kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Peta konglomerasi pasca 20 tahun reformasi (1): Cakar bisnis naga kian menancap


Selasa, 03 Juli 2018 / 19:54 WIB
Peta konglomerasi pasca 20 tahun reformasi (1): Cakar bisnis naga kian menancap
ILUSTRASI. Pabrik Chandra Asri Petrochemical


Reporter: Asnil Bambani Amri, Francisca Bertha Vistika, RR Putri Werdiningsih | Editor: Mesti Sinaga

Hari berganti, tahun berlalu, dua dasawarsa terlewati. Hari-hari kelam Indonesia yang tercatat sebagai tonggak reformasi pada 1998 lalu, kini bersemayam rapi di buku-buku sejarah. Banyak

perubahan terjadi sejak reformasi yang usianya sudah 20 tahun, terutama perubahan dalam bidang ekonomi.

Di awal reformasi berdengung, ekonomi Indonesia compang-camping diterpa krisis. Pelaku usaha bertumbangan, lantaran banyak yang bangkrut tak punya modal.

Sebagian meminta perlindungan pemerintah lewat bantuan keuangan alias bail-out. Tak sedikit bail-out yang disalahgunakan hingga berbuntut masalah hukum.

Terlepas dari masalah hukum yang timbul akibat bail-out, banyak kisah dan cerita menarik dari pengusaha melewati krisis dan mencari peluang memperbesar bisnisnya.

Banyak upaya dilakukan, mulai dari jualan aset, diversifikasi bisnis dan merangkak lagi, lalu berlari.

Sepanjang dua dekade pasca reformasi, KONTAN mengiringi derap langkah pelaku bisnis tersebut. Untuk mengingat kembali, berikut kami rangkum konglomerasi yang sukses melewati dua dekade reformasi.

* Grup Salim

Apakah Anda masih mengenal nama mendiang konglomerat Sudono Salim alias Lim Sioe Liong? Ya, dialah pendiri Salim Grup yang menapak di banyak benua. Kini, bisnis  dikendalikan anaknya, Anthoni Salim. Forbes menyebut  kekayaan Anthoni pada 2017 lalu adalah sebesar US$ 6,9 miliar.

Selain di Indonesia, Salim Grup yang saat krisis 1998 harus menyerahkan aset untuk membayar utang hingga Rp 52,73 triliun lantaran bank yang mereka kelola yakni BCA mendapatkan suntikan modal dari pemerintah, kini  mengakar di Singapura, Hong Kong, Manila, Australia, Nigeria, dan Eropa.

Bisnis yang berdiri 1972 itu tumbuh bak pohon, rutin bertunas. Jika dulu hanya berkutat di tepung terigu, kini merambah makanan dan minuman, air bersih, manufaktur, properti, perbankan, asuransi, energi, restoran, jasa, infrastruktur, energi dan bisnis digital.

Pola bisnis yang dijalankan Salim Grup beragam, mulai dari berbisnis sendiri, joint venture, penyertaan modal hingga akuisisi. Keragaman bisnis itu membuat Salim Grup terbiasa bekerjasama dengan perusahaan lain.

Yang terbaru, Salim mengakuisisi 100% saham perusahaan air minum Acuatico, penguasa bisnis air bersih di Jakarta dan Tangerang lewat Aetra.

Salim juga menancapkan bisnisnya di jalan tol dengan akuisisi PT Nusantara Infrastructure Tbk lewat anak usahanya Metro Pacific Investments. Salim Grup juga merambah digital dengan sederet aksi korporasi seperti; mendirikan iLotte hasil joint venture dengan Grup Lotte.

iLotte membuat bisnis digital Salim makin kokoh. Karena sebelumnya Salim sudah punya Lazada dan Zalora lewat kepemilikan di Rocket Inc, serta membeli 50% saham SK Planet di situs belanja Elevenia.

Salim juga memiliki bisnis di infrastruktur jaringan digital lewat CBN Group. Lalu memiliki PT Rintis Sejahtera, penyedia jaringan ATM Prima. Salim juga punya teknologi switching untuk teknologi finansial (tekfin).

Untuk melengkapi bisnisnya, awal 2018, Salim mendirikan bisnis alat pembayaran elektronik I-Saku yang terintegrasi dengan Indomaret.
Franciscus Welirang, Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk sebagai perwakilan Salim Grup bilang, pihaknya berbisnis menyesuaikan situasi.

