Reporter: Dharmesta | Editor: Tri Adi
Menjadi tempat belanja favorit bagi masyarakat batak yang merantau di Jakarta, sentra perlengkapan adat batak di Pasar Inpres Senen selalu ramai oleh pembeli. Namun, kebakaran yang terjadi pada Maret 2010 lalu sempat memukul usaha mereka.
Pasar Inpres Senen menampung banyak pedagang yang menyediakan berbagai perlengkapan adat batak. Namun, tak sedikit pula pedagang yang menjual baju yang kerap dipakai oleh warga keturunan batak di pasar yang kerap disebut sebagai Pasar Senen Batak.
Boru Simbolon, pemilik Toko Mixon Sinaga, mengatakan, tokonya selalu ramai dengan pembeli. "Ini karena saya berjualan barang adat. Jadi selalu dicari," ujar Boru Simbolon yang berjualan ulos. Makanya, omzet yang didapatnya tetap stabil.
Kondisi ini berbeda dengan yang dialami oleh Marti Ulos. Menurut pemiliknya, Marti, pengunjung yang datang ke sentra ini cenderung menurun sejak reformasi tahun 1998. Penyebabnya adalah menjamurnya mal-mal di ibukota. "Tak sedikit warga keturunan batak yang sekarang suka berbelanja baju songket di mal-mal," ujar Marti. Dari penjualan baju songket, Marti mengantongi omzet Rp 15 juta hingga Rp 20 juta per bulan.
Boru Simbolon menambahkan, jumlah pengunjung yang datang ke sentra ini memang menurun. Utamanya ke toko-toko yang menjual baju. Namun, bagi yang berdagang barang adat seperti ulos, kunjungan tetap stabil. "Jadi, pengaruhnya tak ada," ujar Boru Simbolon yang mampu meraih omzet Rp 30 juta saban bulan ini.
Meski begitu, baik Boru Simbolon maupun Marti mengungkapkan margin yang mereka dapatnya terbilang kecil. Pasalnya, harga ulos maupun songket dari produsennya sudah mahal.
Panjaitan, pemilik Juli Ulos, menambahkan, turunnya pengunjung dan omzet pedagang perlengkapan adat batak di Pasar Inpres Senen ini juga tak lepas dari kebakaran hebat yang pernah terjadi di pasar ini.
Panjaitan kehilangan seluruh barang dagangannya yang ludes terbakar oleh si jago merah pada Maret 2010 lalu. "Total, saya kehilangan barang dagangan senilai
Rp 1,5 miliar," ujar Panjaitan mengenang. Ia bersyukur karena tak punya pinjaman ke bank saat itu. Panjaitan mengaku beruntung karena tidak memiliki pinjaman dari bank saat itu.
Akibat kebakaran itu, jumlah pengunjung yang datang ke sentra ini tak sebanyak dulu, sebelum peristiwa kebakaran itu terjadi. "Sepertinya, banyak orang yang mengira kalau di sini tak ada lagi yang jualan perlengkapan adat batak karena habis terbakar," ujarnya mengira-ngira.
Panjaitan enggan mengungkapkan besaran omzet yang didapatnya lantaran jumlah pengunjung yang tak pasti. "Sekarang enggak ada patokan omzet," ujar Panjaitan yang sebelum peristiwa kebakaran meraih omzet Rp 500.000 per hari.
Kini, Panjaitan tidak berani mendatangkan ulos yang harganya di atas Rp 10 juta sehelai. Padahal, sebelum kebakaran, dia menjual banyak ulos yang harganya mencapai Rp 35 juta.
Panjaitan bersyukur, saban hari ada saja orang yang membeli ulos atau songket di tokonya, meski mereka hanya membeli ulos atau songket yang harganya murah. Baginya, yang terpenting, bisnisnya jalan.
Itu pula yang membuatnya cepat bangkit pasca-kebakaran. "Kami semua bangkit membangun toko-toko kami secara swadaya," ujar Panjaitan yang diamini pedagang lainnya.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News