Reporter: Elisabeth Adventa, Maizal Walfajri, Nur Pehatul Janna, Tri Sulistiowati | Editor: Johana K.
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menu makanan asal Jepang sudah lazim di lidah warga negeri ini. Sushi misalnya, termasuk salah satu kudapan asal Negeri Sakura yang ngetop di dalam negeri.
Maklum, makanan yang terbuat dari nasi beras Jepang, berbalur nori dengan isi bisa aneka seafood atau daging terasa nikmat bagi para penggemarnya. Apalagi kalau dicelupkan soyu, membuat sushi menjadi salah satu menu makanan Jepang yang tenar di Tanah Air.
Tidak mengherankan bila banyak pebisnis yang berupaya menekuni bisnis kuliner ala Jepang. Gerai makanan sushi pun semakin bertebaran di sejumlah lokasi dan makin gampang ditemui. Gerai menu Jepang itu tersebar di pusat belanja, perkantoran saja, bahkan sampai ke kawasan sekitar perumahan.
Di antara sekian banyak pengelolanya, sejumlah pebisnis gerai menu sushi mencoba peruntungan dengan menawarkan kemitraan usaha gerai sushi. Ada yang menawarkan kemitraan usaha sekelas warung biasa, hingga penawaran kemitraan usaha sekelas restoran besar.
Sebagian di antaranya sukses, kendati ada juga kesulitan mengembangkan usahanya. Nah, untuk mengetahui lebih lanjut mengenai potensi kemitraan usaha gerai sushi ini, berikut review beberapa kemitraan usaha yang pernah diulas KONTAN dalam beberapa tahun terakhir.
Queen Sushi
Usaha kuliner khas Negeri Sakura ini diracik oleh Poppy Pratiwi di Pekanbaru, tahun 2013. Dari satu gerai, kini ia memiliki dua cabang Queen Sushi milik sendiri.
Tepat setahun lalu, KONTAN mengulas usaha miliknya. Meski begitu, sampai kini belum ada mitra yang bergabung di penawaran usahanya. Poppy mulai menawarkan kerjasama kemitraan beberapa bulan paska pembukaan gerai milik pribadi.
Merasa tidak melihat potensi pasar yang cukup bagus, bahkan Poppy memilih untuk menutup kemitraan dan seluruh gerai sejak awal tahun 2018. "Saat ini saya hanya melayani pesanan online," katanya pada KONTAN. Dia menambahkan, saat ini ibunya lah yang menjalankan usaha sushi.
Sebelumnya, Queen Sushi menawarkan kemitraan dengan investasi senilai Rp 45 juta. Fasilitas yang didapatkan mitra adalah perlengkapan memasak dan satu set container. Adapun booth menjadi tanggung jawab para mitra.
Selain itu, mitra wajib menyiapkan tambahan modal sekitar Rp 10 juta-Rp 30 juta untuk membeli kebutuhan bahan baku produksi. Berdasarkan perhitungannya, bila mampu mengantongi omzet minimal Rp 1 juta per hari, mitra sudah bisa balik modal dalam waktu tiga sampai enam bulan.
Gerai ini menyasar konsumen kelas menengah. Harga sushi buatannya dipatok mulai dari Rp 4.000-Rp 32.000 per porsi. Tersedia sekitar 70 macam sushi yang bisa dijadikan pilihan.
Zushioda Japanese Street Sushi
Pelaku usaha sushi lainnya adalah Aditya Yodha asal Bekasi, Jawa Barat. Adit mengusung label Zushioda Japanese Street Sushi sejak tahun 2010. Kendati sedang lesu, ia mencoba mempertahankan gerai sushi sampai sekarang.
Saat KONTAN mengulas Januari 2016, Zushioda sudah memiliki 28 gerai yang tersebar di Jakarta, Bekasi, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Bali, Malang, Padang dan Samarinda. Saat ini, gerai Zushioda yang masih berdiri tersisa 18 gerai.
Adit menjelaskan pengurangan gerai tersebut akibat turunnya tren sushi di masyarakat. Kondisi tersebut menyebabkan satu mitra yang memiliki lebih dari satu gerai harus menutup beberapa gerai. "Ada mitra yang awalnya punya lima gerai dan tahun lalu menutup dua gerainya karena kondisi ekonomi kurang bagus," ungkapnya.
Menurut Adit, sejak akhir tahun 2016, daya beli masyarakat cenderung menurun lantaran kondisi ekonomi dalam negeri yang tidak menentu. Plus tren kuliner sushi yang makin meredup setahun belakangan ini. Akibatnya, kedai sushi kurang diminati pembeli.
Hambatan lainnya, harga bahan baku sushi juga terus merangkak naik. "Sekitar 30% bahan baku yang kami gunakan itu impor. Setahun belakangan ini harganya naik. Apalagi dollar lagi mahal. Tapi karena kami butuh, mau tidak mau tetap ambil," keluhnya.
Adit bilang, ada beberapa bahan baku impor yang wajib digunakan untuk mempertahankan cita rasa otentik Jepang, seperti shoyu (kecap Jepang), nori (rumput laut kering Jepang) dan dashi (kaldu ikan Jepang). Tiga bahan baku tersebut adalah beberapa contoh bahan baku yang tidak dapat diganti dengan bahan baku lokal.
