Sumber: | Editor: Test Test
Minat masyarakat Indonesia untuk menguasai teknik pembuatan komik Jepang atau manga mulai marak sekitar tahun 2000. Berbagai kursus manga berdiri lantaran permintaan masyarakat akan manga makin tinggi. Industrinya pun makin berkembang pesat.
Bila Anda yang menghabiskan masa kecil di sekitar tahun 1990, pasti sangat mengenal beberapa tokoh serial film kartun Jepang yang diputar di televisi Indonesia. Sebut saja seperti Candy-Candy, Doraemon, Dragon Ball, dan Detektif Conan.
Lebih baru lagi, anak-anak zaman sekarang sedang gandrung dengan serial televisi Avatar dan Naruto, yang lagi-lagi berasal dari Negeri Sakura. Jadi, tiap generasi memiliki tokoh kartun favorit masing-masing yang tengah ngetren pada eranya.
Sejatinya, berbagai judul serial kartun Jepang itu, yang juga kerap disebut anime, semula merupakan cerita komik yang diadaptasi jadi serial TV. Di Jepang, komik disebut manga. Namun istilah manga kemudian identik dengan komik khas Jepang.
Masyarakat yang awam terhadap dunia manga menganggap komik Jepang ini hanya diperuntukkan bagi anak-anak. Padahal, jika ditelisik lebih jauh, 75% manga yang beredar di Jepang maupun di beberapa negara di dunia diperuntukkan bagi remaja dan orang dewasa.
Bahkan, di Jepang sendiri jenis pembaca manga pun memiliki sebutan tersendiri. Contohnya, manga khusus anak-anak disebut kodomo. Lalu untuk wanita dewasa disebut josei. Manga untuk pria dewasa disebut seinen. Lalu ada sebutan shojo dan shonen untuk remaja.
Manga tak saja populer di negara asalnya, namun merambat ke beberapa negara, termasuk Indonesia. Memasuki 2000, manga di Indonesia mulai menjadi sebuah tren di kalangan anak muda dan memicu munculnya industri manga di Indonesia.
Salah satu bukti bagaimana manga diterima masyarakat Indonesia adalah dengan banyaknya penggemar komik Jepang yang berminat mempelajari teknik menggambar manga ini. Kursus manga pun hadir untuk memenuhi permintaan pasar.
Salah satu tempat kursus manga yang ada di Jakarta adalah Machiko Manga School. Tempat kursus yang terletak di kawasan Kemang ini awalnya adalah wadah berkumpul para pecinta komik Jepang dan sekaligus menjadi forum diskusi pecinta komik Jepang.
Lantaran peminat komik Jepang yang juga ingin belajar membuat manga makin membeludak, akhirnya tempat itu dijadikan tempat menimba ilmu menggambar komik Jepang secara profesional sejak 2002.
Eka Rahma, pembuat manga yang juga berprofesi sebagai pengajar manga di Machiko Manga School, bilang, peminat kursus manga saat ini masih didominasi peserta anak-anak dengan niat menyalurkan hobi semata. "Padahal kemampuan membuat manga ini memiliki prospek yang bagus jika diterjuni secara profesional," ungkapnya.
Mangaka, yang merupakan sebutan untuk pembuat manga, mungkin saja berpeluang untuk menerbitkan komiknya sendiri bekerjasama dengan penerbit. Salah satu penerbit di Indonesia yang getol menerbitkan manga adalah PT Elex Media Komputindo.
Beberapa penerbit lain yang juga bersedia berkecimpung menerbitkan manga adalah Mizan, M&C, dan Jawa Pos. Karya manga para mangaka lokal semakin terangkat pamornya seiring dengan kian banyaknya penerbit yang mengapresiasi karya mereka.
Para komikus dalam negeri bisa membuat karya yang bervariasi dengan tokoh komik khas Indonesia.
"Ke depan, harapannya pamor komik Indonesia bisa terangkat dari tren manga ini yang menciptakan ketertarikan masyarakat terhadap komik dengan karya yang beragam," kata Shirley Yuanita Susilo, pembuat sekaligus pengajar manga dari Seven Artland Studio.
Terkungkung stigma
Shirley mengaku, perkembangan manga di Indonesia sudah makin baik. Cerita dan target pembaca yang dituju sudah lebih bervariasi. Tak hanya kalangan anak-anak yang dimanjakan oleh komik, remaja dan orang dewasa pun bisa menikmati komik yang temanya sesuai dengan umur mereka. "Selain itu, kualitasnya pun semakin baik," katanya.
Tapi, para komikus lokal hingga kini masih terkungkung oleh stigma masyarakat yang masih menganggap komik sebagai bacaan anak-anak. Karena itu, butuh waktu lebih panjang agar komik, terutama manga, bisa diterima semua kalangan.
