Reporter: Revi Yohana | Editor: Dupla Kartini
BALI. Meski sehari-hari pengunjung di Pasar Kumbasari terbilang ramai, sejatinya situasinya tak seramai kondisi tahun-tahun silam. Para pedagang menyebut, kehadiran sejumlah tempat yang menawarkan perlengkapan sejenis mengakibatkan persaingan sangat ketat.
Salah seorang pedagang, Ketut Rai bercerita, kini sudah banyak warung-warung kecil di dekat rumah-rumah penduduk yang menjual perlengkapan upacara, seperti yang ditawarkan di Pasar Kumbasari. Apalagi, seiring perkembangan pembangunan di berbagai wilayah Bali, setiap desa kini rata-rata sudah punya pasar tradisional.
Nah, di pasar itu biasanya ada saja yang berjualan perlengkapan upacara, meski tidak banyak. "Beda dengan dulu, hanya Pasar Kumbasari dan Pasar Badung sebagai pusat pasar tradisional," tutur perempuan yang sudah berjualan di Pasar Kumbasari selama 20 tahun terakhir ini.
Begitu pula di wilayah perkotaan. Sudah banyak yang menjajakan perlengkapan upacara di toko-toko pinggir jalan.
Tak main-main, kehadiran banyak pemain baru menggerus penghasilan mereka. Ketut mengaku, omzetnya berkurang lebih dari setengah dibanding beberapa tahun silam.
Pedagang perlengkapan upacara lainnya di Pasar Kumbasari, Ni Made Ayu mengamininya. Ia menambahkan, peran pedagang keliling semakin membuat pembeli enggan belanja ke Pasar Kumbasari.
Memang, pasca peristiwa Bom Bali, banyak bermunculan para pedagang keliling yang menjajakan perlengkapan upacara dari rumah ke rumah. Kala itu, sejumlah hotel melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), karena Bali sempat sepi pengunjung.
Mereka yang terkena PHK pun beralih menjadi penjual perlengkapan upacara demi memenuhi kebutuhan hidup. "Kalau pedagang eceran cuma patok selisih harga jual Rp 500 atau Rp 1.000 saja dibanding kami, kan para pembeli mending beli dari mereka daripada jauh-jauh ke pasar," beber Ayu.
Belum lagi, bermunculan sejumlah pedagang yang memasang lapak di bagian luar bangunan Pasar Kumbasari atau di pinggir jalan menuju pasar. Tak jarang, pembeli lebih memilih membeli perlengkapan di sana, karena bisa bertransaksi tanpa harus turun dari kendaraan dan tak harus memarkir kendaraan mereka.
Makanya, Ayu mengakui omzet merosot tajam. "Dulu, saat ramai bisa sampai Rp 5 juta sehari. Sekarang, paling setengahnya, kadang-kadang malah tidak sampai setengahnya," ujar Ayu.
Meski persaingan kian ketat, namun, mereka terus berdagang. Mereka tetap bertahan, karena usaha ini sudah dijalani selama puluhan tahun. Apalagi peluang tetap ada, karena perlengkapan upacara pasti selalu dibutuhkan warga Hindu Bali, setiap hari.
Nah, supaya bisa bersaing, Ayu menekankan pentingnya menjaga kepuasan para pelanggannya. Supaya tidak lari ke tempat lain, ia selalu berusaha melayani pelanggan sebaik mungkin, dan memasang harga murah. "Kami masih optimistis, ada pelanggan yang lebih senang belanja langsung ke Pasar Kumbasari," imbuh Ketut. (Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News