Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Johana K.
KONTAN.CO.ID - Sebagai negara dengan kebutuhan konsumsi kedelainya cukup besar, wacana penghentian impor kedelai bisa membuat perajin tahu dan tempe kalang kabut.
Ketua perajin tempe di Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Kopti) Gang Sonton, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Hambali berpendapat wacana pemerintah tersebut kurang bijak, mengingat kebutuhan kedelai impor dari Amerika Serikat (AS) sangat besar.
Bahkan ia mengatakan, selama memproduksi tempe, hampir semua perajin di Kopti Lenteng Agung menggunakan kedelai asal AS. "Kebutuhan kedelai buat perajin seperti kami ini besar. Pasokan kedelai lokal tidak bisa memenuhi itu. Bahkan selama saya bikin tempe selalu pakai bahan baku kedelai impor, belum pernah pakai yang lokal," ungkapnya saat ditemui di rumah produksinya.
Ia bilang, jika pemerintah mau melaksanakan wacana tersebut, harus memberi solusi alternatif bahan baku bagi para perajin tahu tempe seperti dirinya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Sungkono, Ketua Perajin Tahu di Kopti yang sama. "Dua puluh tahun lebih saya bikin tahu, hanya dua kali menggunakan kedelai lokal. Selebihnya ya kedelai impor. Jadi sekarang di sini semua perajin pakai kedelai impor," tuturnya. Sungkono bilang dalam sehari dirinya bisa menghabiskan rata-rata 30 - 50 kilogram (kg) kedelai.
Jumlah kebutuhan yang sama juga diungkapkan oleh Hambali. Ia menjelaskan jumlah rata-rata kebutuhan bahan baku kedelai impor di Kopti Lenteng Agung sekitar 50 kg per hari.
Jika jumlah tersebut dikalikan 30 perajin tahu dan tempe di kawasan tersebut, praktis kebutuhannya mencapai 1,5 ton per harinya. "Kebutuhan kami cukup besar, makanya kalau kedelai impor distop, ya kami bisa gulung tikar ini," ujarnya sambil tertawa.
Meski mencuat wacana yang dinilai kurang populis tersebut, Hambali mengaku pasokan kedelai impor tetap lancar hingga sekarang. Belum ada pengurangan kuota kedelai impor kepada para perajin. "Alhamdulilah masih lancar dan cukup untuk kebutuhan produksi kami. Belum ada pemberitahuan juga dari koperasi kalau jumlah bahan baku bakal dikurangi," tandasnya.
Hambali dan Sungkono sama-sama menjelaskan jika semua perajin tahu maupun tempe di Kopti Lenteng Agung menyerahkan pasokan bahan baku kedelai ke Primer Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Primkopti) Jakarta Selatan. Dari koperasi tersebut biasanya pasokan kedelai langsung dikirim ke Kopti Lenteng Agung setiap sore hari.
"Kami tinggal terima beres, semua urusan pembelian kedelai diatur oleh Primkopti Jaksel. Kalau ada pengurangan jumlah pasokan pasti diinfokan juga ke kami," ujar Hambali. Berdasarkan informasinya, saat ini harga kedelai impor AS mencapai Rp 71.000 per kg.
Jumlah pasokan tak pasti dan perbedaan kualitas kedelai bikin resah
Adanya wacana untuk menghentikan impor kedelai secara bertahap pun belum berpengaruh signifikan terhadap pasokannya. Hingga Minggu (18/3) ketika KONTAN menghubungi Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin menyebutkan, impor kedelai masih terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan perajin.
"Pasokan kedelai saat ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kami. Jumlah impor kedelai juga masih sama seperti tahun lalu. Belum berkurang maupun bertambah," jelas Aip. Ia justru mengeluhkan soal pasokan kedelai lokal yang jumlahnya tidak jelas dan tidak menentu. Di samping itu kualitas kedelai lokal yang dihasilkan juga bervariasi.
Menurut informasi yang dilontarkan Aip, saat ini jumlah pasokan kedelai lokal hanya sekitar 700.000 ton per tahun. Sedangkan kebutuhan konsumsi kedelai nasional mencapai 2,9 juta ton per tahun. Dari situ, terlihat kemampuan kedelai lokal untuk memasok kebutuhan hanya sekitar 24% saja. "Mau tidak mau kita impor, kalau kedelai impor tidak ada, habislah perajin tahu tempe di seluruh Indonesia," ungkapnya.
Selain jumlah pasokan kedelai lokal yang tak pasti, perbedaan kualitas kedelai lokal rupanya juga jadi persoalan tersendiri bagi para perajin. Ketua Perajin Tempe di Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Kopti) Gang Sonton, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Hambali mengutarakan perbedaan kualitas tersebut membuat ukuran, bentuk dan kualitas rasa tempe maupun tahu berbeda-beda. Kedelai impor punya ukuran yang lebih besar dan seragam dibanding lokal.
"Dulu pernah ada yang coba pakai kedelai lokal. Kedelai lokal kalau direndam tidak bisa mengembang. Kecil-kecil, jadi kalau diolah jadi tempe maupun tahu, ukurannya kecil sekali. Buat hitungan dagang kurang menguntungkan," ujar Hambali.
Ia lanjut menjelaskan, jika para perajin menggunakan kedelai lokal, modal yang dikeluarkan tidak sebanding dengan produksi yang dihasilkan. Jika menggunakan kedelai impor, dengan modal yang sama, produksi yang dihasilkan bisa lebih banyak. Meskipun di sisi lain, kandungan gizi yang ada dalam kedelai lokal bisa jadi lebih tinggi dibanding kedelai impor.
Meski kedelai impor terus digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi nasional, harganya yang terus merangkak naik juga menjadi keluhan para perajin tempe dan tahu. Aip mengatakan harga kedelai impor terus menanjak sejak lima bulan lalu.
"Akhir tahun kemarin harganya masih Rp 6.250 per kilogram, sekarang sudah di kisaran Rp 7.000," jelasnya. Namun jika dibandingkan dengan harga kedelai lokal yang mencapai Rp 8.000 per kilogram, tentu kedelai impor asal Amerika Sserikat ini masih lebih murah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News