Dewi Ariyanti, pembuat dan pengajar manga di Machiko Manga School menambahkan, kendala lain adalah peralatan untuk membuat manga yang masih relatif mahal. "Walaupun sudah ada di sini, kebanyakan masih diimpor dari Jepang," ujarnya.
Beberapa alat khusus yang wajib dimiliki untuk membuat manga di antaranya maru pen, fude pen, dan screentone. Maru pen adalah sejenis pena yang berfungsi untuk membuat bagian yang detail dan membuat efek.
Fude pen berfungsi untuk mewarnai rambut dan daerah-daerah yang agak luas. Sementara screentone untuk membuat efek kabut atau motif di baju.
Lantaran berbagai keperluan membuat manga harus diimpor, biaya kursus manga pun jadi terkesan mahal. Di Machiko, misalnya, ongkos kursus untuk kelas anak-anak selama 12 kali pertemuan sekitar Rp 1,3 juta. Sementara kelas dewasa sekitar Rp 1,9 juta. "Terpaksa ada kenaikan biaya kursus jika ada kenaikan harga peralatan," ungkap Eka.
Toh, peminat manga terus meningkat. Terbukti, blog-blog pecinta maupun lomba membuat komik Jepang makin marak.
Tren costume player (cosplay) alias orang-orang yang mendadani dirinya seperti tokoh kartun pun jadi bukti popularitas manga. Industri game online yang terinspirasi manga juga s membuka ceruk industri manga di tanah air.
Komik Jepang, atau biasa disebut manga, memang unik. Jika diperhatikan, para tokoh manga ini memiliki karakter yang khas bila dibandingkan dengan tokoh komik dari negara lain, seperti Amerika Serikat (AS). |
Profil Shirley Yuanita Susilo
Mengangkat Pamor Manga Lokal Bergenre Komedi
Ketertarikan Shirley Yuanita Susilo pada komik atau manga Jepang semasa kecil telah membawanya menjadi salah satu komikus lokal yang cukup beken saat ini. Buku komik karya SYS kerap mewarnai terbitan komik lokal.
Bahkan, debut perdana komiknya yang bertajuk Sang Sayur langsung sukses. Komik ini menjadi satu-satunya karya dari Indonesia yang masuk dalam nominasi 20 besar di ajang International Manga Award 2007 yang diselenggarakan Departemen Luar Negeri Jepang.
Karya ini mengusung ka-rakter tokoh sayuran dengan genre komedi. Manga ini juga terpilih menjadi "20 Karakter Cergam Generasi Baru" pada Pekan Produk Budaya Indonesia (PPBI), 2008 silam.
Sang Sayur mengisahkan persahabatan anak sekolah dasar dengan tokoh bawang putih, rumput laut, tomat, petai, dan lainnya. Dia juga menggambarkan kehidupan sehari-hari keluarga tokoh utama, bawang putih.
Shirley membuat komik ini dalam beberapa episode yang bersambung di setiap penerbitan Splash Maqita Magazine. Majalah Splash ini majalah tahunan yang diterbitkan Seven Artland Studio sejak 2006.
Perempuan kelahiran Jakarta ini bergabung bersama pembuat manga lainnya membentuk Seven Artland Studio di Jakarta, 2006 silam. "Tujuan kami selain untuk memajukan komik lokal, juga supaya bisa menjual karya kami," cerita Shirley.
Makanya, di tahun yang sama dengan lahirnya studio Seven Artland, Shirley dan rekan-rekannya mulai memasarkan karya komiknya. Salah satunya Splash Maqita Magazine. Majalah ini khusus memuat kompilasi karya manga anak nusantara, dengan genre drama, komedi, action, hingga misteri. Setiap volume atau edisi mengusung tema yang berbeda. Studio ini menjual Majalah Splash secara online dan masuk ke toko buku, seperti Kinokunia di Jakarta, seharga Rp 25.000 per eksemplar.
Shirley mencetak sekitar 2.000-2.500 eksemplar setiap edisi. Sejauh ini, penerimaan Splash di pasar cukup bagus. Terbukti setiap edisi yang mereka terbitkan hampir 100% terjual di pasaran.
Selain kompilasi komik terbitan sendiri, beberapa karya Shirley dan rekan-rekannya juga mulai diminati penerbit besar. Sebut saja komik guyonan bertajuk 101 Peraturan Konyol Dunia yang diterbitkan Cendana Art Media, Februari lalu.
