kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengusaha kuliner tak cukup mengandalkan cita rasa


Kamis, 19 Februari 2015 / 10:25 WIB
Pengusaha kuliner tak cukup mengandalkan cita rasa
ILUSTRASI. Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, Agusman.


Reporter: Herry Prasetyo | Editor: Tri Adi

Lantaran menyangkut kebutuhan dasar manusia, usaha di sektor makanan dan minuman bisa dibilang sebagai bisnis abadi. Karena itulah, bisnis restoran dan rumahmakan tumbuh subur bak cendawan di musim hujan.

Perkembangan bisnis kuliner di Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir bahkan semakin masif. Maklum, berbekal populasi penduduk yang besar ditambah jumlah kelas menengah yang meningkat tajam, Indonesia menjadi pasar yang potensial lagi memikat. Yang menarik, pasar industri kuliner tidak cuma didominasi pemain skala kecil dan menengah. Beberapa perusahaan besar bahkan ikut terjun menggeluti bisnis ini. “Pemain bisnis kuliner di Indonesia semakin beragam,  penuh, dan sesak,” kata Hendy Setiono, pemilik dan Presiden Direktur Baba Rafi Enterprise.

Sebagai salah satu subsektor ekonomi kreatif, industri kuliner memiliki kontribusi terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) sektor ekonomi kreatif. Memang, tidak semua penyedia jasa makanan dan minuman masuk dalam kategori ekonomi kreatif. Tahun 2013 lalu, nilai tambah industri kuliner mencapai Rp 208,63 triliun. Jumlah tersebut menyumbang 32,5% terhadap total PDB sektor ekonomi kreatif yang sebesar Rp 641,8 triliun.

Nilai tambah industri kuliner terus meningkat. Namun, Hendy mengatakan, banyaknya pemain baru di bisnis kuliner membikin kompetisi semakin sengit. Akibatnya, pertumbuhan penjualan produk kuliner di setiap gerai pada 2014 lalu jalan di tempat. Pengusaha kuliner skala kecil menengah bisa menikmati kenaikan omzet lantaran menambah gerai baru.

Menurut Hendy, tahun ini tantangan pengusaha di bidang kuliner semakin berat. Karena persaingan semakin ketat, pengusaha kuliner tidak lagi bisa mengandalkan pertumbuhan organik. Jika mau menaikkan omzet, pengusaha harus lebih ekspansif dan menyasar pertumbuhan anorganik.

Selain itu, pengusaha kuliner juga harus menghadapi kenaikan biaya produksi lantaran kenaikan upah minimum regional (UMR) dan harga barang.

Memang, Hendy bilang, dampak kenaikan harga barang maupun energi bisa ditekan dengan mengerek harga jual. Tapi, tak setiap pelaku usaha kuliner bisa leluasa mengerek harga jual. Pengusaha jasa boga, contohnya, tak bisa begitu saja mematok kenaikan harga jual tanpa persetujuan klien. “Banyak perusahaan jasa boga merugi karena persetujuan kenaikan harga dari klien bisa memakan waktu hingga tiga bulan,” ujar Rahayu Setiowati, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa Boga Indonesia (APJI).

Bagi Hariyadi Sukamdani, Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), kenaikan harga memang mendongkrak biaya operasional. Cuma, sebagai pelaku ekonomi kreatif, pengusaha kuliner juga mesti kreatif. “Ada kelompok masyarakat yang tidak sensitif terhadap harga dan rela membayar mahal,” ucap Hariyadi yang juga menjabat Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).


Konsep kreatif

Dalam bisnis kuliner, rasa produk yang enak sudah wajib hukumnya. Tapi, Hendy menegaskan, rasa enak saja tidak cukup. Tanpa inovasi produk dan pemasaran, usaha kuliner bisa gulung tikar terlindas persaingan yang kian ketat. Tak heran, meski banyak usaha baru bermunculan, tidak sedikit usaha yang tumbang.

Itu sebabnya, tantangan bisnis kuliner sejatinya tidak berasal dari faktor eksternal. Hariyadi menilai, persoalan pertama yang harus dipecahkan pengusaha kuliner adalah konsep. Jika konsep tidak kuat, bisnis tidak akan bisa bertahan.

Dalam beberapa tahun terakhir, Hariyadi membeberkan, tren di industri kuliner justru didominasi anak muda. Banyak orang muda yang terjun ke industri kuliner dengan membawa konsep baru dan unik. Mereka justru menyasar segmen pasar yang tidak pernah dibayangkan pelaku usaha kuliner sebelumnya. “Ternyata, produknya laris dan peminatnya cukup besar,” ujarnya.

Banyak orang mengira, lokasi merupakan persoalan paling penting dalam bisnis kuliner. Padahal, konsep bisnis lebih penting. Selain itu, manajemen promosi dan pemasaran juga akan sangat menentukan keberhasilan usaha kuliner.

Dalam praktiknya, restoran dengan konsep kuat dan promosi memadai bisa berhasil, walau tidak berada di lokasi yang bagus. Makanya, mendirikan usaha kuliner tidak harus di pusat perbelanjaan. Apalagi, tarif sewa kios di pusat perbelanjaan semakin mahal.

Tren food truck yang mulai mewabah dalam setahun terakhir bisa menjadi contoh kreativitas pelaku usaha kuliner menyiasati tarif sewa lahan untuk berjualan yang mahal. Ari Galih Gumilang, konseptor food truck di Jakarta dan salah satu pendiri Jakarta Food Truck, menuturkan, sewa kios di pusat perbelanjaan di Ibukota RI per bulan bisa mencapai puluhan juta hingga ratusan juta.

Sementara itu, dengan berjualan kuliner menggunakan mobil, pelaku usaha hanya perlu merogoh kocek Rp 1,5 juta sebulan untuk menyewa tempat parkir. Investasi untuk membeli dan membikin food truck paling sekitar Rp 400 juta. “Food truck juga lebih fleksibel karena tempat berjualan bisa berpindah-pindah,” ungkap Ari.

Kreativitas dan inovasi memang menjadi modal penting bagi setiap pengusaha. Sebab, kata Hariyadi, pemerintah belum tentu bisa membantu pengembangan industri kuliner. Meski, sejatinya pemerintah setidaknya bisa menekan kenaikan harga gas dan tarif listrik untuk meringankan beban pengusaha. Selain itu, Hendy menambahkan, pemerintah semestinya juga semakin intensif meningkatkan kampanye makanan lokal. “Pemerintah juga bisa membangun sentra kuliner bagi pelaku kreatif di industri kuliner,” kata Hendy.

Nah, masalahnya, pemerintah mau enggak?    


Laporan Utama
Mingguan Kontan, No. 21-XIX, 2015

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×