Reporter: Merlinda Riska | Editor: S.S. Kurniawan
KONTAN.CO.ID - Harga jadi salah satu kata kunci keberhasilan Uma Hapsari dalam berbisnis. Harga pula yang mengantarkan perempuan kelahiran Bantul, Yogyakarta ini sukses merintis usaha sepatu wanita.
Saat ini, dengan mengibarkan bendera Amazara, saban bulan dia menjual 2.500 sampai 4.500 pasang sepatu. Sayangnya, ia menolak mengungkap berapa besar omzetnya.
Tapi, dengan harga jual mulai dari Rp 129.000 per pasang dan penjualan sebanyak 2.500–4.500 pasang sepatu, minimal Uma bisa mengantongi pendapatan Rp 322,5 juta–Rp 580,5 juta sebulan. Sebagai catatan, sepatu buatannya lebih banyak yang berharga di atas Rp 200.000 sepasang.
Uma memulai bisnis dengan membuka lapak di Instagram pada 2015. Kebetulan, orangtuanya menjadi semacam agen sejumlah merek lokal yang cukup ternama, seperti baju, sepatu, dan kosmetik.
Namun, satu bulan berjalan, tak satu pun barang dagangannya yang laku. Ternyata faktornya satu: kalah dengan harga produk yang sama di Pasar Tanah Abang, Jakarta. “Walaupun harganya sama, pengirimannya kan makan waktu, makan biaya,” kata Uma yang lahir pada 10 Januari 1991 silam.
Berangkat dari fakta itu, muncul ide untuk menjual produk yang tidak bisa tersaingi secara harga. Artinya, harus punya merek sendiri. Kalau tidak, tentu calon pembeli akan terus membandingkan.
Lantaran ketika itu cuma kenal dengan perajin sepatu, Uma pun memutuskan menjual sepatu. Tapi, ia tidak memproduksi sendiri, masih ambil dari produsen.
Ia memilih produk yang memiliki desain lucu. Lalu, “Saya relabelling saja, ganti dengan merek saya, Amazara,” ujar dia. Amazara dicomot dari nama anaknya.
Uma kemudian menjualnya dengan kisaran harga Rp 89.000 hingga Rp 99.000 per pasang. Ia menawarkan tiga model sepatu untuk perempuan, yakni wedges, slip on, dan platform.
Tampilan foto yang bagus membuat banyak orang tertarik. Tetapi, harga yang murah membuat mereka meragukan kualitas sepatu yang Uma jual dan tidak jadi beli. “Ini bikin saya khawatir,” ucapnya.
Dia lantas bertanya ke kawannya yang doyan berbelanja online. Kata sang teman, harga produknya kemurahan sehingga orang enggak percaya sama kualitasnya.
Uma pun mengerek harga jadi Rp 129.000 per pasang. “Ternyata laku. Dari situ saya belajar, bahwa pricing penting,” ungkapnya.
Namun, kualitas produknya ternyata benar-benar jelek. Baru dipakai sekali, sepatu langsung jebol. Uma langsung jadi sasaran kemarahan para pembeli.
Ia pun meminta maaf seraya berjanji akan menggantikan dengan produk yang lebih bagus. Para pembeli pun menerima tawaran tersebut.
Uma memetik pelajaran: pelanggan rupanya senang dengan penjual yang bertanggungjawab. “Jadi, menurut saya, tidak masalah menjual produk yang kita sendiri tidak bisa bikin. Yang paling penting adalah bertanggungjawab dengan produk yang kita jual,” sebut dia.
Pelajaran lain yang dia ambil: kudu merekrut karyawan yang bekerja sebagai customer service (CS) yang harus bagus dalam melayani pelanggan. Tapi, ia baru merealisasikan di Januari 2017 lalu, ketika bisnisnya semakin membesar. Enggak tanggung-tanggung, CS-nya beroperasi 24 jam penuh.
Jadi awal merintis bisnis, bisa dibilang, Uma tidak punya dan tidak tahu produk, sebatas eksperimen. “Pertama-tama, waktu eksperimen saya cari tahu produk yang cocok sama pasar itu apa, lalu problemnya apa. Ternyata, orang mau sepatu berkualitas, ya, sudah saya tingkatkan kualitasnya pelan-pelan. Orang juga mau penjual yang bertanggungjawab, respons cepat,” beber dia.
Tentu, sebuah usaha harus punya karakter dan identitas. Selain itu, mesti bisa fleksibel. Dengan mengusung slogan Affordably Stylish, Uma menawarkan sepatu dengan harga terjangkau, namun berkualitas, model unik juga bervariasi, serta nyaman dipakai. “Ini yang saya kedepankan,” tegasnya.
Produksi sendiri
Setelah dua tahun lebih menyerahkan pembuatan sepatu ke orang lain, mulai awal tahun ini Uma mendirikan bengkel produksi sendiri. Dengan begitu, ia bisa mengontrol langsung kualitas produknya.