Saat ini Shirley dan kru Seven Artland sedang menyiapkan dua komik yang bakal meluncur ke pasaran pada Juni mendatang. Kali ini, penerbit Koloni M&C yang menggandeng mereka untuk menggarap dua judul komik, yaitu Sejejak Harap dan Sejejak Mimpi. "Karya saya akan masuk di Sejejak Mimpi dengan tema cerita romantika odong-odong, genrenya drama komedi," ujar perempuan 30 tahun ini.
Memang, lagi-lagi, karya Shirley bergenre komedi. Ini memang sesuai dengan ketertarikannya. Menurut lulusan Communications Desain dari Parsons School of Design, New York, ini, setiap komikus atau pembuat manga punya karakter (genre) dominan dalam setiap karyanya. Meskipun, tentu saja, mereka bisa menggambar dengan berbagai tema cerita lain.
Selain menerbitkan komik, lewat Seven Artland Studio, Shirley juga mengerjakan proyek dari beberapa penerbit dan perusahaan. "Kami di sini mengerjakan semua yang berhubungan dengan karya ilustrasi dan komik," sebutnya.
Misalnya, proyek pewarnaan komik terbitan Erlangga for Kids bertajuk The Quest for Princes Zhafira dalam 2 edisi. Dia juga pernah membuat gambar ilustrasi semacam mural untuk sebuah perusahaan di Jakarta. Dalam gambar mural ini, dia memvisualisasikan semua proyek yang dikerjakan perusahaan tersebut dari tahun ke tahun.
Bahkan, sebelum bergabung bersama Seven Artland Studio, Shirley pernah mendapat tawaran dari perusahaan hiburan asing. Dia pernah membuat proyek ilustrasi tokoh untuk anggota band remaja perempuan asal Amerika, Huckapoo. Ilustrasi tokoh buatannya ini digunakan untuk program game online interaktif di website band tersebut.
Lewat studionya, setiap tahun Shirley setidaknya mengerjakan tiga proyek komik atau ilustrasi. Nah, untuk proyek komik, satu volume biasanya berjalan selama 3-4 bulan. Tarif per volumenya berkisar Rp 4 juta - Rp 5 juta.
Meski usia studionya baru empat tahun, Shirley dan rekan-rekannya memberanikan diri membuka kursus manga sejak 2008. Saat ini, ada sekitar 20 murid yang belajar manga di Seven Artland Studio. Tarifnya sekitar Rp 1 juta per level, baik untuk anak-anak maupun dewasa. Setiap level berlangsung selama tiga bulan.
Dalam pengajarannya, Shirley mengatakan selain memakai modul bikinan sendiri, kursus di studionya memiliki nilai lebih karena membuka kelas privat. Jadi, kalau ada murid yang meminta pelajaran khusus terkait manga, mereka bisa menyelenggarakannya. "Selain itu naskah mereka juga berkesempatan untuk diikutkan dalam proyek komik kami," ungkapnya.
Menurutnya, pengajar manga tidak harus lulusan sekolah tertentu. Tapi, kemampuan seorang komikus bisa dilihat dengan semakin banyaknya pengalaman dan karyanya yang diterbitkan.
Shirley sendiri tidak pernah sekolah khusus manga. Tapi, sejak jatuh hati pada dunia komik, semasa kecil, dia pernah ikut kursus menggambar. Dan saat kuliah di Amerika Serikat pun dia tidak meninggalkan kecintaannya pada dunia manga.
Setelah lulus kuliah, dia sempat mengikuti program ilustrasi selama satu tahun di kampus yang sama, karena ingin meningkatkan kemampuan menggambarnya. Dan, selama di sana, dia bergabung dengan klub penggemar anime. Bersama klub itu dia rajin mengikuti pertunjukkan dan memamerkan karya ilustrasinya.
Sekembalinya ke tanah air empat tahun silam, dia memutuskan serius menggeluti dunia manga. Dia mengambil kursus manga selama setahun, lalu mendirikan studio bersama rekan-rekannya. "Sejak awal saya tertarik pada manga karena seringkali karakter dan kisahnya nyambung dengan yang kita alami, karena ceritanya menyangkut hidup sehari-hari," dalih Shirley.
Inilah daya tarik komik atau yang biasa disebut manga di Jepang ini. Walau fiksi, pembacanya bisa merasa seperti mengalami sendiri kisah yang diceritakan. Makanya, anak pertama dari dua bersaudara ini sangat yakin pamor manga, khususnya manga lokal, bakal semakin berkembang. Sebab, selain bertumbuhnya para komikus, baik profesional maupun amatir, juga adanya dukungan dari penerbit besar di tanah air.
Dan, sebagai pembuat manga, Shirley optimistis, terbentuknya berbagai komunitas atau klub pecinta manga bisa semakin mempromosikan pamor manga lokal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News