“Tantangan kami adalah menjawab dinamika dari satu era ke era lain dan caranya mengikuti situasi dan kondisi secara menyeluruh,” kata pria yang akrab disapa Franky itu.

Untuk menjawab tantangan ke depan, Salim mendirikan Block71, fasilitas inkubator bisnis. Block71 jadi ujung tombak cari peluang bisnis baru.

* Grup Sinarmas

Siapa yang tak kenal dengan Sinarmas? Perusahaan milik Eka Tjipta Widjaja, konglomerat terkaya ke-2 di Indonesia dengan kekayaan US$ 9,1 miliar itu. Perusahaan yang bermula dari bisnis makanan di Makassar tersebut kini telah merambah kemana-mana.

Meski pernah hampir kolaps dan melepas kepemilikan di Bank Internasional Indonesia (BII), nyatanya Sinarmas berhasil bangkit.

Gandi Sulistiyanto, Managing Director Sinarmas Group bilang, periode terberat terjadi pada 2001 karena terjerat utang dan harga komoditas minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan kertas anjlok. “Utang kami sampai US$ 13,5 miliar,” kata Gandhi.

Aksi penyelamatan pun dilakukan. Sinarmas merestrukturisasi utang ke semua kreditur pada 2003. Alhasil, utang yang dijadwalkan lunas 20 tahun akhirnya lunas lebih cepat.

Selain itu, lini bisnis Sinarmas juga bertambah, dari empat lini (kertas, CPO, keuangan dan properti), pada era 1990-an, kini mendapat tambahan lini bisnis energi dan telekomunikasi.

Meski gagal di bisnis perbankan, Sinarmas tak jera dan kembali masuk bisnis bank dengan mengakuisisi saham Bank Shinta pada 2005. Bank ini berganti nama menjadi Bank Sinarmas. Hanya, Gandi enggan memerinci apa bisnis terbesar yang menopang Sinarmas.

Baginya semua unit bagus, dan independen. Hanya saja ia tak dapat memungkiri secara aset sektor kertas dan sawit tetap yang paling besar. “Pertama pulp and paper kemudian kedua kelapa sawit,” jelasnya.

Ekspansi terbaru yang sedang digeluti Sinarmas adalah masuk ke perusahaan modal ventura dengan mendirikan Sinar Mas Digital Venture (SMDV).

Perusahaan ini telah berinvestasi ke perusahaan rintisan seperti aCommerce, HappyFresh, GiftCard Indonesia, Cantik, dan Female Daily Network.
SMDV diharapkan jadi tulang punggung Sinarmas di kemudian hari.

Semua bisnis digital afiliasi Sinarmas nanti berada di bawah naungannya. “Ini bukan sektor ketujuh, tapi pendukung seluruh lini usaha,” tandasnya.

Yang paling anyar, Maret 2018 lalu, SMDV menggandeng East Ventures dan Yahoo Jepang untuk membentuk EV Growth. Entitas baru ini menargetkan pengumpulan modal dari investor US$ 150 juta. Dana ini akan disuntikkan ke start-up.

* Grup Barito Pacific

Konglomerasi lainnya yang sukses melewati berbagai krisis ekonomi adalah Barito Grup, milik Prajogo Pangestu. Berawal dari perusahaan kehutanan, Barito yang memulai bisnis kayu itu membuktikan kepiawaian menjalankan bisnisnya hingga ke generasi kedua.

Jika dulu perusahaan berkutat dengan perkayuan, kini Barito punya beragam bisnis, mulai dari petrokimia, properti dan energi. Barito juga mulai mengintip bisnis digital.

Bisnis Barito berkembang di era 90-an, lalu ekspansi ke petrokimia dengan mendirikan industri kimia Chandra Asri dan Tri Polyta Indonesia.

Saat krisis ekonomi, Barito sempat goyah. Prajogo pernah bertutur, sebelum krisis kapitalisasi pasar Barito sempat US$ 5 miliar, setelah krisis, kapitalisasi pasarnya anjlok menjadi US$ 3 juta.