Dia langsung membangun tiga bengkel produksi sekaligus, masing-masing di Jakarta, Bogor, dan Bandung. “Saat ini, ada sekitar 80-an perajin sepatu yang saya berdayakan,” imbuh lulusan Macquarie University, Sydney, Australia, ini.
Uma menjelaskan, bengkel produksi di Jakarta, tepatnya di daerah Jelambar, mengerjakan sepatu model heels. Sementara yang di Bogor membuat model flat, dan di Bandung memproduksi model sneaker. Semua produksi lalu ditaruh di gudang di Bambu Apus, Jakarta.
Selain di Instagram, Uma juga memasarkan produknya lewat website mulai awal 2016. Sejatinya, ia hanya ingin jualan di dua kanal itu saja.
Tapi, karena banyak orang yang belanja di situs marketplace, dia pun akhirnya ikut arus dengan membuka lapak di Shopee tahun lalu, dan di Tokopedia tahun ini. “Harus bisa fleksibel. Sebagai pengusaha, kan, kita harus bisa menurunkan ego,” katanya
Menurut dia, saat ini waktu yang tepat untuk merek lokal nebeng jualan di marketplace. Sebab, pemilik marketplace masih memberi subsidi ke pelapak. Lama-lama, mereka akan memungut sewa kios.
Apalagi, strateginya bergabung dengan Shopee dan Tokopedia sukses mendongkrak penjualan. Uma mengklaim, penjualan Amazara nomor satu di Shopee dan Tokopedia untuk kategori sepatu wanita.
Tentu, “Itu tidak lepas dari support pemilik marketplace karena mereka suka bantu diskon, penempatan produk, kampanye pemasaran,” tambah dia.
Toh, strategi garansi selama 30 hari turut andil dalam meningkatkan penjualan. “Garansi sebulan sejak barang diterima customer. Jadi, walau sudah dipakai, kalau ada yang rusak, bisa ditukar,” sebut Uma.
Meski nama Amazara terbilang sudah populer, Uma tetap memasang iklan di Facebook Ads. Memang, cara ini baru ia tempuh dua pekan belakangan.
“Supaya orang lebih banyak tahu Amazara, jadi lebih banyak barang kami terjual,” jelas Uma yang mengubah status usahanya menjadi perseroan terbatas (PT) dengan nama PT Amazara Cipta Indonesia pada Februari 2017 lalu.
Gandeng artis
Jurus lain Uma untuk mendongkrak penjualan adalah menggandeng artis. Februari 2017, Uma berkongsi dengan Nagita Slavina, dengan mengusung brand Gigi by Nagita.
Kontrak eksklusif dengan istri Raffi Ahmad ini berlangsung selama satu tahun. “Ternyata, penjualannya bagus, maka dilanjutkan. Kami yang produksi, Nagita tinggal mendesain saja,” ujarnya. Bahkan, ia dan Nagita membentuk PT sendiri lantaran prospek sangat bagus.
Sukses dengan Nagita berlanjut ke toko berpengaruh (influencer) lainnya: Tiara Pangestika. Kerjasama dengan salah satu youtuber ternama ini berjalan sejak Juni lalu dan melahirkan merek Hello Nuku.
Rencananya, November nanti Uma akan meluncurkan merek baru lagi, hasil kongsi dengan seorang artis. “Tapi saya belum bisa ngomong sekarang, ya, siapa artisnya,” ujar dia.
Targetnya, mulai tahun depan, setiap bulan ia akan mengeluarkan brand baru yang merupakan buah kerjasama dengan para influencer. “Ide ini muncul sambil jalan saja, kebetulan melihat peluang di situ, berani ambil,” katanya.
Uma juga menerima pesanan pembuatan sepatu. Salah satu kliennya adalah BerryBenka. Tak hanya dari dalam negeri, order juga datang dari luar negeri. Cuma, dia belum bisa mengirim pesanan itu karena sedang mengurus Angka Pengenal Eksportir (API).
Maklum, untuk bisa mendapatkan API, perusahaannya harus sudah berusia dua tahun dulu, yakni pada Februari 2019 nanti. “Tahun depan baru bisa mengirim. Klien sudah dapat, jadi tahun depan ingin mulai jualan internasional di beberapa negara,” imbuh Uma.
Semua sukses itu, ia menambahkan, juga berkat tim yang kuat. Untuk membentuk tim yang kuat, sejak awal tahun Uma meningkatkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan, serta sikap dan perilaku (capacity building) karyawannya, yang sekarang berjumlah 40 orang di luar perajin.
Tambah lagi, sebagai pendiri, kata Uma, dirinya harus benar-benar mencintai pekerjaan. “Supaya anak-anak, maksudnya, karyawan saya juga cinta pekerjaannya,” kata Uma yang juga menjabat Chief Executive Officer (CEO) Amazara.
Untuk menimbah ilmu, Uma pun bergabung di Entrepreneurs’ Organization (EO) Indonesia, akselerator yang berpusat di Washington, AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News