Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Havid Vebri
Berdiri sejak tahun 1980-an, sentra penjualan wajan penggorengan di Jalan Kayu Manis, Bogor, Jawa Barat, sudah lumayan kesohor di kalangan warga Bogor dan sekitarnya. Diramaikan oleh belasan pedagang, sentra wajan ini menjual aneka wajan dengan berbagai ukuran.
Seluruh wajan yag dijual di sini didapat dari para perajin di daerah Cibadak, Jalan Kemang, Bogor, Jawa Barat. Nah, lantaran mengandalkan pasokan dari Cibadak, pasokan wajan sering tertunda karena kemampuan produksi para perajin masih terbatas.
Para pedagang harus menunggu beberapa minggu untuk bisa mendapatkan pasokan wajan. Muhammad Hasro, seorang pedagang, mengaku sering mengalami keterlambatan pengiriman wajan akibat banyaknya pesanan dari konsumen. "Terkadang bisa terlambat seminggu, padahal pasokan wajan di tempat saya tinggal sedikit," katanya.
Menurutnya, perajin wajan di Cibadak tidak terlalu banyak. Sementara pedagang wajan terus bermunculan. Di Kayu Manis sendiri banyak pedagang muka baru. Apalagi tidak hanya di sentra ini yang menjual wajan itu. "Yang ada di pasar-pasar tradisional juga mendapat pasokan dari sana," ujar Hasro.
Ia bilang, terus bertambahnya pedagang membuat perajin wajan kewalahan melayani permintaan. Jika ada pelanggan yang membutuhkan wajan dengan ukuran yang tidak dimilikinya, ia terpaksa mengoper permintaan itu ke pedagang lain yang memilikinya. "Ketika barang tidak ada, saya kasih ke sebelah," terangnya.
Desinta Nuraini, pedagang lainnya, juga mengalami hal yang sama. Ia mengisahkan, dulu saat masih dipegang oleh orangtuanya, tokonya tidak terlalu sulit untuk mendapatkan pasokan. "Mungkin, karena dulu tidak terlalu banyak pedagang di sini, jadi gampang saja untuk mengambil wajan ke sana," kisah Desinta.
Saat ini, ia juga sering kehabisan barang dagangan karena hanya mengandalkan pasokan dari perajin di Cibadak. Menurutnya, penyebab kelambatan pasokan ialah perajin wajan di Cibadak, Bogor, kekurangan pekerja. Dia berharap, para perajin wajan menambah jumlah pekerja agar pasokan ke tokonya lancar.
Sama halnya Hasro, Desinta juga kerap mengoper konsumen ke pedagang lain ketika barang yang dicari konsumen tidak tersedia. "Harganya sama saja, tapi yang jelas kami kehilangan penghasilan karena tidak ada barangnya," keluhnya.
Pedagang lainnya, Ratifa bahkan harus membeli wajan ke Pasar Parung untuk memenuhi barang dagangannya. "Tentu harganya lebih mahal dibanding beli dari perajin," ujarnya.
Kendati laba yang diperolehnya semakin tipis, hal itu terpaksa dilakukan agar koleksi wajannya semakin lengkap. Ratifa bilang, dalam sebulan bisa meraup omzet sekitar Rp 4 juta hingga Rp 5 juta per bulan.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News