kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Peluang untung usaha penerbitan yang berawal dari iseng


Kamis, 27 Februari 2020 / 08:05 WIB
Peluang untung usaha penerbitan yang berawal dari iseng


Reporter: Tabloid Kontan | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menulis dan membaca. Dua kegiatan ini jadi kesukaan Herlina Puspita Dewi. Hobi itu yang mendorong wanita kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah, ini merintis usaha penerbitan.

“Pas terbayang ingin usaha apa, yang pertama muncul, ya, bisnis penerbitan karena sesuai dengan passion,” ungkap pemilik gelar diploma sastra dan sarjana ekonomi ini.

Kini, bisnis Dewi di bawah bendera Stiletto Book berkembang. Selain penerbitan, dia memiliki lini usaha bergerak di bidang industri kreatif berupa produk dekorasi rumah dan pernak-pernik. Divisi ini bernama Stiletto in Style.

Dari tidak punya karyawan, sekarang Dewi memiliki 40 pekerja. Saban bulan, perempuan yang lahir 6 Oktober 1984 ini bisa mengantongi omzet Rp 300 juta hingga Rp 350 juta dari bisnisnya yang berbasis di daerah Sleman, Yogyakarta.

Meski begitu, sejatinya Dewi enggak sengaja terjun ke dunia bisnis. Sebelum membuka usaha penerbitan, jebolan Jurusan Sastra Prancis Universitas Padjadjaran, Bandung, dan Akuntansi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, ini rajin menulis tentang perencanaan keuangan di blog-nya.

Pada 2010, ia membukukan tulisan-tulisan yang ada di blog-nya lewat jalur indie. “Kalau dimasukkan ke penerbit, kan, seleksinya lama, ribet,” kata Dewi yang merogoh kocek sendiri buat menerbitkan dan mendistribusikan bukunya berjudul Mengelola Keuangan Pribadi untuk Perempuan.

Dewi memilih Stiletto Book sebagai nama penerbit. Secara harfiah, stiletto memiliki arti belati. Namun dalam dunia mode, stiletto berarti sepatu hak tinggi. “Alasan saya pakai nama Stiletto Book karena buku saya tentang pengelolaan uang secara pribadi bagi kaum perempuan,” jelas dia.

Setelah bukunya beredar termasuk di Toko Buku Gramedia, banyak yang mengira Stiletto Book adalah perusahaan penerbitan. Alhasil, banyak yang mengirim naskah juga menawarkan kerjasama ke Dewi.

Melihat prospek yang cukup bagus, dia pun memutuskan membangun usaha penerbitan. “Sambil bekerja, saya mengumpulkan modal juga banyak belajar tentang usaha penerbitan selama setahun,” ujarnya yang pernah bekerja jadi penerjemah bahasa Prancis di PT Bina Mutuprima Indonesia.

Awalnya iseng

Di Januari 2011, bisnis penerbitan Dewi berkibar. Dan ketika itu, ia masih bekerja. Dia mengelola usahanya seorang diri sepulang kerja, mulai mencari dan menyeleksi naskah untuk diterbitkan jadi buku hingga promosi.

“Paling tidur hanya empat jam. Tidur jam satu malam bangun jam lima pagi. Setiap hari begitu,” kata Dewi, yang kala itu bekerja sebagai manajer keuangan I-MHERE, proyek milik Bank Dunia di Fakultas Kehutanan UGM.

Di awal bisnis, Dewi bilang, proposal buku yang masuk rata-rata sebanyak 50 naskah per bulan. Tapi saat itu, setiap bulan ia baru menerbitkan satu buku saja. Dia mengeluarkan modal sekitar Rp 15 juta untuk cetak 2.000 eksemplar.

Setelah Stiletto Book berjalan enam bulan dan melihat respons pasar yang bagus, Dewi memilih mundur dari pekerjaan untuk fokus ke bisnis penerbitannya. Tambah lagi, ia berkeyakinan, usaha yang sesuai gairahnya itu bisa berkembang besar. “Jadi, saya putuskan merelakan kemapanan, zona nyaman. Juga karena mau program kehamilan,” imbuh Dewi yang menikah tahun 2010.

Program kehamilannya membuahkan hasil. Meski begitu, ia tetap menjalankan roda bisnis penerbitannya. Itu sebabnya, dia mempekerjakan seorang karyawan untuk membantu pekerjaan.

“Usaha ini, kan, ibarat kita dalam sebuah perjalanan dengan naik sepeda. Yang penting kayuhannya stabil dan berkesinambungan, pasti akan bisa terus jalan. Kalau pilih rehat dulu, bisa jadi nanti malah jadi malas melanjutkan perjalanan. Inilah yang selalu saya terapkan dan ingat,” bebernya.

Hanya, empat tahun bergulir, Stiletto Book malah jalan di tempat. Perkembangan gawai yang sangat pesat plus minat baca yang merosot membuat bisnis penerbitannya lesu. “Padahal, kami sudah usaha dengan segala daya dan upaya untuk promosi, bikin acara, segala macam, kok, tetap kurang nendang,” ungkap dia.

