atau motif yang rumit namun bernuansa klasik. "Motif dan corak itu menggambarkan suasana abad 17, saat batik ini mulai diperkenalkan," ujarnya.
Batik produksi Imaroh dijual ke konsumen dengan harga di kisaran Rp 200.000 hingga Rp 1 juta untuk batik dari bahan kain katun. Sedangkan untuk batik dari bahan dasar kain sutra, Imaroh melepasnya di atas Rp 1 juta per helai.
Meski batik sutra lebih berkesan mewah, namun pelanggan Imaroh lebih menyukai batik berbahan katun. Itulah sebabnya, produksi batik Imaroh, 90% berbahan katun.
Dengan penjualan sekitar 10-15 kain per bulannya, Imaroh bisa meraih omzet sebesar Rp 15 juta dengan keuntungan hingga 30%. Penjualan Imaroh akan melonjak 30% pada saat musim liburan sekolah atau saat libur hari Idhul Fitri dan libur Natal.
Imaroh optimistis bahwa popularitas batik yang menjadi khas Daerah Istimewa Yogyakarta ini dapat sejajar dengan batik yang sudah mapan seperti batik pekalongan, cirebon, ataupun solo. "Kalau nama batik ini terangkat berarti untuk memasarkan produk batik giriloyo ini akan lebih mudah," harap Imaroh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News