Mau tak mau mau, Adit harus menaikkan harga jual menu di gerai Zushioda untuk mengimbangi kenaikan harga bahan baku impor. Sebelumnya ia bisa menjual sushi dengan banderol termurah Rp 20.000 per porsi. Kini, kisaran harga jualnya adalah Rp 25.000-Rp 35.000 per porsi. "Tahun 2016, saya masih bisa jual sushi di bawah Rp 20.000, sekarang kayaknya sudah tidak mungkin," tuturnya.
Selain harga jual yang meningkat, paket investasi yang ditawarkan Adit juga naik. Tahun 2016, Zushioda menawarkan paket investasi senilai Rp 80 juta, kini paket investasinya menjadi Rp 85 juta.
Supaya tetap dilirik pasar, Adit berinovasi pada menu Zushioda. Kini, Zushioda tak hanya menawarkan menu sushi, melainkan juga menu ramen dan rice bowl. Inovasi menu perlu dilakukan untuk lebih menarik konsumen.
Meski demikian, spesialisasi sushi tetap melekat pada Zushioda. Upaya ini bertujuan supaya konsumen yang datang tidak bingung apabila ada menu-menu anyar yang lagi tren ternyata berada di gerai sushi.
Toh, kendati sudah melakukan inovasi menu, Adit belum berani untuk memasang target penambahan gerai baru Zushioda sampai dengan akhir tahun ini. Memang, kata dia, saat ini ada tiga calon mitra asal Makassar, Surabaya dan Bogor yang tertarik mendirikan gerai Zushioda di tahun ini. Namun, dia melihat kondisi ekonomi masih belum stabil sehingga berpotensi menggerus bisnis kedai sushi.
Ike Sushi
Pemain lainnya adalah Ike Sushi. Usaha kedai sushi ini awalnya berasal dari Palembang, Sumatera Selatan. Mirip dengan pemain lainnya, jumlah gerai kedai Ike Sushi juga sulit berkembang. Sejak dibuka paket kemitraan pada tahun 2016 hingga saat ini belum ada mitra yang bergabung di usaha yang ditawarkan oleh Ike Sushi.
Saat diulas KONTAN awal tahun 2017, sudah ada dua gerai pusat di Palembang yang ditutup. Usaha ini juga belum menunjukkan perkembangan yang signifikan. Kini, Ike Sushi hanya memiliki satu gerai saja di Jakarta.
Nanda Sugiyono, Head of Operational Ike Sushi mengungkapkan, menurunnya minat pembeli terhadap menu sushi membuat kemitraan usaha ini tidak berjalan lancar. Ditambah belum ada keseriusan dari internal perusahaan untuk mengembangkan usaha Ike Sushi ini. "Apalagi saya juga kerja di instansi, sulit membagi waktu untuk pengembangan bisnis. Namun kami tidak menutup kemungkinan jika ada mitra yang ingin bergabung” ujarnya ke KONTAN.
Untuk menyiasati kelesuan gerai sushi, pengelola Ike Susshi mulai berbenah. Misalnya, nilai paket kemitraan Ike Sushi diubah dari senilai Rp 80 juta, kini cuma Rp 5 juta - Rp 12 juta saja. Rupanya, Ike Sushi mengubah konsep kemitraannya menjadi sushi kaki lima. "Adapun untuk harga per porsi dan varian menu masih sama," tuturnya.
Ia berharap, perubahan nilai paket kemitraan usaha yang lebih ringan itu bisa menggaet mitra. Ia menargetkan bisa menjaring dua atau tiga mitra dengan fokus lokasi di Bandung, Jawa Barat. Sayang, ia tidak merinci soal lokasi yang pas dari Ike Sushi ini.
Usaha sushi masih menyimpan potensi
Konsultan Usaha Djoko Kurniawan menilai ada yang tidak beres dengan para pebisnis kemitraan sushi sehingga membuat perkembangan gerai dan bisnis makanan itu rada tersendat. Apa lagi, makanan kekinian tetap menjamur.
Menurutnya, ada yang salah dalam mengelola gerai makanan ala Jepang tersebut. "Saya tidak setuju bila usaha sushi turun, yang ada mereka tidak mengerti usaha sushi," tandasnya.
Ia mengambil contoh, kemitraan sushi seharusnya tidak boleh bergantung kepada chef atau koki. Bila masih ada usaha sushi yang bergantung kepada koki, maka usaha kemitraan itu ia nilai belum layak.
Seharusnya, kemitraan sushi yang layak itu adalah bila semua orang bisa mengolah dan mengerjakan dengan mudah. Jadi pemilik hingga karyawan pun harus tahu cara mengolah sushi tersebut. "Namun, khusus untuk bumbu dan bahan baku sushi harus dikunci oleh pihak pusat," sarannya.
Makanya, perlu pelatihan bagi para karyawan di gerai sushi. Ia mengambil contoh untuk memotong ikan salmon saja, butuh waktu hingga enam bulan. Hal lain yang perlu menjadi perhatian para mitra adalah bahan baku, terutama makanan laut harus segar. Sebab kunci dari sushi adalah bahan baku yang fresh.
Jangan lupa para mitra bisnis harus rajin mengawasi usaha ini. Sebab acap kali terjadi para karyawan ternyata juga bisa mengambil pesanan untuk kepentingan pribadi. Ini sebagai efek makanan sushi yang lezat.
Makanya, ia menilai makanan ini masih punya potensi. Apalagi demam budaya Asia Timur masih tetap tinggi di Indonesia. Kalaupun ada yang ingin berbisnis usaha ini, ia sarankan tidak cuma tempat yang bagus, tapi konten atau kualitas produk dari sushi tersebut juga harus prima. Bila ini dilakukan, usaha sushi bisa berkembang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News