Saking putus asanya, Dewi berniat menjual merek dagang Stiletto Books. Bahkan, dia sudah menghitung harga jualnya. “Memang, sih, ini passion saya tapi, kok, kayaknya usaha penerbitan kurang menjanjikan. Cuma akhirnya saya urungkan niatan itu karena ini usaha sudah dari awal,” ceritanya.

Lantas, Dewi iseng membuat poster, buku catatan (note book), tas jinjing (tote bag), tas kecil (pouch), serta sarung bantal (cushion cover). Di produk-produk itu ia menyematkan kata-kata yang berasal dari buku-buku terbitan Stiletto Book.

Dari keisengan itu, justru melahirkan strategi penjualan berupa bundling. Jadi, beli buku juga dapat salah satu dari produk-produk tersebut.

Strategi ini berhasil. Penjualan buku keluaran Stiletto Book naik. “Orang yang tadinya enggak suka baca buku jadi baca buku dan tahu kalau Stiletto Book adalah penerbit buku. Ini juga menjadi kampanye bagi perempuan yang enggak suka baca buku,” ujar Dewi.

Sejak awal, buku-buku terbitan Stiletto Book memang terutama membidik pembaca perempuan, dengan usia berkisar 17 tahun–40 tahun tergantung tema. Stiletto Book menerbitkan buku-buku fiksi maupun nonfiksi yang berkaitan dengan dunia perempuan.

Buku fiksi, misalnya, novel remaja (teenlit) dan kumpulan cerpen. Sedang nonfiksi seperti psikologi populer dan kisah inspirasi.

Persis empat tahun Stiletto Book berdiri, di Januari 2015, Dewi melebarkan sayap bisnis dengan membangun lini usaha baru bernama Stiletto in Style. Produk pertamanya: sarung bantal dan tote bag.

Awalnya, dia menyerahkan pekerjaan pembuatan produk itu ke tukang jahit. Setelah berjalan setengah tahun, ia memproduksi sendiri dengan mempekerjakan penjahit. “Karena respons pasar bagus, saya langsung beli dua mesin jahit, mesin obras. Saya langsung produksi banyak,” kata Dewi.

Pemasaran produk dekorasi rumah dan pernak-pernik termasuk buku mulanya lewat Instagram. Sekarang, selain melalui website, Dewi menawarkannya di marketplace seperti Shopee, Tokopedia, Bukalapak.

Untuk jalur offline, ia punya galeri bertajuk House of Stiletto Book yang merangkap kantor di Maguwoharjo, Sleman.

Produk Stiletto in Style bertambah. Kini, ada sekitar 25 item yang dia tawarkan.

Tidak hanya berbahan kain, juga kayu seperti rak dinding. Dewi punya dua bengkel kerja masing-masing di Sleman dan Klaten, Jawa Tengah. Satu memproduksi produk-produk berbahan kain, satu lagi membuat barang-barang bahan baku kayu.

Siap ekspansi

Dan, untuk menggenjot kinerja bisnis penerbitan, Dewi membuka lini usaha indie pada 2016. Setiap bulan, kurang lebih Stiletto Book menerbitkan 10 buku indie. “Kan, biaya penerbitannya dari si penulis. Kami bantu dari sisi editing naskah dan pemasaran. Lini ini jadi semangat baru di bisnis penerbitan kami,” ujar dia.

Kenapa tidak sejak awal punya lini penerbitan indie? Dulu, Dewi mengaku, dirinya masih idealis. Ia ingin menerbitkan buku yang bagus versi dia. Tapi ternyata, semakin banyak penulis yang ingin menerbitkan buku dengan biaya sendiri.

Bermodal nama Stiletto Book yang sudah tenar, Dewi pun menawarkan para penulis itu untuk menerbitkan buku lewat dirinya. “Umumnya, buku indie tidak diedit. Nah, kami bantu desain, menyunting naskah, dan memasarkan. Responsnya bagus,” tambah penulis novel Seribu Kerinduan ini.

Ke depan, ia ingin melakukan penguatan branding dan inovasi produk terutama untuk lini bisnis dekorasi rumah dan pernak-pernik. Tidak hanya jualan produk tapi juga layanan, supaya pelanggan ingat terus dengan merek Stiletto Book.

Soalnya, pelanggan tidak cuma mencari harga yang murah, juga kepuasan pelayanan. “Kuncinya adalah inovasi produk dan keunggulan layanan pelanggan,” tegas dia.

Bukan cuma itu, biar hubungan sama pelanggan makin lengket, Dewi berencana membuka pelatihan pemberdayaan perempuan secara cuma-cuma atawa gratis. Kemudian, ia ingin ekspansi ke luar Jogja dengan membuka gerai fisik, misalnya, di Jakarta dan Bali.

Siapa menyangka, perempuan yang bercita-cita menjadi perencana keuangan alias financial planner, makanya kuliah lagi di jurusan akuntansi, ini justru jadi pengusaha. “Dulu saya pernah ingin serius untuk jadi financial planner tapi ternyata gagal. jalannya malah jadi entrepreneur,” kata Dewi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×