Krisis ekonomi yang menumbangkan rupiah membuat utang Barito dalam dolar senilai US$ 1,8 miliar makin berat. Alhasil, piutang bank kepada Grup Barito diambil oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan tagihan US$ 1 miliar lebih.

Dalam buku berjudul “Indonesia Dikhianati” yang ditulis Elizabeth Fuller Collins, diceritakan, ada 17 anak perusahaan Barito Grup berutang US$ 1,25 miliar. Prajogo bahkan disebut sebagai pengutang kedua terbesar di Indonesia.

Untuk mengatasi utang itu, Prajogo melakukan negosiasi dengan BPPN. Hasilnya, Prajogo menyerahkan 20 perusahaan yang terlilit utang ke BPPN. Sejak itu, Barito tertatih melewati krisis, hingga 2004 perusahaan kembali didera krisis global karena harga minyak meroket.

Barito kemudian kembali merelakan dua perusahaannya berpindah tangan alias dijual. Baru tahun 2007, Barito melakukan diversifikasi bisnis dan memperkuat bisnis petrokimia dengan akuisisi 70% saham Chandra Asri senilai Rp 9,76 triliun.  Prajogo punya 14,6% saham di perusahaan itu.

Tahun 2010, Prajogo menggabungkan Chandra Asri dan Tri Polyta menjadi Chandra Asri Petrochemical, dan menjadi produsen petrokimia terbesar dan terintegrasi di Indonesia.

Dua tahun belakangan, Barito juga mulai melirik bisnis digital. Meski sempat bilang enggan masuk ke bisnis teknologi, namun lewat anaknya Baritono Pangestu, Barito kini memiliki Kejora Venture Capital.

Kejora kini berinvestasi lewat Investree, Jualo.com, Cekaja.com, Qerja.com dan lainnya. “Bisnis ini terpisah (dari BRPT),” kata Agus Salim Prajogo, Presiden Direktur Barito Pacific kepada KONTAN.

* Grup Lippo
Bicara Lippo Group pasti berhubungan dengan Mochtar Riady, sang pendirinya yang memiliki kekayaan senilai US$ 3 miliar. Sejak melakoni bisnis perdagangan dan perbankan tahun 1950-an, kini usaha Lippo merambah banyak lini.

Sebelum sukses di properti, Mochtar bisnis usaha angkutan laut, kemudian menjadi bankir di Bank Kemakmuran dan Bank Buana, lalu membesarkan Lippobank.

Tapi, pertumbuhan Lippobank sempat terganjal krisis ekonomi di era 90-an. LippoBank berhasil keluar dari krisis tersebut dan menjadi satu-satunya bank yang tidak mengambil fasilitas BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).

Untuk keluar dari krisis, Lippo melakukan strategi perampingan, melepas aset untuk mempertahankan bisnis yang masih bisa dikembangkan. Saat krisis, aset yang dipertahankan adalah properti dan ritel. Ketika ada kredit macet, Lippo mengambil alih aset lahan di Cikarang dan Karawaci.

Tak disangka aset tanah itu lah yang menjadi titik balik bisnis Lippo Group hingga hari ini. Di lokasi aset itulah, Mochtar membangun kota mandiri. Peluang kembali terbuka, Mochtar membangun bisnis ritel seperti Hypermart, Matahari Mall dan Lippo Mall.

Disusul kemudian membangun media, pendidikan, rumah sakit serta pemakaman mewah San Diego Hills Memorial Park di Karawang.

David Nathanael Sutyanto, Analis PT Equator Swarna Sekuritas menilai, Lippo tak hanya fokus di properti saja. “Pasti akan ada diversifikasi, dan Lippo telah melakukan itu sebelum perusahaan lain melakukannya,” ujar David.

Lippo juga berbisnis digital lewat Lippo Digital Ventures dan menggandeng Grab. David bilang, Lippo juga bikin gebrakan fenomenal dengan Meikarta yang mengundang pro dan kontra. “Bisa saja nanti Meikarta sukses di 20 tahun yang akan datang,” kata David.        ◆

Berikutnya: Beberapa taipan baru bermunculan pasca krisis ekonomi 1998, di antaranya adalah Trans Corp, Mayapada, dan Emtek.

Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi  21 - 27 Mei 2018. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut:  "Cakar Bisnis Naga Kini Makin Menancap"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×