Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Johana K.
KONTAN.CO.ID - Geliat industri kopi di tanah air masih terus berkembang. Hal tersebut terbukti dari banyaknya kedai kopi yang terus bermunculan di berbagai kota. Bahkan, tak hanya di kota besar, kedai kopi juga ditemui di kota-kota kecil. Minum kopi atau ngopi saat ini bukan hanya soal rasa, tapi sudah menjadi bagian dari gaya hidup.
Ngopi sebagai gaya hidup secara otomatis menghidupkan kembali pasar industri kopi yang sempat redup beberapa tahun lalu. Meningkatnya bisnis hilir kopi ini tentu membuat permintaan bahan baku berupa biji kopi makin tinggi. Kondisi ini melahirkan tantangan tersendiri bagi para pelaku di bagian hulu yang tidak lain adalah para petani kopi.
"Sebab, separuh penentu kualitas biji kopi adalah andil dari petani itu sendiri. Lalu sisanya baru dari pengaruh cuaca dan tanah," kata Oki Heru Satmoko, Head of Production and Quality Control PT Wibrosky Coffee saat ditemui KONTAN di kawasan JCC, pekan lalu.
Ia berpendapat, peran petani sangat dibutuhkan dalam perkembangan industri kopi tanah air saat ini. Para petani sebagai tonggak di bagian hulu dituntut untuk bisa mengikuti perkembangan dan memenuhi tuntutan pasar. Mau tidak mau, peran petani pun menjadi penting dan sentral untuk menghasilkan kopi yang berkualitas.
"Tantangan saat ini adalah bagaimana produk biji kopi dari para petani ini bisa memenuhi kualitas yang dibutuhkan oleh pelaku industri lain. Otomatis memenuhi standar kualitas pasar," tuturnya.
Selain itu, sebagai pelaku industri, ia mengatakan fokus utama saat ini adalah mengedukasi petani agar bisa mempertahankan konsistensi rasa dan kualitas dari tahun ke tahun. Hal tersebut juga menjadi tantangan berat bagi para pelaku industri.
Hal serupa juga dilontarkan oleh Endik Kuswoyo, penulis skenario film dokumenter Viva Barista. Saat terjun langsung dari satu kebun kopi ke kebun kopi lainnya, ia menemukan fakta bahwa sebagian besar petani kopi masih belum sadar akan pentingnya menjaga standar kualitas. Maka, tak heran di beberapa daerah, biji kopi yang sebenarnya punya rasa otentik, dibeli dengan harga yang sangat murah.
"Kebanyakan petani hanya pasrah pada cuaca. Mereka belum bisa mengukur jika cuaca hujan harus dijemur berapa lama. Prosesnya juga mereka lakukan seperti biasa, tanpa ada pengukuran. Mereka belum memahami jika proses ini akan pengaruh pada kualitas biji kopi," tuturnya.
Endik lanjut menjelaskan, para petani kopi di beberapa daerah belum banyak yang memahami soal standar kualitas yang dibutuhkan oleh industri. Meski ada pula beberapa petani kopi yang sudah paham bagaimana cara menjaga kualitas produk biji kopi mereka. Jika memahami kualitas yang dibutuhkan industri, diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup petani kopi itu sendiri.
Biar lebih mengena, perlu ada kurikulum soal kopi di sekolah kejuruan
Seiring meluasnya pasar kopi, kini, para petani kopi dituntut untuk memahami keunggulan biji kopi hasil panen mereka. Sebab, mengikuti lokasi dan kondisi tanahnya, setiap daerah memiliki aroma dan citarasa kopi yang berbeda.
Oki Heru Satmoko, Head of Production and Quality Control PT Wibrosky Coffee menyebutkan, dalam satu kawasan saja bisa menghasilkan biji kopi dengan citarasa berbeda. Misal di sebuah gunung, kopi yang tumbuh di lereng dengan di bagian kaki gunung, citarasanya pasti berbeda. "Apalagi kalau berbeda gunungnya. Setiap gunung menghasilkan citrasa kopi tersendiri," jelas Oki.
Selanjutnya, bila semua proses budidaya kopi sampai pengolahannya dilakukan dengan baik dan benar, tentu akan menghasilkan biji kopi yang segar dengan kualitas yang baik. Bahkan, secara fisik akan terlihat biji kopi yang diproses dengan baik atau tidak. Biji kopi yang diproses dengan baik akan mengeluarkan aroma yang segar seperti aroma fruity dan aroma bunga.
Dengan mengetahui keunggulan produksi biji kopi, para petani bisa memiliki nilai tawar yang cukup tinggi terhadap hasil panennya. "Lagi-lagi kembali ke persoalan harga. Kalau tiap petani paham dengan keunggulan dan keunikan biji kopinya, harga jualnya otomatis terkerek. Seharusnya kesejahteraan petani kopi juga makin baik kalau bagian hilir meningkat," tuturnya.
Tak hanya petani yang ditantang lebih dari boomingnya pasar kopi di tanah air, tenaga ahli yang mumpuni dalam meracik kopi juga perlu dipersiapkan. Presiden Direktur Akademi Kulinari De Chef Bogor dan De Cup of Gayo, Martina Alicia berpendapat ulasan seputar kopi seharusnya sudah menjadi kurikulum wajib di beberapa sekolah kejuruan maupun vokasi Indonesia. Kurikulum tentang kopi idealnya dimasukkan ke dalam pengajaran formal.
"Kebetulan di akademi milik saya, kurikulum soal kopi sudah dimasukkan untuk jenjang D1 dan D3. Bahkan ada kelas khusus soal kopi, mulai dari proses mengolah kopi, kelas cupping sampai mengelola bisnisnya. Edukasi soal kopi seharusnya sudah masuk ke sekolah formal karena pasar memang membutuhkan," terangnya.
Ia menuturkan, selama 10 tahun terakhir, sekolah atau kursus tenang kopi masih relatif mahal. Meskipun kini pasar sudah membutuhkan para ahli peracik kopi, belajar soal kopi masih dipatok dengan biaya yang tinggi. Padahal untuk menjadikan industri kopi tanah air diperlukan orang-orang yang tidak hanya ahli dalam memproduksi tapi juga meracik kopi.
"Saya lihat beberapa akademi kuliner atau akademi pariwisata sudah mulai ada kelas khusus kopi. Tapi sayang, untuk sekolah kejuruan, baru ada satu SMK khusus kopi di Jawa Barat yang baru saja diresmikan oleh Darmin Nasution," ungkap Martina.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News